Penipuan Gelar Sektarian [4]: Nawashib
Oleh: Syeikh Hasan bin Farhan al Maliky
Sumber: http://almaliky.org/news.php?action=view&id=351
Hari ini kami akan berbicara tentang kaum Nawâshib. Ia adalah redaksi/gelar yang rumit dan menyebabkan keterpojokan, khususnya bagi kaum Salafy, dan mereka berharap andai redaksi/gelar ini dijauhkan dan dilupakan karena sesungguhnya merekalah yang sedang dituduh oleh kaum Syi’ah dan juga oleh sebagian Ahlusunnah bahwa sebagian tokoh mereka terjangkit penyakit kenashibian atau bahkan sebagai seorang Nâshibi….
Gelar ini juga membuat repot bagi sebagian Ahlusunnah yang moderat, karena sebagian Syi’ah men-generalisir (menyamaratakan) untuk dijatuhkan kepada Ahlusunnah.
Ia (An Nushb/Nashibi/Nawashib) adalah sebuah redaksi/lafadz yang butuh untuk diurai dan diganti dengan redaksi lain yang bersifat Syar’i [berbasis nash-nash Islami]. Redaksi ini sepeti halnya juga redaksi-redaksi kemazhaban lainnya yang akan lebih afdhal bagi pemikiran pembaharuan Islam untuk diganti dengan redaksi Syar’i. Tetapi izinkan saya menggunakannya sebelum tuntas uraian tentangnya kemudian mengkiritisinya, lalu saya akan mengganti redaksi itu dengan redaksi Syar’i untuk istilah ini.
An Nushb/Kenashibian menurut mereka yang mendefenisikannya dari kalangan Ahlussunnah adalah: Menampakkan permusuhan kepada Ahlulbait Nabi saw.
Tentu defenisi ini tidak sempurna dan sangat menyempit sekali. Gelar ini aneh/asing. Sebab, seakan disyaratkan bagi orang yang menyimpang dari Ahlulbait Nabi saw. untuk disebut Nâshibi ia harus menampakkan secara terang-terangan permusuhannya! Hal ini memuat poin seakan dibolehkannya memusuhi Ahlulbait Nabi saw; melecehkan mereka, sensitif dengan menolak keutamaan mereka, meninggalkan mereka, mengisyaratkan pelecehan dan/atau menjatuhkan kehormatan mereka dan seterusnya, asal jangan ditampakkan secara terang-terangan.
Permusuhan kemazhaban berperan aktif dalam perluasan dan kelestarian terhadap kecerobohan ilmiah dan etis ini. Karenanya izinkan saya agak sedikit berpanjang-panjang dalam menganalisa gelar ini dan mengusung gelar gantinya yang bersifat Syar’i, kemudian membenahi sikap subyektif dan sebagian kecampur-adukan antara Ahlussunnah, Salafy dan Nawâshib.
Sebagian orang Syi’ah men-generalisir gelar Nâshibi kepada seluruh Ahlussunah, maka legahlah kaum Nawâshib atas sikap gegabah itu. Lalu mereka menelannya dan bangkit pembela atas nama Ahlussunnah. Maka menjadi panjanglah persengketaan ini di dalam tubuh Ahlussunnah kemudian dimanfa’atkan oleh kaum Eksrtimis Salafiy [yang juga mengidap penyakit kenashibian] untuk mengobarkan kembali persengketaan mazhabiyah dan menyembunyikan realita bahwa kaum Nawâshib sebenarnya merembes [menyerobot masuk] ke dalam rumah tangga Ahlussunnah [padahal mereka adalah penumpang gadungan_red]
Semua ini semakin melipat-gandakan tanggung-jawab atas para peneliti yang obyektif dalam menganalisa dan mendudukkan permasalahan gelar ini. Karena ekstrimisme sikap dalam memperluas cakupan gelar ini telah disambut hangat baik oleh Ghulat (ekstrimis) Syi’ah maupun Ghulat Sunni!! Dan mereka telah memotong (menipu) banyak dari kaum awam. Sementara pemahaman ilmiah jauh dari tekanan dan persengketaan hampir-hampir tidak ada di bawah bayang-bayang pergesekan yang tajam ini. Tetapi tidaklah menjadi jelas siapa yang serius mencari kebenaran [dari yang tidak] kecuali dalam situasi seperti ini. Maka sudah seharusnya seorang pencari kebenaran untuk menjaga keseimbangan dalam bingkai Syari’at dan pengetahuan, lalu ia meneliti terma ini dan seakan di sana tidak terjadi persengketaan apapun dan tidak ada usaha jahat yang mengeksploitasinya.
