Tanggapan Atas Ustadz Firanda dalam buku: Ketinggian Allah Di Atas Makhluk-Nya (3)

Membongkar Kepalsuan Akidah Salafi Wahhâbi Tentang Ketinggian Fisikal Allah SWT Di Atas Makhluk-Nya

Keyakinan bahwa Allah tidak bertempat bukanlah akidah asing di kalangan umat Islam karena memang semua mazhab kecuali kaum Mujassimah Musyabbihah yang kini diwarisi oleh kaum Salafi Wahhâbi telah meyakininya dan para ulama umat islam pun telah menjelaskannya sejelas-jelasnya dalam kitab-kitab, baik kitab hadis, tafsir, apalagi kitab-kitab akidah… sehingga bukanlah hal sulit untuk mendapatkan keterangan berharga, argumentaif dan mendalam dari para ulama Ahlusunnah. Hanya saja teman-teman Salafi Wahhâbi tidak mau meluangkan waktu mereka untuk membaca, merenungkan dan menelitinya! Mereka lebih senang tenggelam dalam kubangan keterangan lugu (maaf saya tidak berani mengatakannya dungu, walaupun sepintas demikian kelihatannya) dari para penjaja akidah menyimpang yang sarat dengan posturisasi Tuhan…. dan jauh dari kemaha sucian sifat-sifat-Nya!

Setelah Anda simak bersama (dan saya berharap Anda mau meluangkan waktu dan pikiran untuk merenungkan dan merasapi keterangan para ulama kita yang telah dan akan saya sajikan di sini) saya yakin bahwa Anda dapat merasakan betapa jauh perbedaan antara kedua akidah ini… akidah kaum Mujassimah (yang sekarang sedang dipropagandakan dengan segala cara oleh saudara-saudara kita yang terjebak dalam jeratan jaring aliran Salafi Wahhâbi dan akidah para ulama Ahlusunnah (walaupun Salafi Wahhâbi dmi mengelabui kaum awam, sering menyematkan gelar ini kepada para tokoh Mujassimah Musyabbihah atau Nashibi yang membenci Ali dan keluarga Nabi saw.)!

Bagaimana akidah yang diyakini para ulama Ahlusunnah dalam masalah ini jauh dari penyimpangan sementara akidah Salafi Wahhâbi kental dengan tajsim dan tasybih!

Dalam kesempatan ini saya ajak Anda menyimak dan memperhatikan komentar dua tokoh penting Ahlusunnah yang telah merangkum akidah dalam dua buku berharga mereka. Pertama adalah Adhududdîn al Îji dan Syarîf al Jurjâni.

  • Keterangan al Îji dan Syarîf Syarîf al Jurjâni

Dalam kitabnya yang berjudul al Mawâqif, al Îji menjelaskan tentang sifat-sfat salbiyah Allah –Azza wa Jalla-, di antaranya beliau berkata bahwa Allah wajib disucikan dari arah. Lalu keterangan al Îji ini disyarahkan oleh Syarîf al Jurjâni sebagai berikut:

المقصد الأول أنه ليس في جهة ولا مكان أنه تعالى ليس في جهة ) من الجهات ( ولا في مكان ) من الأمكنة ( وخالف فيه المشبهة وخصصوه بجهة الفوق ) اتفاقاً ( ثم اختلفوا) فيما بينهم ، فذهب أبو عبد الله ( محمد بن كرام إلى أنّ كونه في الجهة ككون الأجسام فيها ) وهو أنْ يكون بحيث يشار  إليه أنه ههنا أو هناك قـال : ( وهو مماس للصفحة العليا من العرش يئط تحته أطيط الرجل الحديد ) تحت الركب الثقيل (و) قالوا إنه يفضل على العرش من كل جهة أربعة أصابع ، وزاد بعض المشبهة كمضر وأحمد الهجيني أنّ (المخلصين ) من المؤمنين ( يعانقونه في الدنيا والآخرة

Maqshad Pertama: Bahwasanya telah disepakati bahwa Allah tidak berada di arah tertentu manapun dan tempat mana pun. dan kaum Musyabbihah menyelisihi dalam masalah ini dan mereka mengkhususkan bahwa Allah berada di arah atas. Kemudian mereka berselisih sendiri, Abu Abdillah Muhammad bin Karrâm berpendapat bahwa keberadaan Allah di arah tertentu itu seperti keberadaan jism-jism di dalamnya. Yaitu sekira dapat ditunjuk bahwa Dia di sani atau di sana. Ia berkata bahwa Allah bersentuhan dengan bagian atas Arsy dan sehingga Arsy itu mengeluarkan bunyi seperti suara tempat duduk yang baru ketika dimuati muatan yang sangat berat. Dan mereka (kaum Musyabbihah) mengatakan bahwa Arsy itu (setelah diduduki Allah_pen) tersisa seluas empat jari dari seluruh sudutnya. Dan sebagian lain dari kaum Musyabbihah seperti Mudhar dan Ahmad al Hujaini menambahkan bahwa orang-orang yang Mukhlishîn dari kalangan kaum Mukminin akan berpelukan dengan-Nya di dunia dan di akhirat.”[1]

