Tiga Ayat Yang Memporak-porandakan Syi’ah! (Bag. 2)
SUMBER: http://almaliky.org/news.php?action=view&id=846
.
Silahkan baca bagian pertama (1) Disini:
oleh Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliky (*)
Seperti telah kami katakan sebelumnya bahwa kami akan berbicara dengan sedikit terperinci tentang tiga ayat tersebut yang kami katakan ketiganya mungkin bisa saja memporak-porandakan dua mazhab; Syi’ah dan Ahlusunnah …
Tentu jika kita pahami ketiga ayat tersebut dengan pemahaman awam seperti yang difahami oleh saudara kita Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad. Tetapi ia memilih makna yang ia hendak paksakan dan gegabah. Dan telah kami katakan juga sebelumnya bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang menyembah kuburan; yang ada hanyalah praktik-praktik yang sama-sama dipratikkan baik oleh Ahlusunnah maupun oleh Syi’ah dan pengikut Mazhab Hanbali (akar dari faham salafy _red).
Dan praktik-praktik itu berkisar antara salah dan benar.. Tidak ada kaitannya dengan keimanan dan kemusyrikan. Dan kami juga katakan bahwa solusi penyelesaian tuntas atas virus PENGKAFIRAN – walapun vonis itu dijatuhkan ke atas Syi’ah secara khusus adalah harus dengan mengobati pemahaman itu sendiri yang dengannya baik Syi’ah maupun selain Syi’ah juga dikafirkan.
Dan jangan ada seorang yang menganggap bahwa ini adalah pembelaan terhadap Syi’ah. Sebagaimana kami telah katakan bahwa Syeikh Abdul Muhsin dengan ayat itu membidik Syi’ah untuk ia kafirkan dengan menfokuskan kajiannya terhadap tiga kata yang ternyata ia salah dalam memahami ketiganya. Atau dengan kata lain: Ia memahaminya dengan pemahaman ala Wahhâbi! Ketiga kata kunci itu adalah: ad Du’â’, an Nidâ‘ dan ad Dûna -الدعاء- النداء- الدون-
Pertama-tama kami tegaskan bahwa dalam Al Qur’an tidak ada sinonim (setiap kata yang dipilih di dalamnya memiliki arti sendiri-sendiri dengan kekhasannya masing-masing_red); kata ad Du’â‘ berbeda arti dengan kata an Nidâ’. Ini yang pertama-tama harus kita imani walaupun boleh jadi kita tidak mengetahui perbedaan makna antara keduanya. Bukti akan hal itu adalah sebagai berikut:
Allah Swt berfirman:
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
.
“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”(QS. Al Baqarah; 171)
.
Jadi firman Allah: “du’â’an wa nidâ’an” menunjukkan bahwa kedua kata ini memiliki makna yang berbeda, di-‘athaf-kannya kata nidâan kepada du’âan mengharuskan/menetapkan adanya perbedaan tersebut. Dan ini mewajibkan untuk mengumpulkan seluruh kata du’â’ dan nidâ‘ dalam Al Qur’an guna mengetahui perbedaan antara keduanya, maka dari itu… apakah ucapan yang diucapkan sebagian Ahlusunnah Ya Muhammad (Wahai Muhammad), atau ucapan sebagian Syi’ah Ya Ali (Wahai Ali)… Ya Husain… termasuk du’â’ (panggilan) atau nidâ’ (seruan)? Apakah itu termasuk syirik atau sekedar penggunaan yang salah atau justeru ia dibenarkan dalam Syari’at?… Atau di sana ada panggilan (du’â’) yang dibolehkan dan ada yang diharamkan dan ada du’â’ yang syirik… dll
Demikian juga, apakah di sana ada nidâ’ yang boleh, ada yang haram dan ada yang syirik? Seperti juga di sana ada isti’ânah (memohon bantuan) yang boleh hukumnya dan ada yang syirik… Dan demikian seterusnya. Dan hal-hal seperti ini kaum Wahhabi tidak pernah meneliti tentangnya. Mereka hanya manafsirkan kata nidâ’ dengan arti du’à’... Dan sebaliknya. Kata dûna dengan arti adnâ (yang lebih dekat)… Dan atas dasar itu mereka meluncurkan vonis syirik atas praktik isti’ânah dan istighâtsah… Dan demikian seterusnya. Dan kaum Wahhâbi telah mampu menghimpun banyak pendukung (Wahhabiyyun) dengan dua sebab:
Pertama: Penafsiran serampangan mereka terhadap Al Qur’an Al Karîm ditelan mentah-mentah oleh kaum awam.
Kedua: Menyembunyikan (kebenaran sebenarnya dengan mengatakan) bahwa akidah Salaf (pendahulu) mereka adalah demikian.
