Tolok Ukur Agama Bukan Kemazhaban
SUMBER: http://almaliky.org/news.php?action=view&id=823
oleh Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliky (*)
Pada bagian pertama kami telah sajikan kaidah-kaidah dasar atau ciri-ciri umum Ahli Hadis dan manhaj mereka. Dan hari ini kami akan sedikit merinci. Karena keterangan umum semata tidaklah cukup.
Sebelumnya telah kami katakan bahwa Ilmu Hadis butuh kepada tolok ukur baru atau paling tidak mengaktualkan konsep-konsep yang telah dibangun dalam arti:
Ketika Ahli Hadis mendefenisikan bahwa hadis Shahih itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil[1] yang tepat hafalannya dari perawi lain yang juga menyandang kriteria yang sama… Agar keadilan dimaksud ditetapkan berdasarkan tolok ukur ilmiah bukan kemazhaban. Tolok ukur kemazhaban ini adalah cacat/celah besar di kalangan kebanyakan Ahli Hadis. Maksudnya bahwa mereka terkadang mentsiqahkan perawi yang cacat /majruh atau perawi yang fasiq dalam kacamata Al Qur’an, dan mereka melemahkan perawi yang adil dan jujur dalam kacamata Al Qur’an!
Tolok ukur keadilan, Sunnah, bid’ah, iman dan kemunafikan menurut Ahli Hadis terdapat cacat besar akibat terpengaruh oleh riwayat, situasi politik dan atmosfir umum kemazhaban… Persis seperti juga sekarang. Terkadang mereka mendustakan orang yang jujur dan mempercayai pendusta, semua itu dengan tanpa tolok ukur yang benar, akan tetapi dengan selera kerelaan pribadi atau ketidak sukaan pribadi. Orang yang kita benci maka ia kita vonis pembohong dan orang yang kita sukai maka ia adalah jujur terpercaya!
Ini adalah tolok ukur kemazhaban subyektif sama sekali tidak ilmiah dan tidak obyektif apa adanya.
Metode Ahli Hadis berpengaruh terhadap kita hingga hari ini. Sesiapa yang kita benci kita tuduh pembohong dan kita kecam dia, karena dosa/kesalahan sekecil apapun. Dan sesiapa yang kita sukai kita cari-carikan uzur untuknya dan kita rahasiakan kejelekan-kejelekannya!
Hal lain… Yaitu bahwa Metodologi Ahli Hadis biasanya (khususnya di masa kekuasaan Khalifah Mutawakkil dan masa Ahmad bin Hanbal) adalah memuji secara mutlak atau mengecam secara mutlak. Cinta mutlak atau benci mutlak. Mentalitas seperti ini ada hingga hari ini. Ini juga kebiasaan kejiwaan yang tidak terkontrol dengan ikatan Al Qur’an Al Karim. Karenanya Anda mendapati golongan Salafi (pewaris tulen Ahli Hadis) membenci secara mutlak siapapun yang menyelisihi mereka dan mengancamnya dengan api neraka... tidak terkecuali (yang mereka kecam adalah) kelompok Asy’ariyah -dan mereka adalah mayoritas Ahlusunnah-.. Mereka mengelompokkannya dalam tujuh puluh firqah/sekte (yang masuk neraka) berdasarkan hadis dha’if yang menyalahi Al Qur’an.
Jika kita kembali kepada tolok ukur Al Qur’an maka ia tidak memerintahkan kita membenci kecuali membenci orang yang memerangi dan menyerang kita secara fisik saja, baik ia Muslim yang membangkang/memberontak atau orang kafir yang menentang kebenaran dengan sengaja. Adapun selainnya maka kecintaan kepada mereka adalah dibenarkan oleh syari’at. Dan kecintaan itu adalah perasaan qalbu yang kamu tidak bisa menentukannya. Jika ada seorang Dokter non Muslim membantumu dalam mengobati putra kamu maka secara tabi’i kamu pasti menyukainya, tentu bukan karena agamanya akan tetapi karena ia telah menolongmu dengan mengobati putramu… Ini wajar sekali.
Kelompok Salafi -pewaris Ahli Hadis- memaksa hatimu untuk membenci semua orang non Muslim, bahkan setiap yang non Sunni bahkan semua orang yang bukan Salafi. Ini pemaksaan kemazhaban bukan berdasar Syari’at... Seorang Muslim itu bukan orang yang bermental hina sehingga membenci orang yang telah berbuat baik kepadanya atau bahkan membenci orang yang tidak berbuat jahat kepadanya. Kehinaan mental dan kebencian ini bukan dari agama. ini adalah kemazhaban !