Abu Salafy:

Bagaimana Anda telah baca langsung bahwa keyakinan bahwa Allah bertempat itu adalah akidah kaum Musyabbihah… Ahlusunnah berlepas diri dari akidah menyimpang seperti itu! Jafi apa yang dipropagandakan oleh kaum Wahhâbi Salafi atas nama akidah Ahlusunnah adalah kepalsuan belaka… sebab ia adalah akidah kaum Musyabbihah yang telah nyata penyimpangan dan kesesatan pandangannya!  Maka dari itu waspadalah terhadap tipu daya dan kelicikan para Misionaris Salafi Wahhâbi!

Keterangan Sa’duddîn at Taftazâni

Di bawah ini saya akaj Anda menyimak keterangan berharga seorang alim agung Ahlusunnah. Beliau adalah Allamah Imam Sa’duddîn at Taftazâni. Dalam kitab Syarah al maqâshid-nya beliau menerangkan akidah Ahlusunnah tentang sifat Allah SWT:

أنه تعالى ليس بجسم ، ولا جوهر ، ولا عرض ، ولا في مكان وجهة .

“Sesungguhnya Dia (Allah) –Ta’ala- bukan jism, bukan jauhar bukan aradh dan Dia tidak berada disebuah lokasi atau arah.”

Kemudian beliau melanjutkan:

صفاته صفات كمال يتصف بها لذاته ، وأضدادها صفات نقص تنزه عنها لذاته ، بخلاف الأضداد المتواردة على الأجسام ، فإنها قد تكون متساوية الأقدام ، وفي نفي الحيز والجهة وجوه .

“Sifat Allah adalah sifat-sifat kemaha-sempurnaan yang disandang oleh Dzat-Nya. Dan lawannya adalah sifat-sifat kekurangan yang Allah Maha-Suci darinya. Berbeda dengan lawan-lawan yang berdatangan kepada sesuatu yang bersifat jism/fisik, karena sesungguhnya ia (lawan-lawan itu) bisa jadi sepadan. Dan yang menunjukkan tidak adanya lokasi dan arah bagi Allah adalah banyak bukti….. “ (kemudian setelahnya beliau menjelaskannya sejelas-jelasnya).[2]

  • Ketarangan Imam Qâdhi al Baidhawi

Beliau adalah alim agung Ahlusunnah dan pembesar tokoh Asy’ariyah… banyak buku bermanfaat telah beliau tulis… di antaranya kitab tafsirnya yang sangat terkenal di samping kitab Thawâli’ al Anwâr. Dalam kitab terakhir ini beliau menjelaskan:

الله تعالى ليس بجسم خلافاً للمجسمة ، ولا في جهة خلافاً للكرامية والمشبهة

“Allah –Ta’ala- bukan jism berbeda dengan pendapat kaum Mujassimah. Tidak juga berada di arah tertentu berbeda dengan pendapat Karrâmiyah dan Musyabbihah… “ (setelahnya beliau memapasrkan argumentas yang menafikan adanya lokasi dan arah untuk Allah SWT).[3]

Abu Salafy:

Keterangan Qadhi al Baidhawi jelas sekali bahwa yang meyakini bahwa Allah berada di arah atas di atas langit ke tujuh adalah pendapat kaum Musyabbihah… bukan akidah Ahlusunnah! Sementara itu, seperti telah kita maklumi bahwa Ustadz Firanda kita (yang memposisikan dirinya sebagai agen resmi mazhab akidah yang meyakini keberadaan Allah di atas langit/di arah atas, sehingga buku karangannya ppun diberinya judul KETINGGIAN ALLAH DI ATAS MAKHLUK-NYA, kendati dominan isinya bukan membahas tema itu), maka dengan demikian jelaslah bagi kuta bahwa Ustadz Firanda dan sekte sempalan Wahhabi adalah titisan kaum Musyabbihah… bukan Ahlusunnah!