Jadi mari kita kembali kepada gelar “Nawâshib”. Dan tidak diketahui secara pasti kapan mulai digunakan gelar ini. Dan ia (penggunaan gelar ini) sebenarya adalah usaha mereka untuk melarikan diri dari sifat/status Syar’i yang ditetapkan agama atas orang yang membenci Ahlulbait Nabi saw. Akan tetapi karena ketersohoran gelar, maka kita pun sekarang menggunakannya –sama seperti mereka- dengan penggunaan bersifat tsaqafi dan merakyat. Karena sebenarnya ganti lain yang bersifat syar’i untuk gelar ini yaitu nifâq/kemunafikan adalah musykil/sulit. Sebab nifâq dalam penggunaan kemazhaban yang berlaku telah dikebiri/dibatasi hanya untuk tiga atau empat karakter/perkara saja, sementara karakter-karakter/perkara-perkara lain telah diabaikan, baik yang termaktub dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah. Maka sulitlah bagi manusia memahami makna nifâq dan tingkatan-tingkatannya.
Kaun Nawâshib atau mereka yang terpengaruh dengan pemikiran kenashibian sulit bagi mereka mengakui bahwa mereka sedang terjangkit penyakit kenashibian atau kemunafikan, bahkan untuk orang-orang yang telah melaknati Imam Ali dari atas mimbar-mimbar sekalipun, atau mereka yang meracuni al Hasan dan mereka yang menyembelih al Husein, mereka keberatan menggolongkannya sebagai munafik/Nawâshib. Mereka mengelak mengetrapkan status kenashibian dan kemunafikan kepada penyandang terbesarnya!
Kemudian mereka menanamkan kultur/pemikiran besar-besaran yang mengeringkan mata air kecintaan kepada keluarga, Ahlulbait Nabi saw. dan mereka terbantu dalam menanamkan pemikiran itu oleh adanya sikap berlebihan terhadap Ahlulbait yang ditampilkan oleh segolongan dari Syi’ah. Persis seperti gerombolan munafik yang mana mereka mengeringkan mata air kecintaan kepada Nabi saw dan melarang memuji beliau kecuali dengan sangat pasif dan selalu disertai dengan peringatan agar tidak berlebihan dalam memuji beliau saw., dan mereka terbantu oleh adanya segolongan dari kaum Sufi yang berlebihan dalam mengeksprsikan kecintaan kepada Nabi saw. Maka terbukalah kesempatan terbesar bagi golongan kemunafikan yang menyelinap dan membaur dengan Ahlusunnah –dan tentu Ahlusunnah berlepas diri dari mereka- dalam mengeringkan mata air kecintaan kepada Nabi saw. dan dalam upaya mereka memalingkan manusia/umat Islam dari Ahlulbait.
Setiap kali kamu menyebut sekelumit dari keutamaan Nabi Muhammad saw. mereka akan menghadangmu dengan setumpuk khurafat kaum Sufi dan dengan nada tanya yang penuh kebusukan!
Demikian pula, jika kamu berbicara tentang keutamaan Ahlulbait Nabi yang shahih yang mana riwayat tentangnya telah dishahihkan para ulama hadis Ahlusunnah maka golongan kemunafikan itu tidak akan membiarkanmu dalam kesempatan itu. Mereka akan memotong ucapanmu dengan menyebut khurafat yang dikatakan oleh sebagian Syi’ah. Mereka akan menyibukkanmu dengannya dan memintamu berpendapat tentangnya dan kamu harus menolaknya dan seterusnya….
Kelompok kemunafikan ini [dan sebagian kemunafikan itu terjadi karena kajahilan dan dengan niatan baik!] tidak membiarkan si Sunni yang sejati berkesempatan merenungkan hadis-hadis keutamaan Ahlulbait Nabi saw., bahkan mereka tidak akan membiarkannya mengutarakan keutamaan Nabi saw. sekalipun.
Mereka tidak menyebutkan keutamaan Nabi saw. melainkan disertai dengan sederetan peringatan keras dari kemusyrikan!
Sementara itu mereka mencecer sejarah hidup dan keutamaan tokoh mazhab mereka tanpa disertai peringatan sedikitpun.
Bahkan seandainya seorang dari mereka menyebut bahwa si alim Fakih ini atau itu ‘MENEGETAHUI TURUNNYA PERKARA TUHAN ANTARA LANGIT DAN BUMI’ seperti yang dikatakan Abu Abdurrhaman al Wâsithi untuk Ibnu Taimiyah, mereka tidak mengomentari sedikitpun pujian itu. Tentu agar keterangan itu tidak terputus-putus. Adapun keutamaan yang lebih sederhana dari itu ketika ditetapkan untuk Nabi saw. dan Ahlulbaitnya, maka mereka akan memotongmu dari melanjutkannya dengan keterangan dan peringatan-peringatan keras demi menjaga kemurnian akidah dari ghuluw/ sikap berlebihan dan dari kemusyrikan.
