Nash-nash Tentang al ‘Uluw, Ketinggian Fisikal Allah Versus Nash-nash Penentangnya
Seperti telah dan akan Anda saksikan nanti bahwa kaum Mujassimah, termasuk dari mereka kaum Salafi/Wahhabi selalu mengandalkan nash-nash (baik Al Qur’an maupun hadis yang belum pasti kebenarannya) yang secara zahir tampak memberikan makna ketinggian Allah secara meteri/al ‘uluw al hissi, Dia bertempat di atas; di Arsy… di atas langit, dan ArysiNya dipikul oleh makhluk-makhluk-Nya, mereka menolak mena’wilkan nash-nash itu dengan alasan ini dan itu, sementara itu di sana terdapat banyak nash baik Al Qur’an maupun sunnah yang menentangnya. Tidak sedikit pula nash-nash yang secara zahir pula menetapkan bahwa Allah (Maha Suci Allah) bertempat di bumi atau pada sebagian ciptaan-Nya.
Tentunya, kita meyakini bahwa pemaknaan zahir nash-nash seperti itu bukan makna yang dimaksud, sebab Allah adalah Dzat yang tidak bertempat dan tidak boleh pula dikatakan bahwa Dia berada di semua tempat! Ibnu Hajar telah menetapkan akidah ini dengan kata-katanya:
.
ولا يَلْزَمُ مِن كَوْنِ جِهَتَيْ العُلُوِّ والسفل مُحال عَلَى اللهِ أنْ لاَ يُوصَف بالعلو لأَنَّ وَصْفَه بالعلو مِن جهة الْمَعْنى والْمُسْتَحيل كَوْن ذلك من جهة الْحِسِّ.
“Dan keyakinan bahwa sisi atas dan bawah itu mustahil bagi Dzat Allah tidaklah meniscayakan bahwa Dia tidak disifati dengan Kemaha-Tinggian, sebab disifati-Nya Dzat Allah dengan Kemaha-Tinggian dari sisi ma’na (non fisikal), dan adalah mustahil Kemaha Tinggian-Nya itu dari sisi fisikal.”
.
Di bawah ini akan kami sebutkan sembilan contoh nash/ayat tersebut (dengan mengambil berkah dari angka sembilan; Wali Songo), yang tentunya, dalam menghadapinya, kaum Mujassimah Musyabbihah tidak ada pilihan melainkan mena’wilkannya (padahal ketika menghadapi nash-nash ketinggian Allah mereka mengecam ta’wil dan menganggapnya sejelek-jelak pikiran dan aliran ahli bid’ah dan kaum ateis)! Atau terjebak dalam anggapan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat kontradiksi (wal ‘iyâdzu billah).
Nash Pertama:
Allah SWT berfirman:
.
فَلَمَّا أَتاها نُودِيَ مِنْ شاطِئِ الْوادِ الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يا مُوسى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعالَمينَ وَ أَنْ أَلْقِ عَصاكَ فَلَمَّا رَآها تَهْتَزُّ كَأَنَّها جَانٌّ وَلَّى مُدْبِراً وَ لَمْ يُعَقِّبْ يا مُوسى أَقْبِلْ وَ لا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنينَ .
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: ”Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam. Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): ”Hai Musa, datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.” (QS. Al Qashash [28];30-31)
.
Dalam ayat di atas, si penyeru adalah Allah Rabbul ‘Alâmin yang berkataa-kata kepada Nabi Musa as. Dia menyerunya dari pinggir lembah yang diberkahi dari balik pohon, seraya berkata kepadanya: “”Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam…. “ nash ini jelas-jelas menafikan “ketinggian fisikal” Allah yang selama ini menjadi keyakinan kaum Mujassimah dan Musyabbihah dengan memelintir ayat-ayat yang secara zahir menunjukkan “al ‘uluw al hissi/ketingian fisikal” Allah (tentunya bagi mereka yang tidak menyelami dengan baik akidah Islam yang murni!!)