  • Keterangan Imam as Subki

Imam as Subki dalam bantahannya atas Ibnu Qayyim murid setia Ibnu Taimiyah yang selalu mentransfer pemikiran menyimpang gurunya dalam berbagai penyimpangan akidah. Sepertinya bisanya, kaum Musyabbihah, seperti Ibnu Qayyim juga berdalil bahwa dianggatnya tangan-tangan hamba ke arah atas ketika berdoa adalah bukti bahwa Allah berada di arah atas (Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan)…. Maka Imam as Subki membantahnya dengan menjelaslan filosofis mengapa tangan diangkat di saat berdoa.. di antara yang beliau katakan adalah sebagai berikut:

إنّ القلب متوجه إلى الرب العالي قدراً وقهراً على كل شيء ، والإشارة إلى جهة العلو التي هي محل ملكه وسلطانه وملائكتـه والعليين من خلقه ، وقبلـة دعـائـه ، ومنزل وحيه ، وهكذا رفع الأيدي إلى الدعاء .

“Sesungguhnya hati mengarah kepada Tuhan yang maha Tinggi kedudukan dan penguasaannya atas segala sesuatu. Dan isyarat ke arah atas yang merupakan tempat kerajaan dan kekuasaan-Nya dan juga tempat para malaikat dan makhluk-makhluk-Nya yang tinggi. Dan arah atas adalah kiblat doa dan tempat turunnya wahyu Allah. Dan demikian pula dengan mengangkat tangan-tangan di saat berdoa.”[4]

Abu Salafy:

Sekali lagi ini adalah bukti nyata kepalsuan klaim adanya ijmâ’ seperti yang dibanggakan Ustadz Firanda sehingga ia menjadikannya salah satu dalil akidahnya bahwa Allah berada di atas langit. Ustadz Firanda menulis sebuah Sub Bab dengan judul: B. IJMAK PARA ULAMA TENTANG KEBERADAAN ALLAH SWT DI ATAS LANGIT.

Di bawah judul itu ia menulis demikian: “Keberadaan Allah SWT di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam.”[5]

Setelahnya ia menyebutkan keterangan beberapa ulama yang dianggapnya dapat mendukung klaimnya itu. Tetapi sayang ia hanya pandai mengutip komentar ulama tanpa pernah tau apakah yang dinukilnya itu sesuai dengan kenyataan atau justeru kenyataannya membantahnya!

Betapa banyak klaim ijma’ dalam masalah tertentu dalam agama, baik dalam fikih ataupun akidah telah dilontarkan oleh seorang alim ini atau itu, sementara kenyataannya tidak demikian! Tidak ada ijma’ dalam masalah tersebut. Lalu datanglah seorang awam setengah sarjana atau seorang sarjana tapi awam membacanya kemudian ia terbang kegirangan karena menemukan klaim ijmâ’ yang cocok dengan doqma yang pernah didoktrin kepadanya… setelahnya ia tidak lagi mau tau dengan kenyataan yang meruntuhkan klaim ijma’ itu! Dan setelah dibukakan di hadapan matanya kenyataan bahwa tidak ada ijma’ ia pun masih bangga dengan kedegilan sikapnya seraya membanggakan dalil andalan “Kaum Pokoknya”: POKOKNYA ADA IJMA’! TITIK! YANG TIDAK MENERIMA BERARTI KAFIR!

Karenanya mengajak bicara dengan mereka itu memerlukan kesabaran seperti kesabarannya Nabi Ayyub as., sebab kalau tidak, kita pasti sudah mengangkat tangan berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan Nabi Nuh as.:

لا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكافِرينَ دَيَّاراً *إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبادَكَ وَ لا يَلِدُوا إِلاَّ فاجِراً كَفَّاراً

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.* Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. Nûh [71];27)

Semoga Allah membimbing kita ke jalan-Nya yang mustaqim. Amîn Ya Rabbal Âlamîn.

(Bersambung Insya Allah)


[1] Syarh al Mawâqif,8/22. Cet. Dâr al Kotob al Ilmiah- Beirut. 1419 H/1998M.

[2] Baca Syarah al Maqâshid,4/43 dan 45.

[3] Thawâli’ al Anwâr:169. Cet. Dâr al Jîl-Beirut.

[4] As Saif ash Shaqîl:104. Cet. Maktabah Zahrân- Kairo. Thn.1993 M.

[5] Ketinggian Allah di Atas Makhluk-Nya:31.

4 Tanggapan

  1. Sukron,semoga Allah swt menjaga niat ustadz bahwa semata2 karena Allah swt.
    meluruskan niat adalah lebih sulit daripada niat itu sendiri.

