Kaum Wahhâbiyah Mujassimah Memalsu Atas Nama Salaf! (2)

Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik

Selain memalsu atas nama Abu Hanifah, kaum Mujassimah juga memalsu atas nama Imam Malik.

Mereka mangatakan bahwa Imam Malik berkata:

الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

“Istiwâ’ sudah diketahui, kaif (cara/bentuk) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”

Abu Salafy:

Ucapan itu tidak benar pernah diucapkan oleh Imam Malik, baik dengan sanad riwayat shahih, hasan maupun dhaif dengan kedha’ifan ringan. Barang siapa mengaku selain itu hendaknnya ia membawakan bukti dan menjelaskannya. Dan kami insyaallah siap mendiskusikannya di sini.

Stitmen benar pernah diucapkan Imam Malik adalah:

الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

Al kaif/bentuk/cara tidak masuk akal/tidak bisa diakal-akalkan, istiwâ’ tidak majhûl, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah (baru dimana sebbelumnya tidak ada).”

Ucapan ini jelas membubarkan anggapan kaum Mujassimah.

Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:

كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد.

Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”

Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:

الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…

“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)

Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!

60 Tanggapan

  1. he..he..he… sampean ini lucu juga,apa bedanya diatas (Al-Istiwaa ma’luum),dengan yang dibawah(Al-Istiwaa minhu ghairu majhul),cuma beda redaksi kang substansinya sama aja…
    AL-Istiwaa ma’lum = Al-Istiwa ghairu majhul
    al-kayfu ghairu ma’quul= al-kayfu majhuul

    Udahlah k ang..kang…kemana aja siakang cari dalil buat bantahin orang salafy ga bakal ketemu…biar keujung duniapun ga bakal ketemu….soalnya ana sdh pengalaman ngaji duduk 4 tahun sama syaikh salafy…hati kecil ana bilang kita orang2 asy’ary emang keliru dalam mennyikapi sifat Allah

    ana yakin siakang nulisnya habis bangun tidur ya…he..he…he
    afwn

  2. dua hadits diatas adalah satu makna dua redaksi artinya apa???ya sama aja,

    Seperti dua orang dari jakarta yang mau pergi kebogor,yang satu lewat jalan tol yang satunya lagi lewat jalan cibinong.Yang lewat tol cepet,setengah jam nyampe deh.Lah yang lewat jalan cibinong mungkin dua jam baru nyampe,soalnya banyak hambatan,macet karena harus melewati banyak pasar,maklum namanya juga jalan “banyak hambatan”,mending kalo naik mobil pribadi ada ac-nya,enaak,kalo naik angkot…wah ga kebayang deh capeknya…mesti gonta-ganti angkot dulu…berjejal dulu….belum lagi kalo kecopetan atau dipalakin ama preman…wah bisa berabe deh….walaupun akhirnya nyampe juga kebogor….

    Yang pertama nyampe kebogornya cuma setengah jam,yang kedua yaaah mungkin empat jam atau lebih….karena ketika dia dicibinong kecopetan jadi semua uangnya habis…maka tidak ada jalan lain kecuali JALAN KAKI SAMPE BOGOR(kacian deh lhoo)

    Yang jelas dua2nya satu tujuan yaitu BOGOR

    he….he….he….he….he….he….sorry canda

  3. Kalau melihat perkataan imam malik yang berbunyi:

    الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

    saya kira maknanya sama dengan yang berbunyi:

    الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

    Karena saya kira pemahaman :
    الاستواء معلوم dan غير مجهول (yang satu artinya diketahui yang kedua artinya tidak majhul alias diketahui juga jadi apa bedanya?) malah saya melihat justru judul yang anda tulis tidak tepat, tidak ada yang berdusta atas nama salaf!! anda saja berusaha memaksakan makna karena anda sudah terlanjur benci atau apalah….saya tidak tahu menyebutnya.

    Kemudian penafsiran ibnu lubban pun tidak ada masalah justru selaras saja dengan pendapat imam malik yang dibawakan golongan salafiah.

    Jadi judul seharusnya: KEBODOHAN ABU SALAFY DALAM MEMAHAMI DAN MEMAKNAI PERKATAAN IMAM MALIK SERTA KEDUSTAAN DAN FITNAH KEJI YANG DITEBARKANNYA.

    ________________
    -Abu Salafy-

    wan ya jelas tidak sama antara dua kutipan di atas kecuali bagi yang tidak peka dan punya pemahan yang benar! kalau dikatakan:والكيف مجهول itu artinya bahwa pada sebenarnya ada kaif nya tapi ia majhul! redaksi kedua:الكيف غير معقول bahwa tidak ada kaif, sehingga muncul apakah ia bisa diketahui atau tidak!
    Kauam Mujassimah Wahhabiyah meyakini ada kaif hanya saja mereka mangatakan kaif nya itu majhul….
    Semoga Anda dapat memahami apa yang saya sebutkan ini!

  4. Jadi nt paling peka dan punya pemahaman paling benar gitu…………kok malah jadi kaya wahaby yang nt tuduh dan fitnah punya sifat begituan!! Kalau tidak ma’qul ya jelas tidak bisa dicerna kan bib…kecuali akalnya pakai soket pinjem akalnya profesor biar bisa konek dan jadi ma’qul…..hahahahaha….

  5. penipuan wahabi dibongkar dengan data-data shahih, wahabi ora onok sing mbelo, yak nopo iki agomo kok dasare nipu!

  6. ha…ha…ha…ha…Abu Salafy yang tidak salaf ini ternyata lebih parah dari binatang,coba kita lihat….binatang itu walaupun tidak punya akal tapi dia bisa diajarin duduk,bermain teratur,berbaris dll.

    Coba anda lihat… dia memahami dua teks diatas والكيف مجهول dan الكيف غير معقول dengan LOGIKA GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL.

    Dia (abu salafy yang tidak salaf ini) mengatakan:

    “wan ya jelas tidak sama antara dua kutipan di atas kecuali bagi yang tidak peka dan punya pemahaman yang benar! kalau dikatakan:والكيف مجهول itu artinya bahwa pada sebenarnya ada kaif nya tapi ia majhul! redaksi kedua:الكيف غير معقول bahwa tidak ada kaif, sehingga muncul apakah ia bisa diketahui atau tidak”

    Maka perhatikanlah saya akan mengembalikan LOGIKA GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL ini kepelontarnya sendiri:

    1.Ketika anda mengatakan والكيف مجهول itu artinya bahwa pada sebenarnya ada “kaif”nya tapi ia majhul, maka saya katakan pada teks yang kedua الكيف غير معقول bahwa pada yang sebenarnya ada “kaif” yang diakal-akali tapi ia tidak bisa diakal-akali.

    2.Ketika anda mengatakan والكيف مجهول bahwa pada sebenarnya ada “kaif”nya,maka saya jawab dengan penuh keyakinan:”YA” Karena Orang yang beriman nanti akan melihat WAJAH Allah DISURGA (bukan didunia) dengan JELAS sebagaimana JELASNYA bulan purnama,dan ini adalah kenikmatan tertinggi didalam SURGA (bukan didunia),Ini adalah merupakan keyakinan AHLUSSUNNAH WAL JAMAA’AH dari dulu hingga sekarang ,maka barang siapa yang tidak meyakini ini maka orang tersebut KAFIR dan SESAT.

    Begitu juga dengan teks yang kedua الكيف غير معقول ini mengandung makna bahwa pada yang sebenarnya ada “kaif” yang diakal-akali,Maka saya katakan dengan penuh keyakinan “YA” Karena Orang yang beriman nanti akan melihat WAJAH Allah DISURGA (bukan didunia) dengan JELAS sebagaimana JELASNYA bulan purnama,dan ini adalah kenikmatan tertinggi didalam surganya ALLAH SWT,Ini adalah merupakan keyakinan AHLUSSUNNAH WAL JAMAA’AH dari dulu hingga sekarang ,maka barang siapa yang tidak meyakini ini maka orang tersebut KAFIR dan SESAT.

    Jadi “kaif” yang dulunya waktu kita hidup didunia مجهول tidak diketahui,Maka Menjadi “ma’luum”(diketahui) ketika kita berada disurga (kalo masuk surga),

    Begitu juga dengan “kaif” yang dulunya waktu kita hidup didunia غير معقول (tidak masuk akal).Maka hal itu berubah menjadi MA’QUUL(masuk akal) ketika kita berada disurga (itupun kalo masuk surga)

    Adapun perkataan anda الكيف غير معقول bahwa tidak ada kaif,sehingga muncul apakah ia bisa diketahui atau tidak! hanyalah LOGIKA GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL.