Andai kaum Wahhàbi mau berdialog dengan para ulama -bukan dengan kaum awam- pasti mereka akan mengetahui dua perkara di atas. Maksud saya akan mengetahui makna sebenarnya dari kata-kata itu menurut Al Qur’an dan segera mengetahui akidah sebenarnya dari Salaf mereka yang mereka kafirkan sendiri. Tetapi mereka menyangka bahwa ulama Ahlusunnah dan Syi’ah itu berjiwa penentang (mukâbir) padahal orang yang meminta berdialog dengan dasar bukti jelas bukan orang yang mukâbir. Ini perlu saya jelaskan di depan… Yang mukàbir adalah orang yang menolak berdialog dengan dasar bukti…
Ala kulli hâl, dengan kajian singkat dan ringkas saya menemukan bahwa du’â’ yang tercela dalam Al Qur’an jelas bukan praktik sebagian Ahlusunnah dan Syi’ah yang memanggil Ya Muhammad atau Ya Ali atau Ya Husain atau Ya Jailani…
Dan jika kita mengalah dan menganggap bahwa praktik demikian itu adalah syirik maka di sana sebenarnya banyak penghalang PENGKAFIRAN yang harus kita berlakukan sebelum menjatuhkan vonis kafir dan tidak boleh kita abaikan begitu saja, (di antaranya) seperti takwil jika pelakunya itu seorang Fakih atau karena alasan ketidak-tahuan kaum awam bahwa praktik demikian itu digolongkan syirik (jika pelakunya adalah orang awam).
Jadi mentakwil dan ketidak-tahuan adalah dua perkara yang mencegah dari dijatuhkannya vonis kafir. Dan sebelumnya telah saya berikan link kitab Ihyâ’ al Maqbûr karya Syeikh Al Ghummâri dan beliau adalah seorang ulama Sunni kontemporer dan Pakar Ahli Hadis yang agung. Beliau bukan seorang yang jahil (bodoh). Dan semua mengakui keislaman beliau. Jadi kalau begitu beliau dalam praktik memanggil (menyeru: Ya Muhammad dll) adalah sedang bertakwil.
Dan jika al Ghummâri atau Ibnu Taimiyyah atau Ibrahim al Harbi atau Institusi al Azhar dll diterima udzur mereka karena alasan takwil, maka ulama Syi’ah juga harus diterima udzur mereka juga dengan alasan takwil, atau kita kafirkan semua mereka (tidak hanya Syi’ah saja)!
Kemudian jika ulama Ahlusunnah dan ulama Syi’ah diterima udzur mereka dengan alasan takwil maka kaum awam Ahlusunnah dan kaum awam Syi’ah lebih berhak diterima udzurnya karena kaum awam Ahlusunnah dan kaum awam Syi’ah hanya kaum mukallid, dan kita tidak boleh mmebebani mereka di atas kemampuan mereka.
Dan saya akan kembali untuk merenungkan makna Du’â’ dan Nidá’ serta ad Dûna dan al Adnâ dalam Al Qur’an, akan tetapi karena sebagian pengunjung (akun saya) telah menganggap bahwa kalimat: Ya Muhammad yang diucapkan setelah wafat beliau adalah syirik maka ada baiknya menghadapi mereka dengan sebuah data:Wajib atas mereka jika memandang bahwa kaum Shufy dan Syi’ah itu Musyrik disebabkan panggilan itu kepada Nabi saw. setelah wafat beliau maka mereka juga harus menganggap sahabat Ibnu Umar atau Ibnu Taimiyyah juga Musyrik... Mengapa demikian? Karena Ibnu Taimiyyah membolehkan memanggil “Ya Muhammad” setelah wafat beliau; karena ia menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul al Kalim ath Thayyib dan bahwa Ibnu Umar memerintah memanggil demikian setelah wafat Nabi saw. ketika kaki Ibnu Umar tergelincir
Saya akan sebutkan nashnya di bawah ini:
Dalam kitab al Kalim ath Thayyib, bab Jika kaki mengalami kram ; 43:
عن الهيثم بن حنش قال: كنا عند ابن عمر فخدرت رجله، فقال له رجل : أذكر أحب الناس إليك! فقال: يا محمد! فكأنما نشط من عقال
Dari Haitsam bin Hanasy ia berkata: Kami berada di sisi Ibnu Umar lalu kaki beliau mengalami kram, lalu ada seorang berkata kepadanya: “Sebutlah orang yang paling kamu cintai! ” Maka ia berkata: “Ya Muhammad!” Maka seketika ia bangkit seakan terlepas dari ikatan.”
.
Inilah Ibnu Taimiyyah ia meriwayatkan hadis di atas dengan membenarkan. Dan itu Ibnu Umar mempraktikkan saran orang tersebut dengan meyakininya. Lalu apakah keduanya MUSYRIK?!
Saya tau bahwa disini sebagian kaum Wahhàbi bersikap licik dengan mengatakan bahwa atsar (riwayat) itu lemah!