Ayat-ayat yang selama ini mereka andalkan sebagai dalil adalah dari All Qur’an! Dan nash yang kami sebutkan di atas juga dari Al Qur’an!! Sebagaimana zahir ayat ini bukan makna yang dimaksud, demikian pula dengan makna zahir ayat-ayat yang kalain banggakan itu juga bukan yang dimaksudkan! Pahami ini baik-baik!!
Dan untuk nash-nash yang akan kami sebutkan di bawah ini juga sepertti itu keadaannya.
Jika mereka mengelak dengan mengatakan ayat-ayat yang kami bawakan itu harus dita’wil! Kami akan katakan, “Demikian pula dengan ayat-ayat yang kalian banggakan itu juga harus dita’wil! Sebab alasan apa yang membenarkan kalian menerima pemaknaan ayat itu secara zahir tanpa ta’wil dan mena’wil ayat yang ini? Kaidah yang harus ditegakkan dan diyakini adalah bahwa Allah Maha Suci dari gambaran apapun yang terlintas dalam pikiran dan anggapan kita!”
Nash Kedua:
Allah SWT berfirman:
.
وَ الَّذينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ ماءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَ وَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسابَهُ وَ اللَّهُ سَريعُ الْحِسابِ.
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan di dapatinya Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”(QS. An Nûr [24];39)
Ayat itu berbicara tentang hamba yang kafir yang sedang berada di muka bumi, bukan di planet … hamba itu akan mendapati Allah di tempat fatamorgana itu … di tanah yang datar itu!
Apa yang harus mereka lakukan di sini terhadap ayat ini? Mena’wilkannya?! Padahal berta’wil itu terlarang dan mereka kecam habis-habisan! Mamaknainya secara zahir? Itu artinya bahwa Allah berada di tanah datar! Bukan di langit!
Karenanya tidak ada jalan lain selain mena’wil ayat itu dengan mengatakan hamba kafir ketika mendatangi tempat fatamorgana itu yang dia dapati adalah ketetapan dan janji Allah atas amal perbuatannya. Bukan Allah yang akan dia dapati di sana! Kendati zahir ayat itu mengatakan demikian, akan tetapi pengertian zahir itu bukan yang dimaksud, ia mesti butuh dita’wil, dengan menembahkan kata tertentu, seperti: ketetapan…. perkara atau lainnya![1]
Nash Ketiga:
Allah SWT berfirman:
وَ نحْنُ أَقْرَبُ إلَيْهِ مِنْكُم و لكن لاَ تُبْصِرُوْنَ.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu. Tetapi kamu tidak melihat.” (QS. Al Wâqi’ah [56];85)
Ayat di atas berbicara tentang seseorang yang sedang menghadapi sakaratul maut dan di sekelilingnya ada orang-orang lain; keluarga atau teman-teman dekatnya yang sedang mengerumuninya, jaraknya sangat dekat dengannya, akan tetapi Allah menegaskan: “Kami lebih dekat kepadanya dari kamu!” Artinya jika ayat itu harus dimaknai secara zahir tanpa mena’wil niscaya maknanya bahwa Allah berada di sisi hamba yang sedang dalam keadaan sakaratul maut itu! Dan itu artinya, Dia tidak sedang berada di langit sebagai yang diyakini kaum Mujassimah Musyabbihah!
Karenanya, para ulama dan ahli tafsir memaknai ayat tersebut demikian: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu (dengan pengetahuan, kekuasaan dan pengilhatan Kami. Atau para malaikat yang Kami tugasi untuk mencabut nyawanya lebih dekat kepadanya dari kamu). Tetapi kamu tidak melihat (kamu tidak mengetahuiya karena kejahilan bahwa Allah itu maha dekat kepada hamba-Nya lebih dari urat nadinya sendiri).” Lebih lanjut perhatikan tafsir Fathul Qadîr; asy Syaukani,5/161 dan tafsir Ibnu Katsîr,4/300 dan tafsir Ahlu Sunnah lainnya!