    Memang begitu berat saat ini yg mana tenaga banyak tercurah untuk menahan fitnah ahir zaman ini yg datang dari dalam sendiri, bahkan sekelompok golongan itu lebih memoncongkan pelurunya kepada kaum muslimin daripada kepada para penyembah berhala.tentang fitnah perpecahan ini Rosulullah saw telah mengingatkan kita:

    Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ‘kebaikan’ (Islam) sedang aku (Hudzifah) bertanya tentang ‘kejelekan’ karena aku khawatir kejelekan itu menimpa pada diriku.
    Aku bertanya (Hudzifah) “wahai Rasulullah kita dahulu pernah hidup di zaman jahiliyah yang penuh keburukan, kemudian – ember lillah- Allah menggantikannya dengan kebaikan (Islam), apakah setelah kebaikan (Islam) ini akan muncul suatu kejelekan kembali? Kemudian Rasulullah saw menjawab : ya, ada.
    Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apakah setelah kejelekan yang terjadi itu akan muncul kembali kebaikan (Islam)? Beliau (Rasulullah saw) menjawab: ya, masih ada, tetapi kebaikan itu tidak murni, ada kekaburan (campuran) nya.
    Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apa kekaburannya wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: yaitu kelompok (kaum) yang mengaku muslim tetapi perbuatannya tidak murni menurut sunnahku (ada campuran/kotoran-kotoran aqidah dan faham yang tidak menurut sunahku), dan mereka memberi petunjuk tidak menurut petunjukku. Sebagian perbuatan mereka ada yang kamu anggap baik karena (cocok dengan sunahku) dan sebagiannya yang lain ada yang kamu ingkari (karena) tidak sesuai dengan sunahku (Islam). Islam dibelokkan ajarannya oleh mereka menurut kepentingannya (kelompok mereka) dan jangan sampai ada anggapan bahwa Islam agama yang memudar (melemah) maka ajaran Islam dirubah-rubah oleh mereka, disesuaikan dengan perkembangan zaman (yang tambah rusak ini)
    Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apakah setelah kebaikan (yaitu Islam yang dibawa oleh kaum yang tidak murni Islamnya itu) timbul kejelekan lagi, wahai Rasulullah? Jawabannya ya, ada. Yaitu dai-dai yang berdiri di depan pintu-pintu neraka jahannam. Barang siapa yang melaksanakan dakwah dan ajakannya, maka mereka da’i-da’i tersebut melempar orang tadi ke dalam neraka jahannam, dai-dai itu mengaku sebagai muslim tetapi terang-terangan dakwahnya memusuhi Islam dan bertentangan dengan Islam.
    Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: jelaskan kami (wahai Rasululllah) sifat/identitas da’i-dai itu? Rasulullah menjawab, mereka itulah orang yang kulitnya sama dengan kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.
    Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apa yang kamu perintahkan kepada kami jika keadaan seperti itu menemui kami? Jawab Rasulullah: kamu harus (wajib) bergantung dengan kelompok orang-orang Islam dan pimpinan-pimpinannya. Kemudian Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: kalau sudah tidak ada kelompok orang-orang Islam dan pimpinan-pimpinannya, bagaimana wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab : tinggalkan semua kelompok-kelompok yang non muslim (semuanya), berpegang teguhlah kepada Islam walaupun kamu sendirian. Begitu pentingnya pendirian ini hingga Rasulullah saw menggambarkannya (seakan-akan kamu menggigit pokok pohon sehingga kamu mati sendirian dalam keadaan demikian).

    Imam Ali,kw menantu rosulullah saw yg tdk ada keraguan berkata:
    Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.Beliau kw juga berkata:
    ”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]
    Beliau, kw juga berkata:
    ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd [2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” [ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.] )) –

    MARI KITA LEBIH MEMPERCAYA IMAM ALI ,kw(menantu rosulullah,khalifah rasyid ke-4) daripada ULAMA’/KAUM MUSYABBIHAH MUJASSIMAH dg ciri ciri:
    -meyakini Allah swt bertempat
    -meyakini Allah berbadan (punya tangan,mata,duduk berarti mempunyai pantat) walaupun merekan berkata tdk spt kita.

    Maha suci Allah swt dari fitnah ini.

  2. syukron akhi al Qudsy… mantap hadisnya.. terima kasih juga buat ustadzku abu salafy yang blognya selalu mencerahkan.

  3. lhah kalau ulama sebegini banyaknya menentang akidahnya wahabi wahabi lalu di mana ijmaknya hai firanda???
    kacau deh… dasar asal comot omongan ulama….
    lagian rujukannya paling-paling kitab mukhtashor al uluw… kitabnya si ahli hadisnya wahabi yang suka pikun.

    • Ustadz Firanda mengaku telah terjadi IJMA’ bahwa Allah berada DI ATAS! tapi data data yang ditampilkna ustadz abu cukup sebagai bukti KEPALSUAN PENGAKUAN USTADZ FIRANDA itu!
      JADI SEKARANG FIRANDA HARUS MENANGGAPINYA!
      WAJIB!
      JIKA TIDAK JNGAN SALAHKAN JIKA DISIMPULKAN BAHWA ARGUMENTASI USTADZ ABU MEMANG HAQ DAN HAQQUL YAQIIN

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s