Maka akan dikatakan kepada mereka (sebagai jawaban): Ibnu Taimiyyah memandang praktik itu sesuai Syari’at (masyrû’), dan menggolongkannya (ucapan Ya Muhammad) sebagai al Kalim ath Thayyib (Pembicaraan yang Indah), lalu apakah berarti ia Musyrik?! … Dan jika Ibnu Taimiyyah diterima udzurnya karena ia mengira atsar itu shahih, maka kaum Syi’ah dan kaum Shufi juga harus diterima udzur mereka karena mereka bersandar kepada hadis-hadis yang juga mereka pandang shahih, seperti hadis tentang seorang buta yang datang dan memamggil Ya Muhammad.
Dan jika kaum Shufi dan kebanyakan Ahlusunnah dan Syi’ah tidak bisa diterima udzurnya dan adalah wajib atas mereka (Wahhâbi salafy) bersikap keras dalam hal akidah maka Ibnu Taimiyyah juga tidak bisa diterima udzurnya dalam berdalil dengan atsar dha’îf itu. Selain itu, yang berhujjah dengan atsar tersebut tidak hanyaIbnu Taimiyyah seorang, an Nasai telah meriwayatkannya dalam kitab ‘Amalu al Yaum wa al Lailah dan an Nawawi juga meyebutkannya dalam kitab al Adzkâr…. Jadi daftar masalahnya panjang…. Lalu apakah mereka semua MUSYRIKÛN?
Atsar itu sengaja saya sebutkan sebelum merenungkan ayat-ayat agar menjadikan kaum Wahhâbi berendah hati (tidak sombong sok paling agamis dan paling mengerti agama dan paling menjaga kemurnian akidah dari kemusyrikan_red), karena mereka sudah terbiasa menghina orang lain dan tergesa-gesa. Dan ini akan dapat menenangkan mereka! Karena mereka takut akan keselamatan dan mengkhawatirkan tercorengnya nama Ibnu Taimiyyah!!
Dan kalau saya mau, saya akan rendahkan kesombongkan mereka dengan mengutip ucapan-ucapan Ahmad bin Hanbal tentang bertabarruk (mengambil keberkahan) dari kuburan dan dengan memanggil: “Wahai Penghulu lembah ini”serta memohon bantuan perlindungan kepadanya dari kejahatan lembah itu. Dan“penghulu lembah itu” boleh jadi dari bangsa Jin atau dari manusia.
Merendahlah!
Bahkan atsar Ibnu Umar di atas saja sudah cukup untuk meredahkan para pecandu pengkafiran. Atsar itu telah diriwayatkan Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad dam dinilai kuat oleh Pakar Hadis negeri Mesir kebanggaan mereka yaitu al Huwaini dalam kitab Fatâwà-nya:126.
Dan Khulashahnya
Apa yang dilakukan kaum awam Syi’ah dengan ucapan mereka Ya Ali, Ya Husein sebenarnya juga telah dilakukan -atau dibenarkan secara Syari’at- oleh ulama Ahlusunnah seperti Bukhari, an Nasai, Ibnu Taimiyyah dan An Nawawi. Maka hukum yang diberlakukan ke atas mereka harusnya satu, tidak ada perbedaan hanya saja Syi’ah memanggil Ali dan Husein sedangkan ulama Ahlusunah memanggil Muhammad saw. Dan ketiga-tiga mereka itu dalam logika Syeikh al Ahmad adalah Dunallah/selain Allah!
Sampai sekarang ini saya belum menyebutkan pendapat saya… Maksud saya tentang ucapan sebagian Ahlusunnah: Ya Muhammad atau ucapan sebagian Syi’ah: Ya Ali… Saya hanya ingin mengatakan bahwa kasus ini umum di kalangan Syi’ah maupun Ahlusunnah..
Maksud saya: Saya ingin agar kaum awam belajar ekstra hati-hati dalam menjatuhkan vonsi kafir dan agar jangan taklid buta kepada para Masyâikh dan para Dai yang sektarian, karena para Masyâikh itu selalu menipu kalian dan tidak memberi kalian gambaran yang utuh tentang masalah ini.
Boleh jadi saya sependapat dengan pandangan Wahhâbi bahwa praktik seperti itu tidak dibolehkan dalam Syari’at, tetapi saya tidak sepakat dengan mereka dalam pengkafiran orang yang memandang itu boleh -seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Umar, Bukhari, an Nasai dan an Nawawi- saya menerima udzur mereka dengan alasan takwil. Dan jika saya tidak memandang Ibnu Taimiyyah, Bukhari, Ibnu Umar, an Nawawi dll adalah kafir karena praktik mereka atau dikarenakan mereka meriwayatkan hadis/atsar tentangnya maka saya tidak akan memandang kafir selain mereka baik kaum Syi’ah maupun kaum Shufi. Agama ini satu. Inilah perbedaan mendasar antara saya dengan para ulama dan para dai yang mengesankan bahwa “memanggil orang-orang yang telah mati” hanya dipraktikkan pihak lain semata. Ini adalah penipuan terhadap kaum awam.