Nash Keempat:
Allah SWT berfiman:
ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم ولا خمسة إلا هو سادسهم ولا أدنى من ذلك ولا أكثر الا هو معهم أين ما كانوا.
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan rahasia antara) lima orang melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada… .” (QS. Al Mujadilah [58];7)
Tidak lah diragukkan bahwa ayat ini sedang menetapkan sebuah akidah bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Memantau; mendengar, melihat dan mengetahui apapun yang dilakukan hamba-hamba-Nya, tiada sesuatu apapun yang tersembunyi dari ilmu dan pengetahuan Allah SWT!
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas sebagai mengatakan, “Yaitu Dia Maha memantau mereka; mendengar pembicaraan dan rahasia serta bisik-bisik mereka dan selain itu para malaikat Kami mencatat apa-pa yang mereka bincangkan dalam kerahasiaan, di samping ilmu dan pendengaran Allah…
Karena itu tidak hanya satu ulama yang mengisahkan adanya ijma’ bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah kebersamaan ilmu Allah. Dan tidak lah diragukan lagi bahwa demimkian yang dimaksud, akan tetapi pendengaran Allah bersama pengetahuan-Nya atas mereka dan penglihatan-Nya menembus mereka. Dan Dia lah Allah Dzat yang Maha memantau makhluk-Nya, tiada yang gaib/tersembunyi atasnya dari urusan-urusan mereka barang sedikit pun.”[2]
Di sini, seperti Anda baca, Ibnu Katsîr menegaskan adanya ijma’ akan dita’wilkannya zahir ayat yang mengatakan: Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada yang memberikan makna zahir bahwa Dzat Allah bertempat dan selalu meneyertai hamba-hamba-Nya! Zahir ayat itu bukan lah yang dimaksud!
Nash Kelima:
Firman Allah SWT:
قالَ لا تَخافا إِنَّني مَعَكُما أَسْمَعُ وَ أَرى.
Allah berfirman:” Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaha [20];46)
Zahir ayat di atas tegas-tegas mengatakan bahwa Allah tidak berada di langit! Dia bersama Nabi Musa dan Harun as. ketika keduanya diperintah mendatangi Fir’aun. Allah SWT Maha mendengar pembicaraan antara mereka berdua dengan Fir’aun dan melihat apapun yang terjadi di sana.
Nash Keenam:
Firman Allah SWT:
و هُوَ مَعَكمْ أَيْنَما كُنتُم.
“Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada.” (QS. Al Hadid [57;4)
Dan ayat:
وَ اللهُ مَعَكمْ
“Dan Allah bersama kamu.” (QS. Muhammad [47;35)
Lafadz Allah adalah nama untuk Dzat bukan sifat. Jadi apabila dimaknai secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa yang bersama kalian (hamba) adalah Allah, bukan sifat Allah seperti ilmu pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya dll. di sini tidak ada jalan lain selain mena’wilkan ayat di atas dan mengatakan bahwa zahir ayat ini bukan yang dimaksud!
Karenanya para ulama Islam, baik salaf maupun khalaf mena’wilkan ayat di atas. Mereka tidak memberlakukan makna zahir ayat di atas!
