Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas [18]
Ibnu Abdil Wahhab berkata:
Jika dia berkata: Saya tidak menyembah kecuali kepada Allah, kedekatan dan seruanku kepada orang-orang saleh bukanlah ibadah.
Maka katakan kepadanya: Anda telah mengakui bahwa Allah telah mewajibkan kepadamu untuk memurnikan ibadah kepadanya dan itu hak Allah atas kalian. Jika dia berkata: ia. Kemudian katakanlah kepadanya: jelaskan bahwa ini adalah hal yang diwajibkan kepada kamu yaitu keikhlasan beribadah kepadaNya semata dan itu adalah hakNya atasmu. Jika dia tidak mengetahui arti ibadah dan jenis-jenisnya maka jelaskanlah kepadanya, Allah Swt berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَ خُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدين
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raf: 55)
Jika Anda memberitahukan kepadanya hal tersebut maka katakan juga kepadanya, tahukah Anda bahwa hal ini merupakan ibadah kepada Allah Swt, dan pastilah dia akan menjawab: ia dan doa adalah otaknya ibadah.
Maka katakan kepadanya, jika Anda mengakui bahwa itu adalah ibadah dan siang malam dengan rasa cemas dan penuh harap Anda menyeru Allah Swt kemudian dalam hajat tersebut Anda menyeru nabi atau yang lainnya, apakah saat itu Anda tidak sedang menyekutukan Allah dalam ibadah? Maka pastilah ia akan mengiakan pertanyaan ini. Kemudian katakan padanya: jika Anda mengetahui firman Allah:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ
Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (Al-Kautsar: 2)
Dan taatilah Allah dan berkorbanlah kepadanya apakah ini ibadah? Pasti dia akan mengiakan jawaban ini pula.
Maka katakan kepadanya, jika Anda menyembelih korban untuk seseorang makhluk; nabi, jin atau yang lainnya apakah Anda tidak sedang menyekutukan Allah dalam ibadahnya? Lagi-lagi ia pasti akan menjawab: ya.
Maka katakan lagi kepadanya, orang-orang musyrik di mana al-Quran turun kepada mereka, apakah mereka tidak menyembah para malaikat, orang-orang saleh, Lata dan yang lainnya? Ia pasti akan mengiakan jawaban tersebut. Maka katakan kepadanya apakah ibadah mereka itu berupa doa, penyembelihan dan menuju mereka? Jika tidak, sesungguhnya mereka telah mengakui bahwa sesembahan mereka itu adalah hamba-hamba Allah dan sesungguhnya hanya Allah yang mengatur segalanya akan tetapi mereka menyeru selainya untuk mendapatkan syafa’at dan ini merupakan hal yang sudah gamblang sekali. (Kasyfu asy Syubuhât: 53-55)
____________
Catatan 17:
Hakikat Istighâtsah dan Menyeru Selain Allah SWT dalam Pemahaman Ibnu Abdul Wahhab
Sepertinya apa yang dilakukan Syeikh Ibnu Abdil Wahhab dengan berpanjang-panjang dalam uraiannya tidaklah mengena dan sia-sia. Dan kesia-sia’an itu akan semakin jelas dengan uraian kami di bawah ini.
Dalam uraian panjang tak menghasilkan kesimpulan di atas, Ibnu Abdil Wahhab beranggapan bahwa du’â’/menyeru selain Allah sama dengan menyembahnya. Karena itu adalah penting untuk kita bahas di sini masalah tersebut:
Apakah Menyeru Selain Allah itu Syirik?
Pertama-tama perlu kita fahami bahwa menyeru/du’â’ dan ber-istighatsah kepada selain Allah SWT. dapat dibayangkan dalam tiga bentuk, untuk masing-masing bentuknya memiliki hukum dan ketentuan Islam tertentu.
Pertama, Sekedar menyeru/memanggil yang dalam bahasa Arab disebut dengqan du’â’/menyeru, seperti ketika kita menyeru: Hai Muhammad! Hai Ali! Hai Abdul Qadir al-Jilani! Hai waliyullah! Hai Ahlulbait dan sebagainya.
Kedua, Kita menyeru seseorang dengan mengatakan: Hai Fulan jadilah engkau pemberi syafa’atku, kun Syafi’iy di sisi Allah dalam pemenuhan hajat ini! Atau dalam pelunasan hutangku ini atau dalam kesembuhan sakitku ini! Hai fulan jadilah engkau pemberi syafa’atku dalam pertolongan Allah atas musuhku! Dan semisalnya.