Ayat Pertama:
Ayat pertama yang ia (Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad) bawakan sebagai dalil adalah ayat 13 surah Fâthir, dan ia memfokuskan perhatiannya pada kata: “min dûnihi”.
Allah berfirman:
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأَجَلٍ مُّسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”(QS.Fathir;13)
.
Dan seruan kepada selain Allah adalah bersandar, mengandalkan dan berlindung kepada orang-orang atau suku-suku atau tradisi-tradisi (yang lepas) dari ikatan petunjuk ilahi. Inilah arti du’à’ (memanggil/menyeru) di sini.
Apa dalilnya?
Dalil saya adalah bahwa kata dùn dalam potongan ayat; “min dûnilâah” Allah sifati sendiri dengan kebatilan karena ia terlepas/terpisah dari Allah-seperti dalam ayat itu-, dan ma’âdzallah, kami berlindung kepada Allah dari anggapan bahwa Nabi saw. termasuk dari yang batil itu! Itu tidak mungkin.
Allah SWT. berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj;62)
.
Tidaklah benar jikalau yang dimaksud dengan kata bâthil dalam ayat di atas adalah du’à’/seruan itu sendiri. Tetapi yang dimaksud adalah person-person… Allah menjadikan mereka itu berhadap-hadapan dengan (versus) Allah, dan tidak menjadikan seruan kepada mereka versus seruan kepada Allah.
Dengan arti: Allah berfirman: (ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “…. ” – (ayat diatas!!)
dan TIDAK BERFIRMAN:
أن دعاء الله هو الحق وأن دعاء ما دونه هو الباطل –
“Bahwa seruan kepada Allah itulah yang Haq dan seruan kepada selainnya adalah bathil.”.
.
Nash Qur’ani di atas sangat jelas. ia memposisikan Allah versus “sesuatu apa-apa yang diseru selain Allah” dan tidak memposisikan seruan kepada Allah versus seruan kepada apa-apa yang mereka seru. Dan melebihkan dari nash adalah sikap tidak bertanggung jawab. Allah hanya berfirman: “apa-apa yang mereka seru selain Allah”, karena kaum kafir boleh jadi karena tradisi dan kebiasaan tertentu menyeru person-person karena itu Allah menyebutnya dengan redaksi: “mâ” agar mencakup semua itu.
Ayat di atas mengecam kaum kafir Quraisy karena seruan mereka kepada tradisi, arca-arca sesembahan dan rasisme yang menghalangi mereka dari agama. Inilah yang mereka seru selain Allah… Apa yang mereka seru itu semuanya batil. Kesalah-pahaman yang Syaikh al Ahmad terjatuh di dalamnya ada dua:
Pertama: Ia menafsirkan kata du’â’/panggilan/seruan dengan pemahaman ala wahhâbi.
Kedua: Tafsirannya terhadap kata dûna dalam potongan ayat min dûnillah dengan arti adnâ/yang lebih rendah. Sedangkan kata dûna menunjukkan arti keterpisahan (selain).
Karena Allah mensifati dûna/selain (Allah) yang diseru itu dengan sifat bathil… Dan Allah menjanjikan akan menyiksa mereka semua… Baik si penyembah maupun yang disembah!!
Sadarlah kalian dari kelalaian kalian!
Allah berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah dûnallah/selain Allah adalah bahan bakar neraka Jahannam. Kalian akan mendatanginya. “ (QS. Al Anbiyâ’; 98)
Dan ini sesuai dengan ayat-ayat lain yang menjadikan ancaman ini atas para pemimpin yang ditaati (yang terpisah) dari petunjuk Allah. Mereka akan menjadi bahan bakar api neraka, bukan para Nabi as. Dan Al Qur’an penuh dengan peringatan dari mentaati para pemimpin seperti mereka itu; para tuan, para tokoh dan panutan yang justeru menghalangi dari jalan Allah yang terpisah dari petunjuk Allah. Adapun mengikuti para nabi dan kaun Shâlihîn adalah wajib hukumnya.
Jadi firman Allah -Azza wa Jalla-:
إذ تبرأ الذين أُتُبعوا من الذين اتَبعوا
“Ingatlah ketika orang-orang yang mengikuti berlepas diri dari orang-orang yang diikuti.”
mereka adalah para penyeru yang mengikuti seruan (ajakan) para penganjur yang tidak berpegang dengan hidayah Allah… (kemudian mereka (di hari kiamat kelak berlepas diri para manutan mereka._red).
Maka dengan demikian ayat ini lebih dekat (menunjukkan) ancaman atas orang yang mengkafirkan Syi’ah dan kaum Shufi dan yang menghalalkan darah-darah mereka lebih daripada menunjukkan ancaman atas Syi’ah dan kaum Shufi, sebab mereka (yang mengkafirkan Syi’ah dan kaum Shufi) mengikuti Salaf mereka dalam hal ini… Maksud saya bahwa hujjah orang yang memvonis KAFIR atas Syi’ah dan kaum Shufi serta sebagian penganut faham Salafy dan Ahli Hadis dengan alasan yang tidak semestinya dijadikan alasan pengkafiran itu sesungguhnya mereka sedang (menyeru= menghadirkan= mengandalkan) kaum zalim yang terdahulu. Karena itu mereka saling mengecam dan berlepas diri dan Allah akan menyiksa mereka semua karena telah menumpahkan darah-darah akibat kebodohan sikap yang terdahulu dan taklid buta pendatang. Dan Allah tidak akan pernah menyiksa para nabi dan kaim Shâlihîn… Renungkan ini baik-baik!