Asy Syaukani menafsirkannay demikian: “Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada yaitu dengan Kemaha Kuasaan, kerajaan dan ilmu-Nya. Ini adalah percontohan untuk menujukkan telah diliputinya segala sesuatu yang keluar dari mereka, di mana pun mereka berada di muka bumi ini; di darat maupun di laut… setelahnya ia menukil Ibnu Abbas ra. (selaku pakar tafsir gererasi sahabat yang tentunya beliau adalah tokoh Salaf yang seharusnya dirujuk oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Salaf Shaleh!) menafsirkan ayat ini dengan melibatkan ta’wil (yang sangat dikecam kaum Wahhabi; Mujassimah Musyabbiha). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata menafsirkan: “Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada yaitu Dia maha Mengetahui kalian di mana pun kalian berada.”.[3]
Tafsir Ibnu Abbas di atas juga dikunil as Suyuthi dalam ad Durr al Matsûr,6/248 dan setelahnya ia menukil al Baihaqi dalam kitab al Asmâ’ wa ash Shifât yang menukil dari Sufyân ats Tsawri sebagai menafsirkan: “Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada” yaitu ilmu-Nya.
Jadi Para Salaf Shaleh juga telah terlibat dalam berta’wil. Mereka mana’wilkan ayat di atas dengan ilmu Allah SWT bukan Dzat Allah yang bersama hamba di mana pun mereka berada!
Nash Ketujuh:
Ketika Nabi Ibrahim diganyang kaumnya, ia berkata seperti yang diabadikan Allah SWT dalam Al Qur’an-Nya:
إنِّيْ ذاهِبٌ إلى رَبِّيْ سَيَهْدِينِ.
“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Ash Shâffât [37;99)
Nabi Ibrahim as. tidak hidup di langit atau di sebuah planet, dia hidup di muka bumi! Bumi yang kita tempati ini bukan bumi lain! Dan ia juga tidak hendak pergi ke langit untuk menjumpai Allah yang sedang bersemayam di atas Arsy-Nya (yang sedang dipikul makhluk-Nya) di sana -seperti yang digambarkan kaum Mujassimah yang dungu lagi sesat-, lalu setelahnya Ibrahim kembali lagi ke muka bumi! Nabi Ibrahim as. bersama dan hidup di tengah-tengah kaumnya, ia berpindah dari sebuah negeri ke negeri lain!
Apakah kaum Wahhabi Mujassim Musyabbih hendak mengatakan bahwa maksud ayat di atas ialah bahwa Nabi Ibrahim ketika berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku.” ialah bahwa Nabi Ibrahim as. hendak pergi ke langit mengahadap Tuhannya di sana? Tidak menafsirkan ayat di atas dengan makna seperti itu melainkan kaum yang tidak mendapat bagian akal sehat!
Para mufassir Islam menerangkan bahwa kata-kata yang diucapkan Nabi Ibrahim as. saat beliau hendak berhijrah! Ibnu Abbas ra. berkata: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku yaitu ketika beliau berhijrah. Demikian diriwayatkan Ibnu Mundzir. Asyaukani berkata menafsirkan: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku aku akan pergi berhijrah dari negeri kaumku yang telah berbuat durhaka karena fanatik buta terhadap arca-arca sesembahan, karena kafir/inkar kapada Tuhan mereka dan karena mebohogkan para rasul… aku akan pergi menuju tempat yang aku diperintah-Nya untuk berhijrah ke sana. Atau menuju tempat yang aku dapat menyembah Allah di sana. Dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Kepada tempat yang Dia perintahkan aku untuk pergi kesana itu atau Dia akan memberiku petunjuk kepada tujuanku. Allah telah memerintah Ibrahim untuk pergi ke Syam (Palestina).”[4]
Jadi tidak ada pergi ke laangit untuk menghadap Allah SWT. Jika memang Allah berada di langit –seperti yang digambarkan kaum Mjuassimah Musyabbihah Wahhabiyah Salafiyah- pastilah Ibharim as. pergi ke sana! Maha Suci Allah dari ocehan kaum jahil!