Dan agar kita tidak menzalimi siapapun… Saya katakan bahwa ini tidak merata pada setiap orang Salafi, tetapi paling tidak ini adalah fenomena umum, dan sangat disayangkan inilah yang kami pelajari di sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita di bawah slogan: Bersolidaritas dengan kekasih Allah dan berlepas diri dari musuh Allah. Ini adalah konsekuensi logis dari pengaruh Ahli Hadis terhadap prilaku dan akal Muslim. Ini bukan buah hasil Al Qur’an bukan pula hasil Islam dan bukan pula demikian akhlak Nabi saw. …
Jadi kebencian dan sikap berlepas diri itu dibenarkan terhadap orang yang menyerang dan melampaui batas yang memerangi dan yang zalim … Tidak terhadap Muslim yang berbuat kebaikan.. Ini adalah sikap yang benar jika kita mau bertahkim kepada Syari’at dalam menimbang sikap dan prilaku. Adapun bertahkim kepada mazhab maka tidak!
Karena itu kita mendapati pengikut Salafi (pewaris mentalitas Ahli Hadis) membikin capek orang lain dengan mewajibkan apa-apa yang sama sekali tidak diwajibkan oleh Syari’at, akan tetapi Ahmad bin Hanbal yang mewajibkannya atau Ibnu Taimiyah atau Ibnu Abdil Wahhab. Orang-orang itu -atau sebut saja tokoh-tokoh itu- betapapun mencapai keutamaan dan ilmu pengetahuan hanya saja kita tidak boleh menjadikan prilaku dan sikap mereka sebagai standar agama/syari’at. Tidak juga sikap dan prilaku Ahli Hadis bahkan tidak juga para Sahabat. Syari’at itu patokannya adalah Nash: Al Qur’an dan Sunnah. Kita hanya boleh senang dan tentram kepada prilaku kaum shaleh dari para sahabat, ulama dan para fukaha’.. Tentu beda antara menjadikannya HUJJAH dengan senang dan tentram (asyik dan akrab)!
Jadi Ahli Hadis dan metodologi mereka telah membuahkan hasil yang kering/kaku, memaksa-maksa diri memusuhi orang-orang yang Allah tidak memerintahkan kita memusuhi mereka, dan memberikan uzur dan pembelaan orang yang Allah perintahkan kita memusuhinya dari kalangan kaum yang berlaku keterlaluan dalam menyerang dan yang memerangi kita. Maka kita dapati mereka (Salafi) memusuhi orang seperti Jaham bin Shafwan dan kaum Mu’tazilah dan pengikut aliran Asy’ariyah hanya karena pendapat yang mereka yakini, sementara itu mereka berlebih-lebihan dalam mencintai dan membela para PENGANJUR KE DALAM API NERAKA dan PEMBESAR KEZALIMIN DAN PENJAHAT!!
INI ADALAH BUAH HASIL MAZHAB, BUKAN AGAMA.
Agama tidak menjadikan bagi seorang pun keistimewaan yang melegalkan kejahatan-kejahatan dan kezaliman baginya. Sebagaimana agama tidak mencegah siapapun untuk berpikir positif dan kreatif serta berusaha dengan segenap upaya untuk mengenal al haq…
Yang pertama itu kejahatan sedangkan yang kedua ini ma’rifi (bersifat pengetahuan).
Agama tidak menghukum upaya mendapat pengetahuan, ia justeru akan menghukum kejahatan. Mazhab menjungkir balikkan norma ini. Ia menghukum banyak orang karena pengetahuannya dan bersikap menutup mata terhadap orang lain tertentu atas kejahatan-kejahatan mereka!
Dan kapan kiranya kita mampu mengembalikan kompas sehingga sikap toleran kita dan sanksi yang kita jatuhkan sesuai dengan agama bukan mengikuti mazhab? Kita tidak akan bisa mengembalikan kompas itu kecuali pertama-tama dengan mengurai kondisi kemazhaban kita dan melakukan kritik interen. Tidak berguna Anda menunjukkan manusia kepada agama atau kebenaran secara langsung karena mereka akan berkata: Tetapi Ahmad dan Ibnu Taimiyah membenci si fulan itu dan mereka berdua telah mengkafirkan kaum Mu’tazilah dan… dan…
Jadi Anda dalam kondisi seperti ini sangat butuh berkata kepadanya: Ahmad bin Hanbal (rh) adalah seorang Faqih yang adib, tetapi kita tidak mengambil syari’at darinya. Beliau manusia biasa, lalu bagaimana kamu berhujjah atas saya dengan perbuatan/sikap manusia biasa dan mencampakkan nash?!