Ketiga, Ketika kita mengatakan misalnya: Hai fulan lunasi hutangku! Hai fulan sembuhkan sakitku! Hai fulan tolonglahh aku atas musuhku!
Pada ketiga bentuk du’â’/seruan di atas tidak ada larangan apalagi kemusyrikan dan kekafiran! Sebab pada dasarnya ia adalah termasuk meminta syafa’at dan meminta doa dari seseorang. Baik itu diucapkan dengan kata-kata terang seperti dalam bentuk kedua atau tidak diterangkan seperti dalam bentuk pertama dan ketiga. Sebab sebagaimana harus kita yakini bahwa seorang Muslim Mukmin yang meyakini bahwa apapun selain Allah SWT tidak memiliki daya dan kekuatan apapun… tidak dapat memberikan manfa’at atau mudharrat apapun…. kecuali dengan izin Allah, sudah cukup sebagai alasan bagi kita untuk menilai positif apa yang ia lakukan… cukup alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya apa yang ia lakukan adalah tidak lain hanyalah meminta syafa’at dan meminta dido’akan. Andai-kata kita tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi tujuan dari apa yang ia kerjakan, maka adalah wajib untuk menilai positif amalan dan ucapan seorang Muslim dengan dasar kewajiban penilai positif setiap amalan atau ucapan Muslim selagi bisa dan ada jalan untuk itu, sehingga tertutup seluruh jalan untuk penafsiran positif dan tidak ada penafsiran lain selai keburukan…. dalam kondisi seperti itu barulah dibenarkan menilai negatif, dan atas dasar larangan keras pengafiran seorang Muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadah kecuali dengan bukti kekafiran yang pasti dan tidak bisa ditafsirkan dengan selainnya!! Dan dengan dasar diharamkannya kita menghalalkan darah-darah dan kehormatan seorang Muslim tanpa bukti yang pasti dan meyakinkan.
Maka dengan demikian, apa yang diucapkannya dalam ketiga bentuk du’â’/seruan di atas harus ditafsirkan dengaan tafsiran positif.
Pada bentuk pertama, misalnya, kita harus yakini bahwa si Muslim yang sedang mengucapkannya sebenarnya ia menyeru dan hanya memohon kepada Allah… ketika ia menyeru ‘Ya Rasulullah’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullahh saw. berkenan memanjatkan doa kepada Allah untuknya.
Pada bentuk ketiga, misalnya ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.
Seperti dalam contoh, “Si Raja membangun Istana yang sangat megah” dalam ucapan di atas, semua tau bahwa bukan maksud si pengucap bahwa sang raja itu sendiri yang membangun dinding-dinding, memasang altar, dan kramik istana itu misalnya, semua mengerti bahwa yang ia maksud ialah bahwa yang membangun adalah para tukang bangunan, yang merancang adalah para arsitek, mereka adalah sebab terdekad terbangunnya istana megah itu, akan tetapi karena semua itu atas peritah sang Raja, maka tidaklah salah apabila ia mengatakan bahwa Sang raja membangung istana! Sebagaimana tidak salah pula apabila ia mengatakan bahwa para pekerja/tukang bangunan telah membangun istana Raja!
Dalam kasus kita di atas misalnya, qarînah yang membenarkan pemaknaan tersebut adalah dzahir keadaan si Muslim. Karena pengucapnya adalah seorang Muslim yang meyakini dan mengikrarkan bahwa selain Allah tidak ada yang memiliki daya dan kekuatan apapun baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik memberi manfa’at ataupun mudharrat… semua yang terjadi adalah dengan taqdir dan ketetapan Allah SWT… maka hal ini sudah cukup sebagain qarînah yang membenarkannya.
Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa ucapan seperti: ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ jika diucapkan oleh seorang Muslim maka ia tidak menunjukkan kemusyrikan, sebab ia termasuk ketegori majâz ‘aqli, akan tetapi jika pengucapnya adalah seorang ateis atau yang tidak percaya Tuhan, misalnya maka ia menunjukkan kemusyrikan, sebab ia bukan termasuk majâz ‘aqli, ia mengucapkannnya dengan haqîqatan! Ia menisbatkan pelaku penumbuhan tanaman itu kepada musim semi dengan sepenuh keyakinan bahwa musim semi-lah yang yang menumbuhkannya bukan Allah SWT.