Selain itu, Allah mengecam mereka yang diseru selain (fokuskan perhatian kalian pada “min dûnillah/selain Allah”) Allah mensifati mereka itu dengan sifat: kelembekan=menuruti hawa nafsu. Allah mensifati mereka (yang diseru selain Allah itu) dengan inâts/wanita. Dan saya yakin tidak ada seorang yang rela mensifati Nabi, Ali dan Husein dengan inâts. Sifat kewanitaan/unûtsah di sini maksudnya adalah kecenderungan terhanyut bersama hawa nafsu. Ia adalah makna yang dinamis/bergerak (tidak hanya melihat dzahir gendernya semata_red)
Allah berfirman:
إِن يَدْعُونَ مِن دُونِهِ إِلاَّ إِنَاثًا وَإِن يَدْعُونَ إِلاَّ شَيْطَانًا مَّرِيدًا
“Yang mereka seru (sembah) selain Allah itu, tidak lain hanyalah wanita-wanita, dan mereka tidak lain hanyalah menyeru setan-setan yang durhaka.” [1]
Tentu yang dimaksud dengannya bukanlah berhala-berhala karena berhala Hubal misalnya adalah bergender jantan/laki-laki! Tetapi makna dinamisnya yaitu makna awal yang menjadikan wanita dinamai untsâ/wanita yaitu kelembekan. Di sini kelembekan materi, sedangkan kelembekan pada berhala-berhala itu bersifat maknawi/non materi. Yaitu: Sesungguhnya apa yang kalian seru/sembah selain Allah (maksudnya terpisah dari Allah dan dari petunjuk Allah) itu tidak lain hanyalah sesuatu yang memiliki kelembekan dan kecenderungan kepada waha nasfu dan jiwa-jiwa mereka penuh dengan nafsu…
Apakah ini jelas?!
Dan bukti bahwa maksud kata du’â (menyeru) adalah memanggil, mengikuti dan menghadirkan merekanyang diseru adalah bahwa Allah akan menyiksa semua mereka. Allah akan menyatukan bersama setan dalam ayat di atas.
Kata dûna dalam Al Qur’an berartikan pemisah yang terpisah, seperti dalam firman Allah tentang Maryam:
فاتخذت من دونهم حجاباً
“Maka dia mengadakan tabir (yang memisah dirinya) dari mereka.”
Apakah ayat di atas maksudnya bahwa mereka di atas gunung dan Maryam di lembah misalnya?!
Mengapakah kalian tidak juga mau mengerti?
Dan di antara bukti bahwa maksud: mereka “selain Allah” adalah para pemimpin yang diikuti yang terpisah dari petunjuk Allah adalah ayat di bawah ini. Dan ia pasti tidak bisa diterapkan untuk para nabi. Pasti tidak mungkin!
Allah SWT. berfirman:
وَاللَّهُ يَقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لا يَقْضُونَ بِشَيْءٍ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan apa-apa yang mereka seru/sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Ghâfir/Al Mukmin; 20)
.
Allah mensifati mereka yang diseru selain Allah itu dengan: “mereka tidak dapat menghukum dengan sesuatu apapun” dan hal ini tidak bagi para nabi as. karena hukum/ketetapan mereka adalah ketetapan Allah. Mereka tidak terpisah dari Allah dan petunjuk-Nya seperti para pemimpin yang mereka ikuti dan mereka taati.
Kemudian kata: دعا يدعو دعاء و دعوة tidak selalu meniscayakan dengan ucapan: يا فلان(hai fulan) يا آل فلان (hai keluarga fulan). Ini adalah panggilan. Kita pun mengatakan:دعوة لحفل زواج او مناسبة (ajakan untuk menghadiri acara pernikahan atau acara lain. Kita tidak menggunakan kata: نداء (panggilan). Jadi kedua kata ini terkadang bermakna sama terkadang berbeda..
Dan di antara bukti bahwa para kekasih (selain Allah) yang dimaksud bukanlah para nabi dan kaum Shalih adalah ayat-ayat di bawah ini yang melarang mengikuti mereka. Seperti ayat:
.
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti auliyâ’/pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (QS. Al A’raf; 3)
.
Dan berdasarkan pemahaman Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad dan (Masyaikh Wahabi lainnya) bahwa Nabi saw. adalah termasuk selain Allah. Maka dengan demikian beliau tidak boleh diikuti. Kesimpulan atas dasar pemahaman itu jelas palsu berdasarkan nash-nash Al Qur’an sendiri. Yang dimaksud dengan selain Allah adalah orang-orang yang diikuti yang mana mereka itu terpisah dari Allah.