Nash Kedelapan:
Allah SWT berfirman:
وَهُوَ اللهُ فِي السَمَواتِ وَ الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَ يَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ.َ
“Dan Dialah Allah di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasikan dan apa yang kamu lahirkan dan mengatahui apa yang kaum usahakan.” (QS. Al An’am [6];3)
Para ulama menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kalimat: di langit maupun di bumi terkait dengan dengan kata: Allah sebagai Dzat Yang merangkum segala sifat Maha Sempurna yang meniscayakan untuk disembah, sebagai Dzat yang Maha Mengatur dan Pemilik segala sesuatu. Jadi maknanya: Dialah Allah Tuhan yang harus disembah atau Pemilik atau Pengatur di langit dan di bumi. Jadi bukan Dzat Allah yang berada di bumi dan di langit! Dan ada pula yang mengartikan; Dialah Allah Dzat yang Maha mengetahi apapun yang kamu rahasiakan atau kamu lahirkan baik di langit maupun di bumi.
Tidak seorang pun yang mangatakan bahwa Allah bertempat di langit dan di bumi! Andai ada di antara kaum Mujassimah wahhabiyah Salafiyah yang ‘ngotot’ mengartikan secara zahir ayat di atas, pastilah ia akan merobohkan akidahnya sendiri, sebab dalam ayat itu dikatakan (tentunya secara zahir bukan yang dimaksud) bahwa Allah itu berada di langit dan bumi! Jadi bukan di langit bersemayam di atas Arsy-Nya yang sedang dipikul para malaikat atau makhluk-Nya yang lain. Maha Suci Allah dari bualan kaum jahil lagi sesat!
Nash Kesembilan:
Allah SWT berfirman:
وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ وَ نَعْلَمُ ما تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَريدِ.
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf [50];16)
Inilah sembilan contoh nash Al Qur’an al Karîm yang secara zahir menunjukkan bahwa Allah itu berada di bumi atau bertempat di bagian tertentu dari alam ini. Maha Suci Allah dari bertempat! Dan tentunya ayat-ayat seperti itu tidak membuat musykil bagi para ulama islam yang telah mendalami ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan tafsiran yang sehat dan tepat dengan melibatkan ayat-ayyat lain dan sunnah shahihah yang kokoh kandungannya akan kemaha sucian Allah dari tajsîm dan tasbîh serta tamsîl!
Dan jika kaum Wahhabiyah Salafiyah; Mujassimah Musyabbihah tetap ‘ngotot’ memaknai ayat-ayat (yang mereka sebut dengan istilah ayat-ayat ‘Uluw) secara zahir dan menolak mena’wilkannya dengan ta’wil yang sesuai dengan kemaha sucian Allah SWT maka kami minta mereka bersikap jujur dan obyektif memaknai “ayat-ayat tandingan” yang kami sebutkan di atas yang menegaskan bahwa Allah tidak di langit! Bukankah ayat-ayat yang kami sebutkan itu secara zahir menentang ayat-ayat yang mereka bawakan? Jika mereka mena’wikannya dengan ta’wil tertentu, maka maki katakan, “Apa yang membenarkan mereka mana’wil ayat-ayat yang itu dan menolak ta’wil pada ayat-ayat yang ini?
(Bersambung Insya Allah)
[1] Lebih lanjut dapat Anda rujuk dalam tafsir Fathul Qadîr,4/39.
[2] Tafsir Ibnu Katsîr,4/322.
[3] Tafsir Fathul Qadîr,5/166.
[4] Ibid.4/402 dan406.
________________
ARTIKEL TERKAIT
- Mukaddimah Akidah Ketuhanan 1
- Mukaddimah Akidah Ketuhanan 2
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit ! (1) Kritik Atas Akidah ketuhanan ala Wahhabi Salafy (Dasar Pemikiran Kaum Wahhabiyah Salafiyah)
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit ! (2) Hadis Muslim (Hadis Jariyah) Adalah Hadis Ahâd Yang Muththarib!
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit ! (3) Hadis Jâriyah Dengan Redaksi: Siapa Tuhanmu?