Di sinidia (salafy _red) akan kembali berkata kepada Anda: Beliau lebih alim tentang Syari’at dari kamu!
Maka katakaan kepadanya: Ini adalah hujjahnya kaum awam Syiah dan Mu’tazilah serta selainnya tentang ulama-ulama mereka. Jadi kalau begitu kamu juga harus menerima uzur mereka atau jika tidak maka kita harus sepakati sebuah Kalimat Pengikat yang sama-sama kita sepakati, karena setiap pengikut mazhab-mazhab yang ada mengatakan: Ulama kami lebih alim dan mengerti Syari’at! Jika demikian apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan beri uzur mereka atau kita akan mengatakan: Nash adalah lebih berhak untuk diikuti! Tentunya nash yang wadhih/jelas dan gamblang bukan yang masih mutasyabih.
Pada akhirnya para pelajar dan kaum awam akan menemukan Kalimat Penentu yang disepakati untuk menjadi pelerai dan solusi tengah… Intinya adalah: Penetapan Syari’at adalah hak Allah dan Rasul-Nya… Dan bukan milik siapapun betapapun ia agung di hati kita.
Ahli Hadis -semoga Allah memaafkan mereka- tidak demikian. Mereka jika menemukan Ahmad bin Hanbal memusuhi seseorang maka mereka pun ikut memusuhinya. Jika adz Dzuhali membenci seseorang mereka pun membencinya. Jika Malik berfatwa agar si fulan dibunuh mereka pun menfatwakan fatwa yang sama!!
Ini tidak boleh.. Tidak boleh kamu mengikuti seorang Faqih dalam seluruh ucapan dan sikapnya… Kecuali Rasulullah Saw saja kamu harus ikuti secara mutlak. Adapun Ahmad bin Hanbal, Malik, adz Dzuhali dan yang semisalnya maka kamu tidak harus terikat harus mengukuti mereka. Ya, saya terikat harus meneliti tindakan dan dalil-dalil mereka lalu saya sodorkan kepada Kitabullah dan Sunnah, jiak ia sesuai maka saya ikuti dan jika tidak saya tolak…
Boleh jadi ada orang yang berkata: Mereka tidak pernah menyalahi Katabullah dan Sunnah.
Maka saya katakan: Apakah ketika adz Dzuhali mengucilkan dan mengecam Bukhari dan menvonisnya sebagai ahli bid’ah dan memerintahkan orang-orang agar menjauhi dan memusuhi Bukhari serta meninggalkan meriwayatkan hadis darinya… Apakah sikap itu dalam pandangan kalian sesuai dengan Katabullah dan Sunnah?! Pasti kalian tidak sanggup menerimanya bukan?! Jadi…?
Apabila adz Dzuhali -Guru besar Bukhari- ( dan diikuti Abu Hatim dan Abu Zur’ah) apabila kamu tidak setuju dengan mereka dalam sikap mereka terhadap Bukhari, maka adalah hak kamu pula untuk tidak setuju dengan mereka dalam sikapnya terhadap orang/perawi lain.
Jadi tidaklah benar bahwa wajib atas kamu menyetujui para ulama dan Ahli Hadis. Kamu harus memperhatikan ucapan dan sikap mereka lalu kamu sodorkan kepada Syari’at dan setelahnya kamu berhak menerima atau menolak. Ini adalah agama!
Kemudian Ahli Hadis itu tidak sepakat dalam semua masalah sehingga mengikuti mereka itu wajib. Maksudnya jika kamu mau mengikuti mereka pastilah tidak bisa karena mereka sendiri berselisih satu dengan lainnya dalam banyak sikap dalam mendha’ifkan atau mentsiqahkan… dll. Lalu andai Ahli Hadis itu bersepakat tentang sebuah masalah maka tidaklah harus atas kamu menyetujui mereka, di sana ada Ahli Ra’yi/para pemikir, Mu’tazilah, Syi’ah dan pengikut Asy’ariyah… dan hujjah para pengikut mereka juga sama dengan hujjah kamu.
Maka kami harus mengingatkan kalian bahwa tiada keharusan atasmu mengikuti mazhab atau aliran atau partai tertentu.. Kamu wajib mengikuti al haq/kenebaran sejati yang kamu ketahui bahwa ia adalah kebanaran. Kebenaran yang tidak kamu ketahui pun kamu tidak wajib mengikutinya.