    Kalau Ibnu Mandzuur ahli bahasa arab itu hidup dan melihat pemahaman anda ini maka niscaya beliau akan tertawa terbahak-bahak..ha…haa…haaa…haaa…ha…ha….ha….haaa….

    SORRY NU TULEN

    Abu Salafy:

    Pembicaraan saudara yang sangat filosofis sampai-sampai saya yakin ahli filasafat pun bakal kesulitan mencernanya itu saya serahkan kepada para pembaca yang arif untuk menilainya…. analisa saya yang GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL atau ligika Anda yang salah (maaf saya tidak mengatakan:GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL?

    Tapi saya sekedar pastikan jika memang benar kelak di hari kiamat umat manusia dapat melihat Allah, yang pasti Ben Baz tidak akan mendapatkan kenikmatan agung tersebut!!
    mengapa??
    Kalian pasti tau jawabannya kan!!
    Selain itu tolong dijawab, nanti Allah akan dilihat, apanya, tangan, betis, rambunt-Nya atau wajah-Nya saja?!
    bukankah menurut kalian kaum Mujassimah bahwa Allah punya banyak anggoat badan, walaupun kalian katakan tidak seperti anggota makhluk-nya, lah Allah berfirman:
    كل شيئ هالك إلاَّ وجهه!
    Jadi , tangan, betis, puinggung dan anggota lainnya dimana nasibnya?

    • kenapa saudra AMi mengatakan yakin akan melihat wajahnya? Bukan Dzat-nya?.. nanti akan berkembang, mata, kaki, tangan, betis dll…Astaghfirullah….

  7. ma’af saya ingin meralat tulisan saya pada paragraf yang kesepuluh yang berbunyi:

    “Adapun perkataan anda الكيف غير معقول bahwa tidak ada kaif,sehingga muncul apakah ia bisa diketahui atau tidak! hanyalah LOGIKA GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL”

    Dengan perkataan sebagai berikut:

    “Adapun klaim yang mengatakan bahwa dua redaksi diatas maknanya tidak sama,maka klaim tersebut harus dibuktikan dengan hujjah yang kuat.Namun kalo semata2 klaim belaka,maka klaim tersebut tidak ada artinya dengan kata lain lemah.”

  8. untuk ami & benthaleb wahabi, dasar wahabi biar udah dijelasin ngga bakalan ngerti. Ngerti nya hanya berkata bidah itu bidah. Padahal yang di bela hanya anjing nya israel, inggris, dan amerika. Coba kalian teliti lagi bagaimana wahabi & kerjaan saudi berdiri dengan membunuh puluhan ribu kaum muslim. Dengan dibantu antek Israel / Inggris.

    • Kagak nyambung banget pret…., Amerika, Israel dibawa-bawa, tuh Iran, jelas-jelas miara Yahudi, elu kagak ngebacot … Padahal Yahudi Israel, Yahudi Iran, dan Yahudi Amerika, 3 bersaudara…
      Ente tau gak perang Arab – Israel 1948??… Mana ada Iran ikut perang di sono..??, gak ada….!! Yang berperang tuh, Mesir, Suriah, Irak, Arab Saudi, Yordania…. Iran..?? Kelaut…!!
      Syi’ah Kampret..!!!

  9. Saya minta ma’af’ kepada abu salafy terhadap perkataan saya LOGIKA GEBLEK ALIAS NGAWUR NGIDUL,karena waktu nulis saya emosi,mudah2an sampean bisa mema’afkan saya.

    Anda mengatakan:

    “Selain itu tolong dijawab, nanti Allah akan dilihat, apanya, tangan, betis, rambunt-Nya atau wajah-Nya saja?!
    bukankah menurut kalian kaum Mujassimah bahwa Allah punya banyak anggoat badan, walaupun kalian katakan tidak seperti anggota makhluk-nya, lah Allah berfirman:
    كل شيئ هالك إلاَّ وجهه!
    Jadi , tangan, betis, puinggung dan anggota lainnya dimana nasibnya?”

    Saya tidak mengatakan tangan,betis ,punggung.Itu hanya perkataan saudara…

    Saya hanya mengatakan “WAJAH ALLAH”.Apakah wajah Allah dapat dilihat oleh orang2 yang beriman disurga ?????Saya hanya minta jawaban dari saudara “ya” atau “tidak”

    Abu Salafy:

    Kaum Mujassimah meyakini Allah punya a’dha’ (anggota badan), itu semua didasarkan peda pemahaman menyimpang mereka tentang ayat-ayat dan hadis-hadis shifat! Jadi mereka semestinya juga harus mengatakan bahwa semua a’dha’ itu kelak akan binasa/هالكٌ kecuali وجهه saja!
    Apa Anda meyakini Allah juga punya a’dha’ seperti yang diyakini kaum Mujassim?
    Jadi kalau saudara bertanya:Apakah wajah Allah dapat dilihat oleh orang2 yang beriman disurga?
    maka saya kembali bertanya, yang akan dilihat di surga itu apa hanya wajah Allah saja? lalu selain wajah apa binasa, sehingga tidak bisa dilihat?
    selain itu, tolong saudara jelaskan defenisi wajah/وجهٌ yang saudara maksud?
    Lalu melihat yang dimaksud apa? Melihat dengan mata telanjang? atau dengan mata hati?
    semua itu penting untuk dipastikan terlebih dahulu sebelum makin jauh mendiskusikannya!
    Akhi, kalau ada kata-kata dari saya yang kesar atau menyinggung saya juga minta maa’f.

  10. ane inget banyolan orang syiah…..

    “” KLO ADA ORANG WAHABI YG PANDAI BERLOGIKA PASTI JADI NABI….””

    wkakakakakakakkakkakakak……

    buat ben thalib an ami zaenal……

    coba baca ” tahafut al falasifah ‘ ghazali

    disana permasalahan ini di bahas kumplit…., tapi dengan syarat yg baca tu buku musti canggih logikanya, ga bisa pake logika dengkul kaya yg sering orang wahabi pake…

    thx

  11. Untuk menjawab pertanyaan saudara(abu salafy) :
    :Apa Anda meyakini Allah juga punya a’dha’ seperti yang diyakini kaum Mujassim?
    Jadi kalau saudara bertanya:Apakah wajah Allah dapat dilihat oleh orang2 yang beriman disurga?
    maka saya kembali bertanya, yang akan dilihat di surga itu apa hanya wajah Allah saja? lalu selain wajah apa binasa, sehingga tidak bisa dilihat?
    selain itu, tolong saudara jelaskan defenisi wajah/وجهٌ yang saudara maksud?
    Lalu melihat yang dimaksud apa? Melihat dengan mata telanjang? atau dengan mata hati?

    gampang…InsyaAlahh akan saya jelaskan dengan gamblang…

    Yang terpenting anda jawab dulu pertanyaan saya,karena saya sudah berulang kali menanyakannya kepada saudara,bahkan kalo tidak salah ini kali yang keempat saya menanyakannya….Namun saudara lagi2 berkelit dari pertanyaan ini,apakah saudara tidak punya nyali untuk menjawabnya atau faktor lain saya tidak tahu,pertanyaannya adalah…

    Apakah wajah Allah dapat dilihat oleh orang2 yang beriman disurga ?????Saya hanya minta jawaban dari saudara “ya” atau “tidak”

    Yang kedua ini juga saya tanyakan pada saudara tapi saudara tidak menjawabnya,dan ini kali kedua saya mengulangnya….

    “Adapun klaim yang mengatakan bahwa dua redaksi diatas maknanya tidak sama,maka klaim tersebut harus dibuktikan dengan hujjah yang kuat..Silahkan anda membuktikannya dan saya siap untuk mendiskusikannya disini…

    Dan perlu diingat saya Orang NU bukan Wahaby,namun saya menerima kebenaran darimanapun asalnya kebenaran tersebut.

    Selamat menjawab pertanyaan saya

    Abu Salafy:

    Adalah mudah untuk menjawab pertanyaan Anda dengan Ya atau Tidak! Tetapi seperti telah saya katakan agar tidak salah Anda harus memastikan apa yang Andsa maksud dengan pertanyaan Anda itu, makanya saya ajukan pertanyaan saya itu.
    Masalah perbedaan manka antara dua redaksi itu sudah cukup pemahaman bahasa untk membuktikannya…. yang mengerti bahasa Arab pasti tau kalau dua redaksi itu berbeda makna.
    Wassalam… Selamat merenungkan dan menjawab pertanyaan2 saya.

  12. @ridho tambunan

    perkataan anda:

    “” KLO ADA ORANG WAHABI YG PANDAI BERLOGIKA PASTI JADI NABI….””