Dan di antara bukti bahwa yang mereka seru lagi mereka hadirkan untuk menentang wahyu adalah bukan para nabi as. dan kaum Shalihin adalah bahwa Allah meniadakan dari mereka wilâyah… Seperti dalam ayat ini:
.
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”. (QS. Al Kahfi;26)
Dan berdasarkan pemahaman Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad dan (masyaikh Wahhabi) lain bahwa Nabi Muhammad saw adalah termasuk selain Allah itu. Maka oleh karena itu beliau tidak layak sebagai Wali. Padahal dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
.
إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا
“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”
.
Dan di antara ayat-ayat yang menggugurkan pemahaman Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad dalam menafsirkan kata dûna dengan arti adnâ/yang lebih dekat/rendah adalah ayat di bawah ini:
.
قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِم بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ
“Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu“. (QS. Saba’;41)
.
Dan berdasarkan pemahamannya maka Allah bukan para wali. Sedangkan ayat itu bermaksud para malaikat. Mereka; para penyembah itu terpisah dari petunjuk Allah. Bukan berartikan bahwa Alla lebih rendah/dekat dari mereka. Bukankah yang demikian itu sudah jelas?
Dan di antara bukti Al Qur’an adalah ayat:
ويخوفونك بالذين من دونه
“Dan mereka mempertakuti kamu dengan yang selain Allah.” (QS. Az Zumar; 36)
Menurut pemahaman Syeikh al Ahmad bahwa: “Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan selain-Nya” itu adalah menakut-nakuti dengan para nabi dan kaum Shalihin. Ini jelas batil/palsu!
Yang dimaksud adalah bahwa kaum kafir menakut-nakuti Nabi saw. dengan para pemimpin yang mereka ikuti yang mana mereka itu terpisah dari Allah, Syari’at dan petunjuk-Nya… Adapun orang-orang yang mendapat hidayah Allah maka kaum kafir tidak menakut-nakuti Nabi dengan mereka!
Dan di antara ayat-ayat yang menjelaskan makna kata: دون/dûna dan bahwa ia bermaknakan pemisah dan penghalang bukan dengan arti yang lebih dekat/rendah adalah ayat di bawah ini:
.
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا
“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.” (QS. Al Kahfi;90)
.
Maka berdasarkan pemahaman Syeikh al Ahmad kata: من دونها di artinkan di bawahnya. Padahal makna ayat itu adalah demikian: Kami tidak menjadikan bagi mereka “pelindung” (dari cahaya matahari) atau sesuatu yang “memisah” mereka dari sengatan terik matahari”. Kata: دون artinya adalah pemisah dan penghalang bukan yang lebih rendah tempatnya.
.
Khulàshah:
Sesungguhnya pemahaman yang disimpulkan Syeikh Abdul Muhsin al Ahmad adalah tergesah-gesah dan pemahaman Wahhâbi awam dan bukan pemahaman yang benar. Banyak sekali ayat yang membantah pemahaman itu. Dan pemahaman tergesah-gesah itu dan memaksakan pengetarapan ayat atas Syi’ah dengan serampangan dan memilih-milih yang cocok saja tidak hanya dilakukan oleh Syeikh al Ahmad seorang tetapi memang begitulah metode orang-orang yang bersengketa sejak dahulu kala, khususnya kaum Salafy kemudian kaum Wahhâbi.
Karena itu kami katakan: perlu ada dialog yang serius, ilmiah dan obyektif serta transparan, di mana kesaksian hanya semata karena Allah bukan demi mazhab. Dan tidaklah setiap orang yang berhujjah dengan Al Qur’an berarti ia tulus demi Allah, boleh jadi ia berhujjah demi mazhabnya. Oleh sebab itu setiap orang yang tumbuh di lingkungan yang kental nuansa kemazhabannya mengira bahwa orang yang berhujjah dengan Al Qur’an berarti ia tidak sektarian.
Allah tidak memberi hidayah dengan Al Qur’an kecuali orang yang layak mendapatkannya dan –“tidaklah Al Qur’an itu menambah bagi orang-orang yang zalim kecuali kerugian”-. Orang-orang yang zalim menjadikan Al Qur’an sebagai pembela mereka dan mazhab mereka serta merubahnya sebagai cambuk yang akan mendera punggung-punggung selain mereka saja. Dan jika terbukti al Qur’an juga mengenai sebagian Salaf idola mereka maka mereka segera menyelamatkannya dari cambukan itu. Ini jelas sebuah pengkhianatan terhadap Al Qur’an al Karim.
Semoga Allah tidak menjadikan kita semua tergolong orang yang berhujjah dengan Al Qur’an demi kepentingan mazhab atau selainnya, tetapi menjadikannya sebagai petunjuk, cahaya dan obat kesembuhan bagi penyakit yang ada dalam dada-dada kita yaitu penyakit berjiwa jahat terhadap orang lain, dengki, mengklaim suci diri sendiri dan merendahkan/meremehkan harkat/hak orang lain.