Mungkin ada yang berkata: Kata-katamu ini mengesankan bahwa tidak ada kewajiban untuk mengikuti kaum Muslimin dan bahwa boleh mengikuti kaum Yahudi dan Nashrani, karena hujjah kaum awam mereka sama dengan hujjah kita?!
Jawabnya: Allah tidak membebankan setiap jiwa kecuali sesuai kemampuannya. Ya benar, saya tidak mengharuskan kaum awam Yahudi, Nashrani dan kaum awam Muslimin mengikuti siapapun. Saya haruskan ia mengikuti kebenaran, dengan arti: tidak ada kewajiban atas seorang Yahudi mengikuti kaum Muslimin. Yang wajib adalah mengikuti kebenaran. Dan ia wajib juga atas si Muslim. Kita bisa berdiskusi tentang apa itu kebenaran/al haq? Ini masalah lain.
Tetapi jika kamu temukan kebenaran ada pada kaum Nashrani yang tidak ada pada kaum Muslimin maka ikuti, karena ia adalah termasuk agama Allah. Seperti akhlak contohnya, hubungan sosial yang baik, kecintaan kepada pengetahuan dan hak-hak azazi kemanusian…
Ketika saya katakan: “Ikuti! ” perkara-perkara itu bukan dikarenakan ia adalah bersifat Nashrani tetapi dikarenakan ia adalah kebenaran yang ditelantarkan umat Islam padahal ia bagian dari inti agama mereka. Mengikuti agama dengan mengikuti agama, bukan mengikuti penganut agama itu. Maka atas dasar ini tidak ada masalah dalam mengikuti kebenaran apapun baik kamu temukan di kalangan kaum Muslimin atau Yahudi atau Nashari atau kaum Budha… dll. Dengan sikap ini seorang Muslim menjadi pasrah kepada pengetahuan dan kebenaran.
Kita harus menomer-duakan nama-nama dan harus memperhatikan inti perkara-perkara. Ini sangat berbeda dengan metodologi Ahli Hadis yang telah menjerumuskan umat Islam dalam gelar-gelar (Sunni/Ahli Bid’ah/Sesat dll) dan menelantarkan hakikat perkara.
Ahli Hadis terserang sikap ketertipuan diri dengan gelar-gelar ini dari banyak cacat -sekarang bukan ruang yang tepat untuk menguaraikanya dengan rinci- mulai dari Memuji diri sendiri, meremehkan keunggulan orang lain, mencampakkan Al Qur’an dan terseret arus pengaruh keksuasaan… dll. Karena itu setiap masalah ilmiah yang kamu diskusikan dengan mereka kamu temukan mereka melompat segera melontarkan gelar-gelar untuk mengolok-olok: Kamu Sunni atau Syi’ah? Kamu sekuler/liberal atau aktifis Islami?…
Ini adalah kebodohan, karena dialoq itu tentang materi informasi dan sejauh mana keakuratannya… Bukan pada person… Sekalipun ia berkata kepadamu: Saya Syi’ah atau sekuler tetap saja kamu tidak boleh menolak kebenaran yang ia bawa. Dan andai ia berkata: Saya Sunni, juga tidak boleh bagi kamu mengikuti kebatilan yang ia bawa. Karena kebenaran tidak terpostur pada person. Kebenaran lebih tinggi nari nama-nama dan gelar-gelar. Kebenaran adalah sebuah makna yang tidak kepada person tetapi manusialah yang harus berusaha menemukannya.
Hal-hal ini boleh jadi sekedar teori dan sebagian Ahli Hadis berkeras kepala dan berkata: Kamu telah menzalimi mereka. Sejatinya Ahli Hadis itu obyetif… Mereka begini dan begitu…
Maka katakan: Kami berbicara tentang kondisi yang nyata dan kami tidak mengeneralisir.
Bersikap keras kepala (tidak mau mengakui kebenaran yang tentunya pahit_pen) adalah ciri dari ciri-ciri Ahli Hadis yang mereka wariskan kepada pengikut Faham Salafi (Salafiyah). Kita temukan seorang dari mereka berkeras kepala tentang sebuah informasi yang jelas bak matahari di jantung langit. Dan ia mengira bahwa sikap keras kepala itu adalah agama!
Itu adalah kesalah-pahaman dan anggapan belaka.