Inilah realita dari sekelompok mereka yang menyandang baju kenashibian atau kemunafikan. Dan ia –sangat disayangkan- kian meluas jika tidak segera dikembalikan kepada nash-nash perdana/utama, dan setelahnya ia bebas memilih, apakah mau beriman kepadanya atau menolaknya atau membencinya… ‘Bukan urusanmu memberi hidayah mereka, tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.’
(Bersambung)
Filed under: Akidah, Bani Umayah, Ghulat Salafy, Hasan Farhan Al Maliky, Kajian Mazhab, Kajian Sejarah, Manhaj, Nawashib |
Bisa2 keselek membaca artikel ini krn begitu dalam menembus batas2 yg selama ini samar dan tidak banyak diketahui banyak orang.
Setuju, sayannya kemunafikan/nashibi itu susah diketahui kasat mata. Mustahil ada orang memproklamirkan dirinya munafik/nashibi. Ngerinya lagi bisa jadi orang munafik/nashibi keluar dari mulutnya kalimat-kalimat Tauhid kita jadi tertipu deh. Keingat Cak Nun pernah bilang….gak usah minder sama orang yang sok nyunah.
nyunah,tapi dgn enteng nyebut orang tua nabi dineraka.
Andaikan saja Hudzaifah penyimpan rahasia nabi nekat menyebarluaskan nama-nama pentolan munafik yang hidup disekitar nabi, kita bisa tahu nama orang-orang munafik yang disebutkan oleh Rasullulah itu, meskipun resiko terburuknya kita saat ini mungkin akan mengenal hudzaifah bukan sebagi penyimpan rahasia nabi, tapi Hudzaifah si pendusta karena para sahabat pasti akan mendustakan ucapan Hudzaifah,
Klu bicara mengenai Hudaifah bin al-Yaman ra, hadits2 sangat dalam. Nawashib yg dikatakan sbg pengiman Dajjal pun ada dlm hadtsnya, tentu dgn istilah yg sama sekali samar, yg orang klu tidak tahu sejarah bisa salah sangka. Ya beliau lah orangnya, yag sholat sendirian dlm kondisi ketakutan sebagaimana yg dikatakan dlm hadits jauh sebelum kejadian itu mengenai dirinya. Maaf komennya agak samar2 krn memang riskan bila terus terang.
Bisa diraba mungkn maksud anda sesuai sabda Nabi saw ….sipenunggang, sipenarik dan pemandu itu
wah klu itu mbahnya nashibi mas
Berbicara hadis dari Hudzaifah yang mengangkat isu fitnah yang sedemikian dahsyatnya sampai-sampai orang memilih sholat secara sembunyi-sembunyi tidak dipungkiri lagi. Kita yang hidup di masa sekarang mungkin sulit untuk membayangkan kondisi yang dialami oleh para sahabat pada masa fitnah tersebut sampai-sampai membuat orang menjadi takut untuk sholat secara terang-terangan.
Untunglah negara Amerika Serikat saat itu masih merupakan benua terbelakang, kalau tidak tangan-tangan akan langsung lincah menunjuk aktor dibalik fitnah itu bukanlah orang-orang munafikun dan nawashib melainkan Amerika, hehe
Kembali ke topik orang-orang munafikun dan nawashib masa lalu…
Sudahlah, orang-orang munafikun dan nawashib masa lalu sekarang sedang mempertanggung jawabkan sebagian dari pilihan jalan hidup mereka. Akhir hidup mereka telah tersegel dan terkunci bahkan ketika mereka masih hidup. Yang perlu kita waspadai adalah orang-orang munafikun dan nawashib yang hidup disekitar kita saat ini.
Pertanyaannya? bagaimana kita bisa tahu ada orang munafik/nashibi disekitar kita?
Abu Sa’id Al Khudri berkata “Sesungguhnya kami mengenal orang-orang munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”
Hadis diatas kedudukannya sahih.
Hadis hudzaifah diambil saja pelajaran yang bisa kita pahami masing-masing, Hadis dari Abu Sa’id sebagai pegangan bukan untuk mencaci ataupun ngerasani orang. Termasuk juga tulisan Syaikh diatas, yaitu menghormati dan mencintai Ahlul bait Rasullulah saw adalah milik umat Islam, bukan golongan tertentu saja.
Ngomong-ngomong soal riskan dan berterus terang, Syaikh diatas sepertinya lebih memilih jalan hidup yang riskan ketimbang hidup damai, aman dan sentosa. Heran saya.
Nampak betul yg komen sama2 sdg galau x..x…x…x…x..x… galau krn teori ini tidak sama dgn teori itu…… mana yg betu ya..?