Dari sini dapat dimengerti bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara ucapan seorang Muslim ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ dengan ucapannya “Wahai Rasulullah, sembuhkan aku dari sakitku”?!
Ketika seorang Muslim mengucapkan: ’Ya Rasulallah aku meminta darimu agar aku kelak bersamamu di surga’ jelas yang ia maksud tiada lain adalah agar Rasulullah saw. menjadi penyebab dan pemberi syafa’at untuk terwujudnya apa yang ia minta! Ucapan itu sama sekali tidak mengandung kemusyrikan sedikitpun! Kendati yang diminta itu hanya dapat diwujudkan oleh Allah SWT. saja, bukan selainnya, termasuk Rasulullah saw. sendiri! Sebab untuk dapat ditempatkan bersama Nabi saw. surga tidak ada yang mampu mewujudkannya selain Allah SWT, seperti pengampunan dosa, penyembuhan sakit, pemberian pertolongan atas musuh dll.
Lalu apakah dikarenakan ucapan tersebut di atas seorang Muslim dihukumi telah musyrik/menyekutukan Allah SWT.?! Tentu tidak!!
Benar, apabila seorang yang mengucapkannya meyakini bahwa yang ia seru itu mampu melakukan apa yang ia minta dengan tanpa bantaun dan taqdir Allah maka ia jelas telah menyekutukan Allah SWT. dan pastilah kaum Muslimin akan berlepas diri dari kemusrikan itu. Tetapi permasalahannya, apakah demikian yang diyakini kaum Muslimin ketika mereka ber-istghatsah dan memanggil mana Rasulullah saw., atau nama hamba-hamba shaleh pilihan Allah sepeti Ahlulbait Nabi dan para waliyullah!
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang diucapkan oleh seorang Muslim seperti dalam tiga bentuk di atas, tidak keluar dari:
- Meminta syafa’at.
- Meminta do’a.
Meminta syafa’at telah kita bahas sebelumnya… Adapun meminta doa dari orang lain yang masih hidup maupun yang sudah wafat mendahuli kita, juga tidak ada larangan, baik dari hukum akal sehat mapun hukum agama!
Meminta doa dari orang yang masih hidup, kaum Wahhâbiyah pun membenarkannya dan mengakui kebolehannya (walaupun kita tidak butuh pengakuan mereka!!) Kaum Wahhâbiyah tidak menggolongkannya sebagai kemusyrikan dan kekafiran!! Tidak juga sebagai bid’ah!! Seperti ditegaskan para imam dan tokoh mereka, seperti Ibnu Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah!
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Ziyârah al Qubûr:155 berkata:
“Telah tetap dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
ما مِنْ رجُلٍ يدعو لَه أخوه بظَهْرِ الغَيْبِ دعوةً إلاَّ وكَّلَ اللهُ بِها ملَكًا كُلما دعالأَخيه دعوةً قال الْملكُ: و لك مِثْلُ ذبكَ.
“Tiada seorang yang mendo’akan kebaikan untuk saudara/ temannya di balik tabir ghaib (tidak dihadapannya) maka Allah akan menugaskan malaikat untuknya, setiap kalia ia mendo’akan saudaranya, malaikat itu berkata (mendo’akan): ’Dan semoga untukmu juga seperti itu’.
Karenanya, Nabi Muhammad saw. meminta kita (umat Islam) agar bershalawat atasnya dan memintakan baginya al Wasîlah yaitu sebuah derajat tinggi di surga. Nabi saw. bersabda, “Jika kalian mendengar suara adzan maka ucapkan kalimat yang sama dengannya kemudian bershalawatlah atasku, kerena barang siapa bershalawat atasku sekali saja maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali. Kemudian setelahnya mintakan untukku al Wasîlah yaitu derajat di surga yang khusus diperuntukkan bagi seorang hamba Allah, dan aku berharap akulah hamba itu. Dan barang siapa memintakan al Wasîlah untukku maka ia berhak memperoleh sfaya’atku.”