    Ini hanya ucapan saudara,tanpa bukti.Dan ucapan tanpa bukti jelas tertolak mentah-mentah.Saran saya kalo mau bicara dipikir2 dulu…ntar hisabnya diakherat banyak

  13. @ ami

    saya kan bilang itu kan ucapan sindiran orang2 syi’ah, saya tahu ini karena saya udah 11 tahun keliling jazirah arab, bergaul dengan segala jenis orang arab atau persi, dan setiap orang2 syi’ah mengkritik atau mencela orang2 wahabi selalu muncul perkataan itu…,

    awalnya saya tidak percaya, tapi ko setelah saya baca kitab2 wahabi, ucapan2 orang wahabi, bukunya sheik ibn abdul wahab, bukunya bin baz, bukunya abdullah bin mani’ yg mengkritik sayyid maliki, trus buku2nya syekh muqbil dalam menjawab pertanyaan yg tersebar di situs2 salafi…..

    saya kemudian mengambil kesimpulan klo perkataan itu mengandung kebenaran, bukan hanya ucapan2 konyol belaka….., kemudian saya memikirkan ucapan itu akibat apa….??? kenapa ko bisa orang2 arab khususnya org orang2 arab timur, logikanya ambrug…….

    saya coba baca kitab2 sejarah, dan memang ternyata kebudayaan di arab itu kurang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan…., dan anda coba saja buka kitab2 sejarah, dari mana “mayoritas” ahli2 fikir atau ahli2 filsafat islam…?? adakah yg berasal dari gurun nejd…..???

    so apa maksud anda “ini hanya ucapan saudara”

    tq

  14. Wahhaby Memang Mujassim

    Allah berdeda dengan makhlukNya dalam segala hal sebagaimana firmanNya : ” Laisa kamitslihi syaiun ”

    Ucapan wahhaby yang mengatakan bahwa Tuhan punya wajah, tangan, kaki dan mungkin wahhaby akan berkata pula Tuhan punya……. eh malu saya mengatakan, semua itu bagian dari menyerupakan Tuhan dengan makhluknya, walaupun wahhaby mengatakan ” Wajah, tangan dan anu… Tuhan tidak sama dengan yang dimiliki hamaNya.

    Titik penyamaanya, bahwa Tuhan tersusun dari anggota dan yang tersusun adalah dari sifat hawadits.

    Kalau kita membaca buku-buku Ibn Abdul Wahhab kita akan tahu bahwa dia adalah tokoh Mujassim. Kesenanagn Ibn Abdul Wahhab adalah mencatot tulisan orang yang kira-kira mendukung pernyataannya, tetapi tulisan dari sumber yang sama akan dia tolak dengan alasan munharif, atau bahkan kafir atau musyrik. Ini ciri-ciri cara wahhaby membangun madzhab sesatnya.

    Ketika wahhaby mengambil pernyatan a’immah arba’ah, ini maksud wahhaby untuk memberikan kesan kepada orang awam bahwa wahhaby seakan-akan berjalan di atas manhaj a’immah arba’ah.

    Saya ingin membuktikan tulisan saya ini, dengan siapa saya bisa berdiskusi ?

  15. alhamdulillah ami zainal sudah pandai bersilat lidah tok, tapi silat logikanya belum mas ami.coba mulai sekarang minum susu selama 40 hari,pokok makanan yang bergizi tinggi.biar bisa nanggapi abu salafi

  16. wow…fantastis…ditanya malah balik bertanya,Itulah kiranya kebiasaan saudara,yang tidak mau menerima kebenaran.Baik saya akan menjawab pertanyaan saudara.Bagaimana “Wajah Allah” yang saya maksud.Anda lihat kembali artikel saudara diatas disitu ada perkataan Imam Malik yang saudara yakin itu adalah perkataan Imam Malik:الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة

    Anda tentunya sudah tahu maknanya.Anda tinggal mengganti al_istiwaa dengan al-wajh,beres bukan??

    Sekarang giliran saudara,silahkan anda menjawab pertanyaan saya dengan penuh keyakinan tanpa ada ragu didalamnya “ya” atau “tidak” tidak lebih dan tidak kurang

    Abu Salafy:
    Dari kata-kata Anda:Baik saya akan menjawab pertanyaan saudara.Bagaimana “Wajah Allah” yang saya maksud ini di mana saya dapat menemukan jawaban tentang nakma Wajah Allah?!
    Dan bagaimana saya akan menjawab pertanyaan Anda yang belum jelas itu, mas?!
    Anda takut kenjawab sebab Anda sadar bahwa jawaban Anda itu pasti mencerminkan konsep Tajsim yang Anda yakini tapi Anda selalu sembunyikan!!

  17. @ ridha tambunan

    kaedah yang harus kita fahami bersama adalah bahwa tidak ada satupun manusia didunia ini yang luput dari kesalahan,kecuali Nabi Muhammad.Kalo bin baaz kritik sayyid al-maliki apakah salah?memangnya sayyid al-maliki itu Nabi,sehingga tidak boleh dikritik…

    Dan saya tanya saudara apakah bin baaz itu Nabi…apakah ibnu taimiyyah itu nabi….mereka juga manusia akhi bisa benar,bisa salah..
    saudara katakan :

    saya coba baca kitab2 sejarah, dan memang ternyata kebudayaan di arab itu kurang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan…., dan anda coba saja buka kitab2 sejarah, dari mana “mayoritas” ahli2 fikir atau ahli2 filsafat islam…?? adakah yg berasal dari gurun nejd…..???

    saya jawab: justru pemikiran2 filsafat yang diadopsi oleh sebagian Ulama kita itulah yang membuat rusaknya aqidah Islam yang murni,yang dibawa oleh generasi salaf dahulu,Makanya Imam Al-Ghazaly menulis buku TAHAAFUTUL FALAASIFAH(kekacauan para filosouf)

    Silahkan anda datangkan ucapan konyol yang anda maksud.Dan saya siap utk mendiskusikannya disini.

  18. @M.Abdullah habib

    perkataan anda: “Wahhaby Memang Mujassim” hanya tuduhan anda tanpa bukti,tuduhan tanpa bukti tertolak mentah2.

    Silahkan anda jawab pertanyaan saya :Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, syaikh muhammad bin abdul wahhab dan kawan2 salafy meyakini dengan seyakin-yakinnya :bahwa Wajah Allah akan dilihat oleh orang2 yang beriman disurga kelak,pertanyaan saya simple saja…Apakah wajah Allah bisa dilihat oleh orang2 yang beriman disurga kelak????

    Silahkan anda menjawab dengan penuh keyakinan tanpa diiringi keraguan sedikitpun….Ya atau Tidak

  19. @ berabeh

    Sambil merem-melekpun saya bisa menanggapi abu salafy.Dan ini adalah merupakan pertolongan Allah yang Maha Kuasa,kepada saya…sehingga saya tidak perlu minum susu 40 kali

  20. Saya ingin menanggapi tentang apa yang dikatakan Imam Malik RA. Imam Malik orang yang sangat hati2 dengan masalah keyakinan, beliau tidak mau melangkah lebih jauh dalam membicarakan sifat-sifat Allah lebih dari yang Allah sifatkan sendiri tentang ZatNya.

    Imam Malik Faham bahwa Allah Mukholif lil hawadits, sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-quran.

    Ketika beliau ditanya tentang Istiwa’, beliau menjelaskan sikapnya yang tegas, bahwa ayat itu tidak boleh difahami secara harfiyah, karena pemahaman secara harfiyah akan membawa kepada tasybih.

    Kaif, aina, mata dan kam semua kata itu kalau diartikan secara harfiyah hanya layak untuk makhluk dan Allah Maha Suci dari itu semua. Berdiri, berjalan, makan, tertawa, dll adalah kelompok “Ma’rifatah Kaifiyah ” , di masjid, di pasar, di rumah “Ma’rifah makaniyah (aina). dst. spt dalam ilmu manthiq.

    Maka ketika Imam Malik mengatakan Walkaifiyyatu ghoiru ma’qul (kaifiyyah ‘Istiwa’ tidak masuk akal) kalau disandarkan kepada Allah, bahkan yang dimaksud oleh Imam Malik bukan hanya kata Istiwa’ saja tetapi semua Kata yang masuk dlm kelompok ” Ma’rifah Kaifiah” dan yang dimaksud tidak masuk akal disini adalah akal orang yang beriman akan kebenaran firman Allah ” Laisa kamistlihi dst.

    Kata : Istawa, nazala, dll adalah kata yang menunjukkan kaifiyah, jadi kalau difahami dengan kaifiyah tidak masuk akal bagi yang beriman, maka kata itu harus diartikan kepda makna yang layak untuk Allah dan masih dalam batasan benar dalam penggunaan bahasa.

    Orang arab biasa menggunakan kata Istawa dengan makna “menguasai”, jadi mengartikannya dengan makna menguasai tidaklah termasuk memindahkan makna sebagaimana anggapan wahhabi. Dalam bahasa arab -seperti bahasa lain- disana ada kinayah, isti’arah, majaz dll.