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit ! (4) Ketidak Jujuran Syeikh Nâshiruddîn al Albâni
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit (5) Nash-nash Tentang al ‘Uluw, Ketinggian Fisikal Allah Versus Nash-nash Penentangnya
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit (6) Hadis-hadis Tentang al ‘Uluw, Ketinggian Fisikal Allah Versus Hadis-hadis Penentangnya
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit (7) Ayat-ayat Mutasyâbihât Pegangan Kaum Wahhâbiyah Mujassimah
- Ternyata Tuhan Itu Tidak Di Langit (8)
Filed under: Akidah, Akidah Tajsim & Tasybih, Dongeng Wahabi Salafy, Fatwa Pensesatan, Kenaifan Kaum Wahhabi, Manhaj, Menjawab Web/Blog Wahabi/Salafy |
Semua ulama Islam mengikrarkan aqidahnya yaitu Allah SWT ada tanpa tempat ( bukan di langit ). Itulah aqidah yang dipegang oleh Rasulullah SAAW, para sahabat, tabiin, tabiit tabiin, salafussoleh. Semuanya ulama yang ilmunya bersanad ke Rasulullah SAAW mempunyai aqidah Allah SWT ada tanpa tempat ( bukan di langit ).Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali juga beaqidah yang sama. Hanya wahabi aja yang nyeleneh. Kita patut pertanyakan apakah ulama2 mereka ilmunya bersanad sampai ke Rasulullah SAAW? Atau hanya baca2 kitab terdahulu di perpustakaan, lalu menafsirkannya dengan logika hawa nafsunya sendiri? Bahkan ulama pujaan wahabi, Ibnu Taymiyah, dan Albani, di akhir hidupnya mengakui kalau aqidah yg benar adalah Allah SWT ada tanpa tempat ( tidak di langit ). Sebagai contoh, saya nukil perkataan Imam Ali bin Abi Thalib AS, orang nomor 2 setelah Rasulullah SAAW yang paling mengerti tentang agama ini, Al-Islam, berkata :” “Allah itu ada sebelum adanya tempat, dan sekarang,(setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti semula,yakni ada tanpa tempat” (lihat kitab al Farq baina al Firaq halaman 333).
sumber http://salafytobat.wordpress.com/
assalamu’alaikum syaikh…
sebenarnya pemahaman mujassimah bisa dibantah dengan akal yang sehat dan jernih serta hati nurani….
itulah kenapa mayoritas ahli logika seperti filsuf yunani, plato, socrates berkeyakinan bahwa Tuhan bukanlah benda dan tidak memiliki sifat-sifat benda, hanya sebagian kecil filsuf Yunani yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu seperti benda,,,
kenyataan sejarah tsb menunjukkan bahwa mayoritas umat manusia pun secara akal sehat akan menentang aqidah mujassimah…
kita tahu sendiri bahwa cara berargumentasi dan menganalisis dari para filsuf yunani adalah murni logika dan analitikal pemikiran logika dengan rumus2 tertentu.,,,tanpa terikat dengan dalil nash..
itu artinya andai manusia mengikuti akal sehatnya pasti akan menolak aqidah mujassimah…
menurut saya, itu jalan mudah bagi umat awam yang kadang bingung dengan dalil untuk mencari kebenaran, barangkali asalkan mau mengikuti akal sehat dan hati nuraninya Insya Allah akan mengakui kebenaran aqidah asy’ariyah…
Maafkan saya yang masih awam ilmu mau bertanya, kenapa para nabi,rasul dan kita manusia pada umumnya pada saat berdoa selalu menengadahkankan tangan dan kepala keatas baik disadari atau tidak? Mengapa tidak ada yang berdoa menengok kebawah atau ke sumur misalnya? Tolong dijawab ya pak Kyai yang ahli ilmu…wassalam.
Abu Salafy:
Sabar kang mas, nati dalam lanjtan juga akan dijelaskan insya allah. tapi yang pasti bukan kerena Allah manggon di atas/di langit.