Islam juga mensyari’atkan agar kita meminta doa baik dari orang yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Seperti Nabi saw. meminta agar Umar mendoakan beliau. Atau Nabi saw. bersabda kepada Umar agar ia berusaha untuk memperoleh doa dari Uwais al Qarni –seorang tabi’in yang nama mulianya telah disebut-sebut Nabi saw.- Nabi saw. bersabda kepada Umar:
إنِِ استَطَعْتَ أن يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
“Jika kamu bisa agar Uwais memintakan ampunan untukmu maka lakukan!.”
Karena masalah ini telah disepakati kebolehannya, maka saya tidak akan memperpanjang pembicaraan tentangnya.
(Bersambung)
Filed under: Fatwa Wahabi-Salafy, Kasyfu asy Syubuhat, Kenaifan Kaum Wahhabi, Manhaj, Mengenal Pemimpin Wahabi, Wahabi dan Pengkafiran Umat Islam |
Alhasil imam ibnu wahab berhasil membuat tatanan masyarakat yang bersih dari kesyirikan dan kekufuran lha kalau golongan nt apa bisa berbuat begitu….?
Abu Salafy:
صدق الله العظيم، و كذب المفتري الأثيم
yak apa ya kok repot…salah mas ben kalimatnya: alhamdulillah ibnu abdil wahab berhasil membuat tatanan masyarakat yang mengikuti kesyirikan dan kekufuran. ini benar kalimatnya tolong di cek lagi ya.
Benerkan…… MISTER DUR yang didukung mayoritas NAHDIYYIN sak indonesia plus dapat dana dari korupsi bulog dan ada main mata dengan cendana aja gak mampu bikin tatanan masyarakat nahdiyyah?????? Artinya Ibnu Wahhab lebih hebatkan karena dia bisa membuktikan kesuksesannya!!!
Itulah ketidak fahaman seorang abu salafy terhadap ucapan syaikh muhammad bin abdul wahhab.
Anda mengatakan :Pertama, Sekedar menyeru/memanggil yang dalam bahasa Arab disebut dengqan du’â’/menyeru, seperti ketika kita menyeru: Hai Muhammad! Hai Ali! Hai Abdul Qadir al Jilani! Hai waliyullah! Hai Ahlulbat dan sebagainya.
Dimana perkataan syaikh diatas yang melarang ini???
Dan perkataan anda :Ketiga, Ketika kita mengatakan misalnya: Hai fulan lunasi hutangku! Hai fulan sembuhkan sakitku! Hai fulan tolonglahh aku atas musuhku!
Dimana perkataan syaikh diatas yang melarang ini???
Dan perkataan anda :Kedua, Kita menyeru seseorang dengan mengatakan: Hai Fulan jadilah engkau pemberi syafa’atku, kun Syafi’iy di sisi Allah dalam pemenuhan hajat ini! Atau dalam pelunasan hutangku ini atau dalam kesembuhan sakitku ini! Hai fulan jadilah engkau pemberi syafa’atku dalam pertolongan Allah atas musuhku! Dan semisalnya….
Harus dibedakan antara yang sudah meninggal dan masih hidup..Bagi yang membolehkan ini ketika si fulan sudah mati,maka harus mendatangkan dalil yang shahih dari quran dan sunnah…
Ucapan saudara :Meminta syafa’at telah kita bahas sebelumnya… Adapun meminta doa dari orang lain yang masih hidup maupun yang sudah wafat mendahuli kita, juga tidak ada larangan, baik dari hukum akal sehat mapun hukum agama
Harus dibuktikan dengan dalil yang shoheh maupun akal sehat…
selamat membuktikan…..
Abu Salafy
Akhi, sata hany sarankan Anda membaca kitab Kasyfu asy Sybuhat dan kitab-kitab Ibnu ABdil Wahhab lainnya, baru setelah itu anda bpleh berbicara:Itulah ketidak fahaman seorang abu salafy terhadap ucapan syaikh muhammad bin abdul wahhab. Kalau masih belum ya jangan malu-maluin teman-teman Wahhabi Anda lainnya!
Kaum Wahhabi bisanya hanya membedakan antara yang mati dan yang hidup untuk dijadikan tolok ukur kemusyrikan atau bukan… Dan itu adalah kenaifan plus kajahilan yang sudah dibantah para ulama…. saya sudah paparkan masalah itu! Jadi baca, baru komentar…. letakkan akal di depan dan mulut dibelakan akal!