    Yang lebih penting kita fahami , perkataan ini sebenarnya tidak perlu kita ributkan, toh itu semua bukan sabda Nabi.

    Pendek kata, yang memaknai istiwa dengan duduk bersila sesuai dengan tex ayat itu (wahhaby), itu juga hasil penafsiran orang dan yang mengartikan dengan menguasai (asy’ary, al-Ghozaly dll) itu juga hanya penafsiran orang.

    Untuk mengukur mana yang lebih dekat dengan kebenaran marilah kita kembali pada al-quran, ia sudah mengatakan bahwa ” laisa kamitslihi syaiun dst.

    Jadi jelaslah penafsiran asyary dan al-ghozaly lebih dekat dengan kebenaran dari pada penafsiran wahhabi.Tetapi Wahhabi lantaran kebodohannya justru mereka menganggap yang paling benar, “Asy’ari, al-Ghozali telah sesat” kata si Wahhaby.

    Untuk lebihjelasnya inilah beberapa komentar imam Al-Ghozaly dalam Ihya nya:

    وأنه مستو على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزهاً عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته. وهو فوق العرش والسماء وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى،

    Ihya Juz I: 96

    وهذا التقليد قد يكون باطلاً فيكون مانعاً كمن يعتقد في الاستواء على العرش التمكن والاستقرار فإن خطر له مثلاً في القدوس أنه المقدس عن كل ما يجوز على خلقه لم يمكنه تقليده من أن يستقر ذلك في نفسه.. ولو استقر في نفسه لانجر إلى كشف ثان وثالث ولتواصل.

    Ihya Juz I: 293

    الأصل الثامن العلم بأنه تعالى مستو على عرشه بالمعنى الذي أراد الله تعالى بالاستواء وهو الذي لا ينافي وصف الكبرياء ولا يتطرق إليه سمات الحدوث والفناء وهو الذي أريد بالاستواء إلى السماء حيث قال في القرآن ” ثم استوى إلى السماء وهي دخان ” وليس ذلك إلا بطريق القهر والاستيلاء كما قال الشاعر:
    قد استوى بشر على العراق … من غير سيف ودم مهراق

    Ihya Juz I : 115

    قال مالك رحمه الله لما سئل عن الاستواه: الاستواء معلوم والكيفية مجهولة والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة. وذهبت طائفة إلى الاقتصاد وفتحوا باب التأويل في كل ما يتعلق بصفات الله سبحانه وتركوا ما يتعلق بالآخرة على ظواهرها ومنعوا التأويل فيه وهم الأشعرية. وزاد المعتزلة عليهم حتى أولوا من صفاته تعالى الرؤية وأولوا كونه سميعاً بصيراً وأولوا المعراج وزعموا أنه لم يكن بالجسد وأولوا عذاب القبر والميزان والصراط وجملة من أحكام الآخرة،

    Ihya Juz I : 111

  21. baik amy, abu salafy , m. habib, benthalib ,ibn taimy,ibn wahhab sy yakin smua meyakini org2 beriman akan melihat Allah di surga. ana jg seneng amy n benthalib sdh mau menggunakan logika. tapi kalo pake logika ya gak usah nanya dalil lah.tinggal kuat2an logika saja.
    nah yang belum terjawab ni :
    firman Allah : tiap2 syai’ binasa kecuali wajahNya (kalau diikhshor : hanya wajahNya yang gak binasa).ini yang perlu dijelaskan. karena konsep tektual (tanpa ta’wil ) yang menagakui Allah istawa, Allah punya tangan, jari jemari dst menjadi gak konsisten jika dikaitkan dengan ayat tadi. makanya jika ikut nafi isbat yang muncul dibenak ya itu : tanpa kecuali binasa(baik tangan, jari jemari), yang tidak hanya wajahNya. ana bertanya ini juga agar konsisten bagi yang mau ikut aqidah tekstual atau yang menta’wil dengan padanan makna yang lebih dekat.
    akhi amy ( jagn sambil merem melek, ya) n benthalib dijawab ya…..

  22. salam buat abu salafy

    Yang penting bagi saya,anda jawab dulu pertanyaan saya,menurut pemahaman saudara,kan anda sendiri yang buat pernyataan imam malik.Tentunya kalo anda yang buat anda lebih faham….masa buat pernyataan sendiri tidak faham pernyataan tersebut …kan tidak masuk akal….Nanti setelah anda menjawab baru saya kasih komentar lagi oke…..yuk bismillah…..

    Abu Salafy:

    سلامًا! سلاما!!

  23. @ muhammad habib

    perkataan anda:Ketika beliau ditanya tentang Istiwa’, beliau menjelaskan sikapnya yang tegas, bahwa ayat itu tidak boleh difahami secara harfiyah, karena pemahaman secara harfiyah akan membawa kepada tasybih.

    Saya bertanya kepada anda:Dimana dari kata2 Imam Malik tersebut yang menguatkan interpretasi saudara???Bukankah Imam Malik mengatakan “Al-Istiwaa itu maklum(diketahui maknanya)” atau Al-Istiwaa minhu ghairu majhuul(diketahui maknanya),Namun menanyakan bagaimanakah istiwaa itu terlarang,beriman kepada istiwaa itu wajib,begitu juga menanyakan bentuk istiwaa itu bid’ah

    Anda mengutip perkataan imam ghazali,وأنه مستو على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزهاً عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته. وهو فوق العرش والسماء وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى

    Justru ini menguatkan pernyataan orang wahaby yang mengatakan : ITSBAAT MAA ATSBATAHULLAH WARASULAHUU,WA NAFYU MA NAFAAHULLAH WA RASUULAHU MINGHAIRI TASYBIIHIN WALAA TAKYIIFIN WALAA TA’THIILIN,WALAA TAMTSIILIN, WALAATAHRIIFIN WALAA TAKWIILIN

  24. Saudara Aidil

    Pada dasarnya tidak ada penjelasan langsung dari Rsulullah mengenahi ayat yang anda tanyakan bagaimana mengartikannya. Apakah harus diartikan secara textual seperti layaknya Ibn Taimiyah dan pengekor setianya Ibn Abdul Wahhab mengartikan, atau diartikan dengan Isti’aroh (majaz) dalam bahasa indonesianya) seperti yang di fahami oleh Asy’ary maupun Imam Ghozaly.

    Saya juga membaca kitab-kitab klasik yang berkenaan dengan ayat tersebut, dan saya tidak mendapatkan penafsran dari ulama salaf yang mengartikan secara harfiyah dan mereka jazam dengan penafsiran seperti itu. Kebanyakan para sahabat tidak banyak komentar tentang hal-hal yang memang bukan garapan akal manusia.

    Yang benar-benar membuat saya heran adalah kaum Wahhaby, mereka memahami bahwa diamnya para sahabat membuktikan bahwa ayat itu harus diartikan secara harfiyah, Kalau kita memahami secara mendalam, pernyataan Imam Malik RA sebenarnya Beliau dengan ungkapannya itu menunjuk pada makna yang bukan harfiyah, hanya saja karena beliau bukan ahli logika maka ungkapan beliau sulit difahami. “ istiwa adalah kalimah yang mempunyai makna ibanah kaifiyah (menjelaskan kaifiyah / suatu perbuatan) jadi faham apa yang dapat kita fahami kalau “wal kaifiyyatu Majhulah” kaifiyahnya tidak diketahui.

    Untuk lebih mudahnya saya berikan contoh dengan ungkapan berikut : “ Setiap A adalah B tetapi apakah A itu B tidak diketahui”

    Perlu kita fahami, bahwa Imam Malik adalah Ulama yang mengharamkan logika, sehingga sangat wajar kalau beliau mengungkapkan suatu ungkapan yang menurut logika sangat kontradiksi. Kita musti menghargai Beliau bukan karena ungkapan beliau ini, tetapi niyat beliau untuk mentanzihkan Allah dari sifat hawadits.

    Saya dulu juga wahhabi tetapi saya sudah taubat dan tobat(bs Jw) dari faham ini.

    Saya bertaubat karena saya sadar, betapa banyak orang yang sudah saya sakiti hatinya karena dulu saya menganggap mereka itu menyimpang, sesat, dan mengajari agama kepada Allah. Waktu itu sering saya melontarkan ayat ”

    قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
    (Alhujurot: 16 )

    ayat itu saya tujukan kepada orang yang berbeda penafsirannya dengan saya, waktu saya masih Wahhabi.

    Dalam hal ini saya merasa bersalah besar, karena saya menggunakan ayat untuk mengikuti penafsiran saya dan bukannya ayat untuk membimbing saya dalam melakukan penafsiran.