___________
[1]. Kata “inâtsan” arti aslinya adalah wanita-wanita. Allah menyebut berhala-berhala; sesembahan kaum kafir dengan sebutan itu. Bisa jadi karena alasan yang disebutkan Syeikh Hasan di atas yaitu adalah kecenderungan kepada menuruti ajakan nafsu sebagai ciri dominan pada wanita… Atau alasan penyebutan sesembahan/berhala kaum kafir dengan inâtsan adalah karena sisi kelemahan dan kelembekan serta keterpengaruhan. Mereka selalu menjadi obyek pengaruh pihak lain. Berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak mampu berbuat apapun dari apa-apa yang diharap oleh para penyembahnya. . Makna ini sesuai juga dengan firman Allah dalam surah al Hajj ayat 74 dan surah al Furqân ayat 3.
Jadi dzahir makna kata itu adalah adanya keterpengaruhan yang menjadi ciri makhluk dibanding Sang Maha pencipta.
Sedangkan maksud: “setan yang durhaka” adalah setan yang kosong dari kebaikan apapun. Karena kata: “marîdan” artinya adalah yang telanjang/kosong. Allahu A’lam bish Shawâb. (Abu Salafy)
Filed under: Akidah, Bantahan & Tanggapan, Fatwa Pensesatan, Fatwa Wahabi-Salafy, Ghulat Salafy, Hasan Farhan Al Maliky, Kajian Hadis, Manhaj, Penyimpangan Akidah Dalam Kitab at Tauhid, Wahabi dan Pengkafiran Umat Islam |
Kalau soal anti kuburan, salafy wahhabi memang sangat keras. Sampai2 seseoorang dianggap blm sempurna imannya klu belum bermuka masam bila melihat kuburan “keramat” yg sering diziarahi. Fatwa khas salafi wahhabi soal kuburan keramat, yg sdh dipraktekkan dgn suka cita oleh kombatan salafy wahhabi adalah “bongkar kubur bila masjid duluan dan bongkar masjid bila kubur duluan” seperti yg terjadi di Suriah dan Irak.
Tapi dilain sisi kita harsu kritis juga. Maksudnya bahwa kita mengakui dan tidak memandang salah apalagi syirik, thd praktik ziarah kubur wali dgn bertawassul, istighozah dll. Tapi tentu jgn jadi ketergantungan hati kita. Ketika kita bertawassul dlm berdoa, jauh sebelumnya kita harus penuhi adab2 doa kpd Allah, misal berusaha membersihkan dhohir dan bathin kita, makan yg halal dan tentu memperbaiki hubungan kita dgn Allah. jadi fokus hati kita kepada Allah swt bukan kepada mahluk. Misal kita sakit kepala, maka fokus kita pada Yang Menciptakan dan Yaang Maha Berkehendak, bukan langsung ingat parames, bodres atau panahdol. Jadi klu ada orang yg rajin ke makam keramat tapi sholatnya tidak ia perhatikan ini yg parah men!!.
Dalam tataran teori, kita tak mempermasalahkan, tidak mensyirikkan ziarah kubr, tawassul dan istighozah. Tapi dalam tataran realitas dilapangan kita kadang tidak mengerti apa yg suka dilakukan oleh orang2 awam : mengikat benang di pagar kubur, membawa bunga yg sdh layu dan mengering atau air dari kubur keramat, melempar uang logam ke kubur, apalagi sampai mampu bertahan berbulan2 hidup disekitar kubur bukan untuk bekerja tapi hanya untuk bertabarruk. Apa yang dicari..??????.
Tapi memang kita suka mentolelir hal2 yg tidak masuk akal, dan ini menjadi sasaran empuk kaum salafi wahhabi dlm menyerang kaum tradisionalis seakan2 kesalahan orang awamnya harus ditanggung oleh alimnya padahal sama sekali tidak pernah mengajarkan. Akhirnya banyak dari anak muda yg cethek keilmuannya mudah dipengaruhi. Begitu mengenal sedikit tentang ajaran salafi wahhabi, seakan sudah jadi “superman” tuduh sana tuduh sini dgn kata2 BID’AH!!!, SYIRIK !!!!, KHURAFAT !!!!. dan lantang berseru : TEGAKKAN SUNNAH ALA MANHAJI SALAF SHOLEH…….
Jadi yg sedang2 saja lah…. kritik tetap ada jgn kita buang kawan…
Satu lagi….
Berkaitan dengan nida’, ada yg bisa kita amati dlm fenomena praktik nida’ ini, dimana nida’ bukan hanya dilakukan secara lisan sj tapi biasa dlm bentuk tulisan di bendera warna warni dan juga ikat keapala dengan tulisan . ياحسين Ini khususnya biasa dipraktekan di kalangan Itsna Asyari sbgmana biasa di pakai sbg atribut oleh milisi Hisbullah.