NDAK USAH BERDEBAT SESAMA MUSLIM NGGA SERU…
COBA KALIAN KE ALAMAT http://indonesia.faithfreedom.org
SIAPA TUHANMU DAN SIAPA TUHANKU….
BUKTIKAN TUHAN YANG SEBENARNYA????
@ Mas Abu Zainal :
Mungkin akan saya coba menjawab sambil menunggu jawaban yg jitu dari Abu Salafy,
orang berdoa menghadap ke atas bukannya menunjukan kalo Allah swt itu diatas, tapi itu menunjuk etika orang berdoa, sebagaimana orang mengerjakan salat yg harus menghadap qiblat/ka’bah tdk menunjukan bahwa Allah itu diatas ka’bah, tapi hal itu menunjukkan cara/etika kita beribadah/berdoa atau itu merupakan ekspresi dari si pemohon saja, dan Rosul Mulia juga tidak mewajibkan kita berdoa harus menghadap keatas, bisa kedepan, menunduk, atau dengan bersujud.
Wahai para sekte mujassimah, adakah kalian telah belajar mengenai sifat materi dan non-materi?
Adakah kalian tahu bahwa keduanya berbeda dan berkebalikan?
Adakah kalian memahami bahwa ciptaan adalah makhluk yang bersifat materi? Sementara Sang Pencipta adalah Khalik yg bukan materi?
Adakah kalian memahami bahwa ketinggian dan sifat2 makhluk msh dapat dijangkau oleh indera? Sementara ketinggian dan sifat2 khalik tak dapat dijangkau?
Adakah kalian memahami semua materi dibatasi oleh ruang, waktu, tempat dan arah? Sementara kesemuanya tdk berlaku bagi non-materi? Jika kalian bingung bagaimana keadaan non-materi, maka kalaian sdh memiliki separuh agama.
Tidaklah kita mampu mengetahui letak organ tubuh kita yg tersembunyi kecuali karna ia dibatasi oleh ruang tubuh.
Tidaklah kita mampu menunjuk langit kecuali karna ia bertempat dan berarah.
Dibatasi ruang, waktu, tempat dan arah adalah sifat-sifat materi. Jika kalian msh menganggap Allah bertempat dan memiliki arah, maka bagi kalian Allah adalah materi. Kebodohan dan kejahilan apa yg bisa lebih dari ini?
Salam
petrus>pulang ke alammu bukan disini,armand>leres sampeyan,wahaby>thunya dewi quan in xi xi xi,sunggukong
Kalau Alloh Jisim… waduh repot rek….!!!!??/
Keyakinan bahwa Allah itu bertempat, yang tertentu maupun pada arah tertentu itu secara tidak langsung sudah membatalkan satu sifat yang wajib bagi Allah swt, yakni al-Qayyum, yang Berdiri Sendiri, yang tidak bergantung kepada sesuatu dan tidak membutuhkan kepada sesuatupun.
Masih beriman kepada Allah swt kah orang yang mempunyai keyakinan yang demikian?
Maklum lah….
Ulama mereka itu…., dari Najed,….
Wong Badui…..
Mari kita berhati2… dari fitnahnya orang Najed
( Najed yg asli, maupun yg mereka anggap iraq)….
intinya hati2 aja….!!!!
saya tak tahu drmana yg mngisi artikel ini memandang. pada hakikatnya Allah ada di langit. Rasulullah brtanya kpd seorang wanita budak milik seorang sahabat “dimnakah Allah?” dia mnjawab: “di langit!”. kmudian bliau brtanya lg: siapa aku? si budak mnjwb: rasul Allah! sabda bliau:” bebaskanlah dia krna dia adlh seorang mu’minah! (HR.Bukhari Muslim). akan tetapi itu tidak berarti Allah mmbthkan tempat dan waktu, maha suci Allah dr hal itu. sbnarnya ahli bid’ah mu’tazilah adlh kalian yg mngakui tdk bersemayamnya Allah di arsynya. itu adlh sesuatu yg ghaib yg tdk NABI Terangkan ta’wilnya jd harus diartikan mnurut zahirnya bkn malah mnabrakkan satu ayat pada ayat lainnya. wallahu a’lam!!!!
klo semua ayat dan hadits ga boleh dita’wil, maka ayat “barang siapa yang buta di dunia, maka akan buta di akhirat” juga ga boleh dunk,,, kasian bin bazz
Om2 ka2′ mas2..n bpak2.