    Tetapi saya juga tobat (mumet bs jawa) setelah saya berlama lama membaca buku-buku ibn abdil wahhab dan para komentatornya.

    Satu contoh, ketika wahhabi berhadapan dengan orang awam yang rendah pendidikannya dan mempunyai pemikiran yang berbeda, mereka akan berkata ” Yang menentang Faham Syaikh adalah orang-orang yang bodoh yang tidak bisa melanjutkan belajarnya sampai tingkat yang layak, mereka adalah lulusan ibtida’ atau tsanawi ” Lihat kitab Muqorror tulian Fauzan. Maaf saya tidak bisa menunjukkan halaman berapa karena kitabnya sudah saya buang ke kotak sampah.

    Sekarang lihat Fathul Majid, berhubung wahhabi menghadapi banyak ilmuwan yang berseberangan dengan mereka, fathul masjid menulis ” bahwa yang mendapat petunjuk bukanlah para Professor atau doktor, bahkan kebanyakan para professor, doktor banyak yang membawa kepada kesesatan”

    Benar-benar mumet n pusing saya membaca buku yang ngalor ngidul dan penuh dengan debat kusir seperti ini.

    Kalau ada orang yang mengikuti Ulama yang terkenal kesalihannya yang kebetulan memberikan pernyataan yang berbeda dengan wahhabi, dengan enteng tanpa beban wahhabi berkata : “Kalau anda mengumpulkan kesalahan ucapan orang-orang yang salih untuk mengikuti kesalahannya, maka cukuplah anda akan tersesat dlolalan ba’idaa.”

    Tetapi aneh bin Ajaib alias gumunke, wahhabi juga mau mengambil ucapan para Imam yang terkenal dikalangan Kaum muslimin yang cocok dengan pemikirannya.

    Pertanyaan saya kepada Wahhabi, dengan ukuran apa wahhabi bisa menentukan bahwa ucapan para imam yang sejalan dengan pemikiran wahhabi itu pasti benar dan yang berseberangan itu pasti salah.

    Bukankah ini Pemain sekaligus sebagai Juri.

    Tinggalkan wahhabi kalau tidak ingin stres atau menjadi kerbau gila yang tidak mendengar uacapan tetapi kuat dalam srudukan.

    Relakah umat Islam dengan Al-quran yang selalu mengatakan La’allakum Ta’qilun, tatafakkarun, tafqohum, kemudian diubah menjadi la’allaku Sruduk-srudukan !!!!!!!!!!

  25. @amy

    Kalau anda masih membutuhkan bukti bahwa wahhabi memang mujasim anda bisa melihat buku-buku yang ditulis oleh ibn abdul wahhab.

    Kalau anda tidak juga menemukan, saya ragu apakah anda sudah mampu membaca atau belum, tetapi besar dugaan saya anda mampu membacanya.

    Untuk pertanyaan anda ” Apakah wajah Tuhan bisa dilihat di akhirat ?”

    Jawaban saya sebagaimana yang difirmankan oleh al-Quran surah al-Qiyamah ::
    وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)

    Tetapi yang perlu anda fahami bahwa masalah kehidupan akhirat, adalah kehidupan yang kita belum mengetahui secara keseluruhan kecuali sekedar gambaran-gambaran yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran.

    Perlu kita ketahui pula, sekalipun ratusan jilid buku yang ditulis oleh ahli bahasa, sekalipun misalnya ia pernah ke sorga kemudian datang kembali kedunia ini, toh tidak akan mampu menggambarkan sorga dan kenikmatannya sesuai dengan yang benar-benar terjadi disana.

    Bagaimana bahasa mampu menggambarkan sesuatu yang ” mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar dan hatipun belum pernah melintaskannya” ?

    Allah yang rahman dan rahim, Ia Tahu dengan sempurna akan ciptaanNya, maka diutuslah para nabi untuk menjelaskan keindahan sorga sekedar yang bisa difahami oleh manusia.

    Memahami berita tentang kehidupan akhirat dengan pemahaman yang bisa kita fahami secara sempurna seperti halnya kita melihat pertandingan sepak bola di dunia ini, jelas suatu pemahaman yang salah.

    Oleh karena masalah yang anda tanyakan adalah masalah yang seperti ini keadaannya dan anda meminta untuk menjawab dengan jazam. Permintaan anda menunjukkan dengan Jelas bahwa anda tidak memahami permasalahan dan tidak memahami keterbatasan bahasa.

    Pertanyaan saya ” Seharusnya dengan Bahasa bagaimana saya bisa memahamkan anda ? ”

    Maaf sebelumnya.

  26. @ami al mahbub !

    Perkattaan Imam Malik yang menunjukkan Istiwa hars diartikan tdk secara harfiyah adalah “wal kaifiyyatu majhulah” perhatikan baik-baik, kata istawa (secara harfiyah) adalah menunjukkan kaifiyah, jadi kalau kaifiyyah tidak diketahui, atau tidak layak untuk Allah, maka artinya istawa harus mempunyai makna lain yang sesuai dengan ke Maha SucianNya.

    Adapun perkataaan Imam al-Ghozali sangat jelas bahwa istiwa mempunyai makna lain karena Beliau mengatakan :

    استواء منزهاً عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته

    bacalah dengan seksama

    Semoga Allah membimbing Anda !

  27. @ami

    Nambah lagi nih, adapun ucapan orang waahabi yang anda tulis yang berbunyi :

    ITSBAAT MAA ATSBATAHULLAH WARASULAHUU,WA NAFYU MA NAFAAHULLAH WA RASUULAHU MINGHAIRI TASYBIIHIN WALAA TAKYIIFIN WALAA TA’THIILIN,WALAA TAMTSIILIN, WALAATAHRIIFIN WALAA TAKWIILIN

    ucapan itu menurut saya tidak bisa difahami oleh orang yang berfikir jernih. Coba datangkan dedengkot Wahhabi untuk menjelaskan pernyataanya yang mukoddimahnya kontra dengan natijahnya itu !

    Tapi kalau cari orang wahhabi jangan yang asal sruduk ya nanti kita malah bisa kesruduk tanduknya, apa lagi kalau tanduk setan ngeri kan ?

  28. @ami..
    mas ami dahsyat jawabannya ” Sambil merem-melekpun saya bisa menanggapi abu salafy.Dan ini adalah merupakan pertolongan Allah yang Maha Kuasa,kepada saya…sehingga saya tidak perlu minum susu 40 kali “.Allah memang Maha Kuasa wan tapi yang bisa nerima kekuasaannya Allah adalah orang2 yang hidupnya mencintai seluruh manusia yang mengikuti kebenaran…jd kalau abdul wahab kira2 ikuti yang mana?dan yang lebih penting anda ikut siapa…?semoga anda tetap menjunjung tinggi harga diri dan keuliaan para auliya Allah dan orang2 pilihan-Nya.

  29. @ saudara abu salafy dan kawan2 dari NU yang saya banggakan.

    Baik saya tidak akan memaksa anda(abu salafy) untuk menjawab pertanyaan saya,karena saya yakin anda akan menjawab”ya”,namun karena anda malu untuk mengungkapkannya,maka anda menyembunyikannya dengan berusaha keluar/menghindar dari pertanyaan saya.Tapi tidak apa2 saya tidak akan kecewa.

    Saya hanya ingin menjelaskan kepada saudara2 saya dari kalangan NU,bahwa begitu rapuhnya pondasi faham mentakwilkan sifat2 khabariyyah dihadapan hadits mutawatir tentang “melihat wajah Allah”.Ketika anda mentakwilkan “wajah “ disini dengan agama misalnya…maka saya tanya bagaimana anda memahami/mentafsirkan “wajah Allah” dalam hadits2 mutawaatir tentang melihat wajah Allah bagi orang2 yang beriman.Apakah juga harus difahami dengan “agama”,lantas kalau difahami dengan agama yang dilihat apa???kan jadi bingung,sedangkan melihat wajah Allah disurga bagi orang yang beriman adalah merupakan aqidah ahlussunnah wal jamaah yang wajib diyakini,bahkan syaikhul Islam Imam Abul Hasan Al-Asy’ary juga berkeyakinan demikian.Itu yang pertama