Tapi dikalangan Zaidy belum pernah rasanya terlihat mereka pakai2 atribut itu baik dlm bentuk bendera atau ikat kepala dlm setiap even demontarsi atau pertempuran mereka.
Mungkin dari ikhwan pembaca ada yg memahami mengapa kaum Isna Asyari begitu “berlebihan” dlm mengamalkan nida’ khususnya kpd Imam Husain a.s. seperti dlm acara peringatan Yaumu Karbala itu.
Klu ada yg memahami ini tolong di share d sini……. Di tunggu yah !
Maksud nida’ yang “berlebih lebihan” dalam yaumu karbala itu apa masbro bisa masbro jelaskan lagi. Karena setahu saya yaumul karbala tidak punya format baku harus begini dan begitu. Kata berlebihan itu sendiri tergantung dari sudut mana memandangnya misal bagi saya menghabiskan duit Rp 25rb untuk makan siang berlebihan, tapi mungkin bagi masbro biasa2 saja atau malah kurang duit segitu. Syahidnya Imam Husayn as di Karbala selalu menjadi nafas dan semangat juga simbol untuk menentang kesewenang2 dan ketidakadilan. Masbro lihat sendiri dari atribut milisi Hisbullah. Kalau mau membahas manfaat dari peristiwa 10 Muharram bisa masbro buka2 web terkait. Syukron
Memang di tangan isna Asyari lah hal2 yg berkaitan dgn Ahlul Bait as menjadi dinamis dan selalu up to date untuk dibicarakan seperti penyampaian hadits Ghadir, dicatat tanggalnya sehingga menjadi peringatan/Yaumu Ghadir dan ada puasanya jg dan begitu jg dgn peristiwa syahadahnya Imam Husain as yg menjadi simbol perlawanan thd kezaliman dan perilaku tiran yg menindas. Sepertinya hal2 semcam ini tidak djumpai di sekte lain.
Kaitannya dgn syahadah Sang Imam yg menjadi simbol perlawanan atas kedloliman maka kata2 Ya Husain atau labbaika ya Husain sdh menjadi hal lumrah dlm kalangan mereka baik dlm lisan maupun tulisan, yg agak terasa aneh bagi orang yg diluar mereka yg tidak memahaminya. Dengan demikian maka terpulang bagi para pengamalnya yg tidak mesti dinilai dgn hitam putih dgn vonis syirik dll.
Cuma tetap sj dlm sebuah peringatan, maka kaum yg awam mengambil jalan dan caranya sendiri dlm mengekspresikan perasaannya sperti melukai diri hingga berdarah2.
Adakah yg bisa memahami praktik ini ?.
@yujarshif
Terkaid nida’ yang menurut masbro sedikit “asing” seperti labbaika ya Husain…ini terkait dengan riwayat dari sisi kami sesuai dengan perkataan Imam Husain a.s “hal minaashirin yanshuruniy” dengan itulah serempak kaum Syiah akan menjawab dengan labbaika ya Husain…kata labbaika itu sendiri apakah hanya boleh ditujukan untuk Allah SWT semata? Mungkin yang paham dengan tata bahasa Arab bisa sharing di sini. Syukron
Terima kasih pada @Cempluk dan @ Ferhos_Doran yg telah memberika tanggapan. Untuk masalah tatbir tak usah ditanggapi, kecuali bila anda harus membela krn merasa ia bagian dari “syariah” misalnya. Bisa dilanjutkan..?
Di komen sbelumnya, ada yg menanggapi bahwa tidak usah disama2kan antara Syiah dgn Sunnah krn tak akan ketemu. Jadi harus jd sunni hakiki atau syi’i murni. Tak usah abu2 alias separoh2.
Klu menurut antum dan pengunjung lainnya, apakah Islam yg dibawa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, itu satu atau beragam/lebih dari satu?.
Sehingga kita spertinya harus beraviliasi ke madzhab tertentu misalnya sunnah atau Syiah ( sbg fakta dari representasi umat Islam yg masih dlm proses pergulatan pemikiran).
Berikan komen anda semua. Jadilah diri anda bukan jadi orang lain. Sy tunggu yaa……
@yujarshif
Baik Ustadz, mohon maaf sebelumnya, Syukron
orang awam memang sering keterlaluan dalam ziarah dan sering tanpa ilmu. tapi solusinya bukan terus dilarang ziarah itu. tugas ulama untuk mengajari orang awam ziarah yg benar. kalau setiap sesuatu perbuatan baik lalu disalah gunakan dengan cara tidak baik oleh orang awam lalu dilarang melakukan perbuatan baik itu secara total. itu solusi orang jahil. sama misalnya sunnah mencium hajar asswad, lalu krn ada oknum yg membisniskan mencium itu lalu mencium itu dilarang ya salah besar. solusi yg baik ya oknum-oknum itu saja di tangkap.