Sy stju jika than dblang tdk mendiami suatu tempat..kasna tuhan sblum dan sesudah menciptkan sesuat tdk br pengaruh pd kberadannya…perlu kit ketahui tempat /ruang dan wakt /arah dan ats,bwah brlaku hnya untk manusia,, bg than tdak…Mnurut sya than ad dman mana..dngan artian kekuasaanya.karna sbnrx kekuasa’nnya xg ad dmana mana..
Om2 ka2′ mas2..n bpak2.
Sy stju jika than dblang tdk mendiami suatu tempat..karna tuhan sblum dan sesudah menciptkan sesuat tdk br pengaruh pd kberadannya…perlu kit ketahui tempat /ruang dan wakt /arah dan ats,bwah brlaku hnya untk manusia,, bg than tdak…Mnurut sya than ad dman mana..dngan artian kekuasaanya.karna sbnrx kekuasa’nnya xg ad dmana mana..
HEBAT LO YG MENGAKU ALLAH GK ADA DILANGIT???
udah bisa nafsirin ayat sekaligus akal dongo lo dah bisa melihat yang ghoib,,Subhanallah,,,dasar kaum sufisme,,,syiah,,khawarij…smga Allah ta’ala memberi lo hidayah agar pada sadar….
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”
DASAR BEGO BACA AL QURAN YANG BENER, JANGAN TERBALIK,,, OTAK_OTAK UDANG DAH BISA TAU HAL GHOIB NGALAHIN NABI MUHAMMAD,, TOBAT…
Tong kosong nyaring bunyinya.
Baca semuanya, TONG!
Apa kah kamu masih keliru dan masih mahu memegang zahir ayat setelah dijelakan secara panjang lebar ??? Tapi hati kecil kamu tetap tidak setuju dengan apa yg kamu pegangi sekiranya kamu banyak menyepi dan berfikir di lewat2 malam….. Mengapasengajakamu ingkari hati kecil mu itu ???
الرحمن على العرش استوى [thoha :5 ]
Tolong aku dibantu meluruskan aqidahku ini :
Setuju bhw Alloh itu ada
setuju bhw Alloh itu ‘arsyis tawa, endak setuju kalo Alloh itu bersemayam diatas Arsy (maha suci Alloh)
Setuju, Alloh fis sama’, lbh dekat dr urat leher, bukit yang diberkahi, di tanah datar, dll (spt yg ada di Nash),
kulo endak setuju kalo Alloh itu “bertempat” di langit (maha suci Engkau ya Alloh dari sifat makhluk-Mu)
Bagaimana para sederek??
Banyak orang yang lebih pandai dari Rasulullah. Bahkan Alqur’an di seret mengikuti otaknya. Bukan OTAKnya mengikuti Alqur’an. Alqur’an berkata di Allah di ‘Arasy mereka bilang bukan. Dasar Iblis Laknatullah telah berhasil menyesatkan manusia.
Aku lebih percaya Alqur’an, Hadist, perkataan ulama ahlu sunnah ketimbang orang-orang dungu yang menentang alquran.
Yang mengatakan Allah tidak di ‘Arsy. Bikin Tuh! Alqur’an Baru…..
Ya Begitulah orang Salafi……..
ya begttulah wahabi……..
aduh kok adanya orang degil begitu ngakunya ngikut qur’an hadis eh ternyata ikut ben taimiyah dan ben dol wahhab