    Yang kedua:Ketika anda mengatakan al-yad takwilnya kekuatan,al-istiwaa takwilnya berkuasa,al-wajah takwilnya agama,maka saya tanyakan pada anda apakah Allah pernah mengatakan demikian??kalau ada,disurah mana??dan ayat berapa??atau apakah pernah dikatakan Nabi saw ??kalau ada dikitab apa,juz berapa,halaman berapa???Andapun lagi2 mengelak dan mengalihkan permasalahan,karena memang hal yang demikian tidak ada dalam kitab suci al-quran ataupun sabda Nabi saw.Lantas kalau Allah tidak mentakwilkannya,mengapa anda begitu berani mentakwilkannya sendiri,apakah anda lebih mengetahui dari Allah tentang makna sifat2 yang disebutkan Allah sendiri dalam kitab-NYA???Tidakkah anda merenungkan firman Allah dalam surah al-Imran :…maka adapun orang2 yang hatinya condong dalam kesesatan,maka mereka akan mengikuti sebagian ayat2 mutasyaabihat,untuk menimbulkan fitnah dan mencari2 takwilnya,dan tidak ada seorangpun yang mengetahui takwilnya kecuali Allah,dan orang2 yang mendalam ilmunya mereka berkata:kami beriman kepada ayat mutasyabihat,seluruhnya berasal dari Tuhan kami….Tidakkah anda melihat bahwa orang2 yang mendalam ilmunya mengimani ayat2 mutasyabihat termasuk didalamnya ayat2 sifat Allah,dan menyerahkan substansi serta pemaknaannya kepada Allah SWT semata,bukan mentakwil dengan seenak perut,karena orang yang mentakwil ayat2 mutasyabihat,hanyalah orang2 yang hatinya condong dalam kesesatan(bukan berarti sesat,namun tetap saja keliru)

    Yang ketiga:ketika anda mentakwilkan istiwaa dengan istawla(berkuasa),apakah anda yakin bahwa pentakwilan yang demikian tepat??Anda mengatakan hal itu dengan berdalil dengan syair arab yang berbunyi : قد استوى بشر على العراق
    بغير سيف ودم مهراق
    “Bisyr telah istiwa (menguasai) Iraq
    Tanpa pedang dan darah yg tertumpah”

    Saya bertanya apakah pentakwilan tersebut disepakati para ahli tafsir dan ahli hadits??
    Dan Tidakkah anda tahu makna dan substansi daripada istawlaa itu apa??

    Dalam biografi Imam Lughawi Ibnul ‘Araby dikatakan:

    “Seorang laki-laki berkata menafsirkan makna istiwa adalah istaula (berkuasa). Maka berkata (Ibnu ‘Arabi): Diam kau! Orang arab tidaklah mengatakan bagi seseorang istawla (berkuasa) terhadap sesuatu hingga ia mempunyai lawan. Yang memenangkan pertarungan itu dikatakan: istawla (berkuasa). Sedangkan Allah Ta’ala tidak ada bagi-Nya lawan.”

    Sekarang saya tanyakan pada anda apakah Allah SWT pantas memiliki lawan??Tentu saja tidak.

    Kemudian anda katakan lagi(dalam artikel2 anda yang lalu):
    bukankah ibnu Abbas mentakwilkan ayat2 Qur’an?? Sesuai dengan hadits nabi saw: اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل artinya : “Ya Allah, faqihkanlah ia dalam agama, dan ajarkan ia takwil.Kemudian anda ambil kesimpulan boleh mentakwil ayat2 Quran termasuk ayat2 yang menerangkan sifat2 Allah…
    Sekarang saya Tanya anda apakah yang dimaksud takwil diatas???Tahukah anda apa yang dimaksud dengan Takwil menurut generasi terbaik Umat ini yaitu generasi sahabat??

    Jawabannya: anda jika telah mempelajari makna takwil dan penjelasan para ulama mengenainya maka anda akan temukan bhw takwil dalam hal ini –yakni dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yg terdapat dalam al-Qur`an yg menggunakan lafazh takwil adalah utk pengertian tafsir yakni “menjelaskan” dan “menerangkan”. Sedangakn takwil yg dilakukan oleh orang-orang mutaakhirin adalah membelokkan sesuatu dari makna aslinya,dan inilah takwil yg sebenarnya dicegah oleh firman Allah:
    مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ
    ” Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya” (Ali Imran: 7).

    Dan diantaranya adalah ayat-ayat mutasyabihat, seperti ayat-ayat ttg sifat Allah, mereka mencari-cari atau membuat-buat takwil atas sifat. Seperti menakwilkan istiwa dg istaula. Al-yad dengan ni’mah dan qudrah

    Pertanyaan sekarang :Adakah Ibnu Abbas ra pernah mentakwilkan istiwa dg istaula. Al-yad dengan ni’mah dan qudrah,Al-wajh dengan agama???Tentu saja tidak

    Mengapa demikian???
    Karena terhadap ayat tersebut maka seharusnya kita cukuplah mengimaninya saja tanpa mencari-cari takwilnya. Yakni mengimaninya sbgmn yg datang dari al-Qur`an dan hadits, tanpa takyif dan tamtsil juga tanpa takwil apalagi ta’thil. Sebab hanya Allah saja yg tahu takwilnya. Allah kemudian menjelaskan bagaimana sikap org-org yg rasikh (dalam) ilmunya terhadap ayat-ayat mutasyabhat:
    وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا
    ” Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali Imran: 7).

    Orang-orang yg menolak keabsahan sifat-sifat yg telah Allah tetapkan sendiri untuk diri-Nya, bukan berarti hal itu merupakan suatu bentuk penyerupaan atau personifikasi, sebab itu tidak patut bagi anda utk mengada-ngadakan kebohongan terhadap ahli sunnah.
    Adapun anda tentu akan berpandangan bhw anda juga menetapkan bhw Allah itu berkehendak, berbicara, mendengar, dan melihat. Jadi, jika pernyataan anda ini dikembalikan kepada anda, maka sbg konsekwensinya adalah bhw apakah yang anda tetapkan tersebut tidak serupa dg sifat makhluk? karena makhluk juga mendengar dan melihat, berkehendak dan berbicara. Kalau anda katakan, bhw hal itu berbeda. Sebab Allah berbicara, bekehendak, melihat dan mendengar tidak seprti makhluk. maka saya katakan, jadi? kenapa tidak anda tetapkan pula apa yg telah Allah tetapkan dari sifat-sifat-Nya yg lain dg landasan: “Tiada ada satupun yg menyerupai-Nya”, tetapi malah anda tolak dg beralasan hal ini berupa tasybih…kemudian menuduh mereka yg menetapkan hal itu tanpa takyif dan tamtsil / tasybih sebagai bentuk personifikasi atau tasybih? Agaknya ada sesuatu ya yg menghalangi mata anda untuk melihat ungkapan tanpa takyif dan tamtsil?? Lalu kenapa belum juga faham-faham…!

    Kalau anda katakan, kita hanya menetapkan Allah mendengar, melihat, berbicara dan yg semisalnya, tapi kita tidak menetapkan bhw Allah itu istiwa di atas arys, al-wajh, al-yad dan semisalnya.. maka saya katakan, apa dasarnya pemisahan ini? bukankah hal ini sama-sama dinisbatkan kepada Allah???

    Kalau anda berkata: berbeda… karena….ermm… maksudnya gini, hmmmm… ohya, berbeda, karena hhmmmm…..ya karena…hmm…karena kami mengatakan misalnya Allah mendengar adalah Dia tidak mendengar sbgmn kita mendengar dan demikian yg lainnya.
    Maka saya katakan, nah disini juga yg menjadikan kaum sesat mu’tazilah dan jahmiyah mengingkari sifat-sfat Allah, baik itu mendengar, melihat dan semua yg ditetapkan-Nya dalam al-Qur`an dan sunnah Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam, karena menurut mereka penetapan itu merupakan tasybih bagi Allah. sebab kalau ditetapkan Allah berbicara, maka sesungguhnya manusia (makhluk) juga berbicara, dan seterusnya. Maka atas dasar anggapan inilah lantas mereka menolak semua asma wa shifat Allah. bahkan agar tidak dikatakan menolak al-Qur`an secara terang-terangan, maka mereka melakukan takwil terhadap nama-nama dan shifat Allah sebagai bentuk “tanzih” menurut mereka. lalu, apa yg membuat kalian wahai yg ngaku-ngaku asy’ariyah malu-malu menetapkan semua asma wa shifat Allah sbgmn yg termaktub dalam Kitabullah dan hadits yg shahih dg tetap berpegang bhw “Tidak ada suatu apapun yg semisal dg-Nya”? atau kenapa anda malu-malu menolaknya agar anda dan mu’tazilah juga jahmiyah menjadi satu kelompok?! Maka fikirkanlah

    Adapun perkataan sebagian yang ngaku2 pengikut ‘Asy’ariyyah:

    Maknanya: “Istawa (استوى seperti yang Allah mensifatkan Zat-Nya, tidak boleh dikatakan bagaimana tentangnya (istawa), dan bagaimana mustahil bagi-Nya”

    Bagaimana (bentuk) adalah sifat makhluk dan antara sifat makhluk ialah duduk, mendiami, bertempat dan berpihak.

    Saya jawab: Inilah bukti bahwa aqidah anda keliru!!!