Jadi… Ahli Hadis telah mewariskan kepada kita banyak sikap/sepak terjang dan kezaliman-kezaliman serta kekauan mereka, lalu bercampur aduklah dengan inti agama, maka ia melemahkan pemahaman dan pola beragama kita yang pertama yang bercirikan RAHMAT…
Islam, itu Pertama adalah RAHMAT bahkan bagi selain kaum Muslimin sekalipun (itu jika kita kenali Allah dan Kemaha Adilan-Nya). Adapun islamnya mazhab-mazhab, itu adalah SIKSA bahkan atas kaum Muslimin sendiri (itu ketika kita kenal setan dan makar jahatnya).
Pendahuluannya berbuah baik.
Jika kita memulainya dengan mengenal Allah maka makrifat/pengenalan itu akan membuahkan total kebaikan. Dan jika tidak kita awali dengan pengenalan Allah dengan benar maka setan akan menyerang lebih dahulu dengan pola pikirnya dan dengan tipu muslihatnya lalu ia menetapkan syariat khusus untukmu yang melagalkan semua bentuk kejahatan dan keburukan!
.
Bersabung InsyaAllah
____________
[1]. Orang “Adil” adalah yang memiliki sifat “adalah” yaitu kejujuran, ketulusan, keikhlasan, dan kebaikan prilaku (bukan orang fasiq, atau zalim)
(*). Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliky adalah ulama moderat Arab Saudi. Beliau seorang Ahli hadis, hukum Islam dan peneliti sejarah, serta seorang peduli HAM, beliau anti sektarian, ekstrimisme dan kekerasan, lebih-lebih atas nama agama, Anda bisa berinteraksi dengan beliau lewat halaman facebook dan Twitter-nya. juga bisa mendowload buku-bukunya lewat situs resminya http://almaliky.org/index.php atau mendengar ceramah-ceramahnya lewat halaman youtube-nya)
.
___________________
ARTIKEL SEBELUMNYA
.
1. Kajian Ilmu Hadis (Bag.1) : Lima Belas Renungan Untuk Ahli Hadis
.
Filed under: Akidah, Hasan Farhan Al Maliky, Kajian Hadis |
Seperti yang saya duga kalau Masyaikh Wahabi tidak akan membiarkan Syaikh Hasan al Maliki begitu saja.
http://forumstudysekteislam.wordpress.com/2013/02/12/hakikat-hasan-bin-farhan-al-maliki/
Syaikh Hasan al Maliki lebih memilih keutamaan akhirat dibandingkan dengan keutamaan dunia. Menurut saya salah satu ciri ulama yang Insya Allah lurus. Ujian yang dihadapi oleh Syaikh al Maliki menurut saya cukup berat mengingat beliau tinggal di tanah Arab negara dengan seribu Masyaikh Wahabi. Dengan pemikiran beliau seperti ini saya takjub bagaimana beliau dapat bertahan dari hujatan dan fitnah. Doa umat Islam selalu mengiringi langkah beliau
gambaran kongkrt sikap al-wala wa al-baro’ yg aneh…
sewaktu mau download tafsir Ibnu Katsir (terjemahan) d sebuah site, ternyata admin tak menyediakan lg layanan download tafsir tsb, alasannya telah diketahui mutarjim/penerjemah adalah orang yg berakidah ala madzhab asy’arri. dan admin tsb bertaubat krn sebelumnya telah menyediakan fasilitas download tafsir Ibnu Katsir yg telah diterjemahkan oleh penerjemah berakidah asy’ari…..
wala’ wal baro’ yg aneh, alasan yg aneh, dan taubat yg aneh
Aneh bani ajib…..
Ust @ Abu Salafi
Mohon statemen Syaikh Farhan di atas, diklarifikasi dan dibuat kajian khusus, betulkah demikian bahwa hadits firaq itu dloif. Ini kutipannya.
“Mereka mengelompokkannya dalam tujuh puluh firqah/sekte (yang masuk neraka) berdasarkan hadis dha’if yang menyalahi Al Qur’an”.
Walaupun hadits ini sdh tersimpan rapi di otak kita (sunni) seakan hadits firaq itu pasti shohih dan fakta perselisihan itu memang ada. Bukan apa2, khawatir aja, klau2 ini intaj umawy. Maaf merepotkan….
Abusalafy:
Terima kasih.
Di sini jawabannya:
https://abusalafy.wordpress.com/2007/12/31/pro-dan-kontra-hadis-berpecahnya-umat-islam-menjadi73-firqah1/
Insyaallah ada jawaban atas pertanyaan Anda.