    Bukankah anda yg keliru?! Tidakkah sampai perkataan Imam Malik? Baik, akan saya nukilkan kepada anda. Bhw telah disebutkan oleh Abu Umar bin Abdil Barr dalam al-Tamhiid:

    أخبرنا عبد الله بن محمد بن عبد المؤمن حدثنا أحمد بن جعفر بن أحمد أن ابن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل قال حدثني أبي قال حدثنا شريح بن النعمان قال حدثنا عبد الله بن نافع قال: قال مالك بن أنس ” الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه مكان ” قال وقيل لمالك { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} كيف استوى فقال مالك رحمه الله تعالى استواؤه معقول وكيفيته مجهولة وسؤالك عن هذا بدعة وأراك رجل سوء ”
    “Telah menkabarkan kepada kami, Abdullah bin Muhammad bin Abil Mu`min, menceritakan kepada kami Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bhw Ibnu Malik, menceritakan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata menceritakan Syuraih bin Nu’maan, ia berkata menceritakan kepada kami, Abdullah bin Nafi’, berkata Malik bin Anas berkata: Allah istiwa di langit dan ilmu-Nya ada disetiap tempat, tidak lepas dari-Nya sesuatupun. Dan dikatakan kepadanya (Allah istiwa di atas ‘arsy), bagaimana istiwa itu? Maka Malik rahimahullah berkata: Istiwa-Nya adalah ma’quul (dapat dinalar atau diketahui), dan bagaimananya adalah majhul (tidak diketahui) dan pertanyaanmu ttg ini adalah bid’ah, dan aku melihatmu seorang yg suu` (buruk, jahat).”

    Nah, saya katakan tafsiran duduk bagi Allah adalah tafsiran bathil dan saya yg sudah bersama mereka (salafy) tidak pernah ada yg mengatakan bhw istiwa itu adalah menetap, duduk atau kebohongan-kebohongan lainnya. Kalau seandainya anda menukilkan sesuatu, maka nukil dg lengkap dan benar langsung dari kitabnya.

    Juga hendaknya anda bisa membedakan org yg melakukan penyerupaan sifat Allah dg makhluk-Nya dg orang yg hanya menetapkan apa yg telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dg tanpa mempersoalkan bagaimananya dan penyerupaan dg makhluk, sebab mereka yg menetapkan jelas-jelas secara tegas mengatakan tidak ada yg dapat menyerupai Allah. Jadi, kenapa anda tafsirkan penetapan mereka sbg bentuk tasybih atau tajsim??? Apakah tatkala mereka menetapkan adanya dua tangan bagi Allah, lantas anda menemukan bhw mereka juga menetapkan bhw tangan Allah seperti tangan makhluk, atau memberikan permisalan misalnya dg mengatakan tangan Allah lebih besar dan lebih panjang dari tangan makhluk atau yg semisalnya???Tentu anda tidak akan menemukannya bahkan dalam perkataan Ibnu Taimiyah sekalipun. Anda hanya menemukan perkataan mereka bhw Allah memiliki tangan, wajah kemudian anda akan menemukan dalil bagi hujjah mereka, kemudian penetapan mereka bhw Tiada yg dapat menyerupai-Nya sesuatu apapun. Jadi, jangan kalian wahai orang2 yg ngaku pengikut Asy’ariyyah, justru memperlebar penafsiran. Apa gak faham makna yg mereka tetapkan dg kata tanpa takyif? Tanpa takyif maksudnya tanpa mempersoalkan atau memperpanjang masalah bagaimana tangan, atau wajah atau sifat fi’liyah spt istiwa atau nuzul Allah, sekali lagi tanpa memperpanjang penafsiran kecuali yg ada penjelasannya dari kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalau tak ada penjelasannya maka berhentilah disitu. Bukan malah ditakwil atau dita’thil…. Sebgmn orang-orang jahmiyah lakukan. Juga mereka menegaskan dg tanpa tasybih.yakni tanpa menyerupakan sifat Allah itu dg sesuatu apapun dan tanpa membayangkannya dg apapun dari makhluknya, artinya cukup menetapkannya saja dan bhw sifat-sifat tersbut tidak dapat digambarkan atau dibayangkan seperti sifat makhluk sebagaimana yg telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Nah demikian ini seharusnya jelas bagi orang yg benar telah mempelajari pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan seluruh ulama ahli sunnah dan ahli hadits, bukan malah dg alasan takut melakukan tasybih, justru tanpa dasar yg jelas malah menafikan sifat tersebut atau sekurang-kurangnya mentahrif atau mentakwilkannya dg makna yg jauh dari kebenaran yg menyelisihi atsar.

    Dlm penetapan istiwa bagi Allah, atau nuzul nya Allah atau sifat-sifat yg telah dsbutkan dalam hadis-hadis shahih yg kalian lebih mendahulukan ilmu kalam kalian daripada mengimaninya dengan tanpa takwil, ta’thil, takyif dan tamtsil. Itu sebenarnya telah cukup bagi kalian. Dan para ulama dulu pun sebelum kehadiran ahli-ahli kalam yg menyimpang ini tidak pernah bermasalah dg sifat-sifat Allah sebab mereka cukup menetapkannya sbgmn yg Allah tetapkan dalam al-Qur`an dan yg ditetapkan dlm Hadis nabi tanpa takyif dan tamtsil. Lantas setelah berkembangkan fitnah ilmu kalam dan syubhat aqlaniyuun, yg mulai mempersoalkan bagaimananya sebagai bentuk pelecehan dan pengingkaran terhadap Ahli Sunnah sbgmn yg tejadi pada masa Imam Malik dimana seorang ahli bid’ah dari kaum rasionalis bertanya kepada Imam Malik ttg istiwa Allah. maka Imam Malik pun mengatakan: Istiwa adalah suatu yg telah maklum, yakni suatu yg sebelumnya tidak ada masalah dg istilah ini sebab kaum muslimin tidak ada yg memperdebatkan apa yg telah Allah sifatkan dalam Kitabullah dan sunnah Nabi mereka sampai datang kaum yg menolak sifat-sifat Allah dan beranggapan bhw menetapkannya sbg bentuk tasybih. Hal tersbut hingga terjadi pada masa Syekh Ibnu Taimiyyah merupakan sebagai penegasan atas sifat Allah yg telah banyak diingkari.

    Nah disini jelas sekali telah tejadi pembohongan terhadap Ahli Sunnah, dimana anda mencoba melecehkan mereka dg menuduh mereka sebg mujassimah atau musyabbibah padahal anda tidak mampu mendatangkan perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka dari kalangan ahli sunnah yg menakwilkan sifat-sifat Allah,seperti mereka mengatakan bhw istiwa itu artinya istaula, tangan itu artinya nikmat atau kekuasaan. Tetapi yg ada justru mereka menetapkan dan memberikan peringatan dan mewaspadai manusia dari penyerupaan terhadap makhluk. lalu kenapa kalian menakwilkan penetapan ahli sunnah sbg tajsim atau tasybih? Bagaimana anda berhukum wahai saudaraku yang ngaku-ngaku asy’ary?????

    Tentang tuduhan sebagian orang bhw Ibnu Taimiyah mengatakan istiwa dg duduk, maka ini jelas perkara yg –setahu saya tidak pernah beliau katakan, seandainya mereka(yang mengatakan itu) dapat memberikan buktinya atas pernyataan beliau bhw istiwa Allah diatas arsy adalah Allah duduk diatas arsy, maka tolong datangkan dg benar dan utuh. Seandainya mereka mampu, maka saya sendiri yg akan mengatakan bhw perkataan tersebut (yakni bhw Allah duduk) adalah perkataan yg bathil. Dan wajib ditolak, karena setahu saya tidak ada keterangan yg shahih yg mengatakan istiwa dg duduk, dan tidak pula dari atsar maupun penjelasan para imam ahli sunnah. tapi hanya saja sepanjang sepengathuan saya istiwa bagi beliau adalah sebagaimana yg dinukilkannya dari para salaf, yakni irtafa’a. spt perkataan beliau dalam Syarh al-‘Aqiidah al-Ashfahanyyah h. 28:
    مثل ما ذكره الخلال وغيره عن إسحاق بن راهويه حدثنا بشر بن عمر قال: سمعت غير واحد من المفسرين يقول: “الرحمن على العرش استوى أي ارتفع”.
    وقال البخاري في صحيحه قال أبو العالية: “استوى إلى السماء ارتفع” وقال مجاهد: “استوى علا على العرش” وقال البغوي في تفسيره: قال ابن عباس وأكثر مفسري السلف: “استوى إلى السماء ارتفع إلى السماء” وكذلك قال الخليل بن أحمد وروى البيهقي عن الفراء: “استوى أي صعد”
    “…contohnya adalah apa yg disebutkan oleh al-Khalal dan selainnya dari Ishaq bin Rahawaih, menceritakan kepada kami, Bisyr bin Umar, berkata, aku mendengar lebih dari seorang mufassir yg berkata: al-Rahmaan istiwa di atas ‘arsy. Istiwa yakni irtafa’a (naik). Berkata al-Bukhari dalam shahihnya, berkata Abu al-‘Aliyah: Dia istiwa ke atas langit yaitu irtafa’a (naik)” dan berkata Mujahid: istiwa adalah ‘alaa (tinggi) diatas ‘arsy”. Dan berkata al-Baghawi dalam tafsirnya: berkata Ibnu Abbas dan kebanyakan mufassir dari salaf: istiwa keatas ‘arsy adalah naik keatas langit” dan demikan pula yg dikatakan al-Khalil bin Ahmad dan diriwayatkan oleh al-Baihaqy dari al-Fara`: istiwa yakni naik”.
    Demikianlah dan ini pula yg menjadi metode Ibnu Taimiyah dalam berbicara, sebab dalam menyampaikan perkataannya beliau selalu mendahului perkataan salaf dan ulama-ulama ahli sunnah sebelumnya, jadi sangat aneh kalau ada yg menghina beliau tanpa dapat menukilkan ucapan beliau secara.

    Terakhir saya ingin memperluas pembahasan “wajah Allah”.

    Masalah penetapan sifat wajah bagi Allah pun akan saya jelaskan dg menukilkan perkataan Syekh al-Islam Abu al-Hasan al-‘Asy’ary sbgmn yg akan saya lakukan, adapun sebelumnya saya nukilkan dulu bagi antum ucapan Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah –lebih dg dikenal dg Ibnu Khuzaimah, kenal kan Ibnu Khuzaimah itu siapa? Pernah baca kitab hadis, Shahih Ibnu Khuzaimah? Nah itulah diantara karya beliau. Beliau dalam Kitab al-Tauhiid wa Itsbaat shifaati al-Rabbi ‘Azza wa Jalla, dalam Bab Dzikr Itsbaat Wajh lillah, h. 10-11:
    فنحن وجميع علمآء ئنا من أهل الحجاز وتمامة واليمن والعراق والسام ومصر نثبت لله ما أثبته الله لنفسه ونقربذالك بألسنتنا ونصدق بذالك قلوبنا من غير أن نشبه وجه خالقنا بوجه أحد من المخلوقين وعز ربنا عن أن نشبهه بالمخلوقين وحل ربنا عن مقالة المعطلين وعز عمن يكون عدما كما قاله المبطلون لأنه ما لاصفة له تعالى عما يقول الحهميون الذي ينكرون صفات خالقنا الذي وصف الله بما نفسه في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه محمد صلى الله عليه وسلم
    ” Kami dan semua ulama-ulama kami, dari Hijaz, Tamamah, Yaman, Iraq, Syam, dan Mesir menetapkan bagi Allah apa-apa yg telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dan kami mengakuinya dengan lisan kami, dan membenarkannya dengan hati kami tanpa kami menyerupai wajah Pencipta kami dg wajah seorangpun dari makhluk dan Maha Mulia Rabb kita dari menyerupakan-Nya dengan makhluk dan dari apa yg dikatakan oleh kaum mu’aththilah dan dari orang meniadakannya sebagaimana yg dikatakan oleh kaum mubthiluun (orang-orang bathil) dan yg dikatakan oleh Jahmiyah yg mengingkari sifat-sifat Pencipta kita, karena tidak mensifati bagi Allah Ta’ala dengan apa yg telah Dia sifati diri-Nya pada yg telah diturunkan-Nya (al-Qur`an) dan atas lisan nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.”

    Jelaslah bhw menetapkan wajah, yad (tangan), istiwa (bukan duduk), dan sifat-sifat yg telah Allah tetapkan atas dirinya dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah aqidah Islam yg benar sbgmn yg dianut oleh ahli sunnah dan ahli hadits, tidak ada yg mengingkarinya kecuali orang-orang mu’tazilah dan jahmiyah dan sebagian pengikut asy’aryah –yg tentu saja hal ini bertolak belakang dngn tokoh mereka yakni Imam Abu al-Hasan al-‘Asy’ari –semoga Allah merahmatinya, karena ulama salaf mereka semua hanya menetapkan sifat Allah dan tidak menakwilkan atau mentahrifnya, hanya saja tentu saja bagi org yg diakalnya ada sesuatu akan mempolitisir penetapan ini sebagai bentuk tajsim atau tasybih padahal mereka yg menetapkan aswa wa shifat sbgmn yg Allah telahkan atas diri-Nya dalam Kitabullah dan sebagaimn yg ditetapkan dalam sunnah Rasul-Nya tanpa tasybih dan tamtsil, sebab Allah berfirman:
    ليس كمثله شئ وهو السميع البصير
    “Tiada yg suatupun yg sama dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Syuraa: 11).

    Nah dari sini sangat disayangkan oleh sebagian orang berusaha menakwilkan perkataan ahli sunnah dg takwilan yg jauh menyimpang, dan menuduh mereka dg tuduhan yg sama sekali tidak layak bagi mereka. Mereka dg lancang justru menafikan asma dan shifat Allah dengan alasan tanzih, padahal justru mereka dg berani mentahrif atau menafikan sifat-sifat Allah, baik sebagian atau semuanya… maka Maha Suci Allah dari apa yg kalian sifatkan…

    Adapun ungkapan bhw bagian, anggota dan perangkat tubuh ini, misalnya, al-wajh, al-yad sering dipolitisir oleh sebagian orang yg menolak sifat Allah untuk menafikan sebagian sifat Allah yg tela ditetapkan dengan dalil-dalil yg qath’i. Bahkan disebutkan dalam al-Fiqh al-Akbar bi Syarh al-Qari h. 36 -37 bahwa Abu Hanifah berkata:
    له يد ووجه ونفس كما ذكر الله تعالى فى القرآن من ذكر اليد والوجه والنفس, فهو له صفة بلا كيف, ولا يقال: إن يده قدرته ونعوته. لأن فيه ابطال الصفة.
    “Dia memiliki tangan, wajah dan diri (jiwa) sebagaimana yg telah disebutkan Allah Ta’ala dalam al-Qur`an tentang penyebutan al-yad, al-wajh dan al-nafs, dan itu merupakan sifat-Nya yg tidak diketahui bagaimananya (tanpa takyif). Dan tidak pula boleh dikatakan: bahwa yaduhu (tangan-Nya) berarti qudratuhu (kekuasaan-Nya) dan ni’matuhu (nikmat-Nya). Karena pada demikian itu merupakan pembatalan sifat (Allah).”

    Allah telah berfirman:
    مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
    “Apa yg menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (shaad: 75).
    وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
    “..padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (al-Zumar: 67).
    كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
    “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya.” (qashshash: 8.
    وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
    “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (al-Rahman: 27).
    تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ
    “Engkau mengetahui apa ygada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yg ada pada diri-Mu.” (al-Maidah: 116).
    وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ
    “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya” (Ali Imran: 2.
    كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
    “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih saying” (al-An’am: 54).

    Disebutkan dalam hadis ttg syafa’at bhw manusia mendatangi adam dan berkata:
    خلقك الله بيده, واسجد لك ملئكته , وعمك أسمآء كل شيئ
    “Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya, dan malaikat-Nya sujud kepadamu, dan Dia telah mengajarkanmu nama-nama segala sesuatu.” (HR. Bukhari – Muslim).
    Maka hadis ini tidak sah untuk ditakwil bhw yg dimaksud dg al-yad itu adalah al-qudrah (kekuasaan) Karena sesungguhnya Allah berfirman:
    مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
    “Apa yg menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (shaad: 75). Maka tidak benar kalau ditakwilkan tangan Allah disini dengan makna qudrah (kekuasaan) sebab disini disebutkan dalam bentuk tatsniyah, apa lantas akan diartikan pula “dengan kedua kekuasaan-Ku”.
    Sebenarnya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary telah membatah sekte-sekte yg menolak atau menakwilkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana yg insya Allah akan saya nukilkan sebagian serta mematahkan hujjah-hujjah orang2 yg merasa dirinya pengikut asy’ariyah ini.

    Baik, saya lanjut, mengenai ayat diatas tadi, maka kalaulah dimaknai tangan Allah dengan kekuasaan, tentu saja iblis bisa saja berkata: “bukankah aku juga Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu? Maka tidak ada kelebihannya atas diriku,” dan iblis meski dia kafir, tetapi ia lebih mengenal Rabb-nya daripada jahmiyah. mereka juga tidak bisa berdalil dengan firman Allah:
    أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَاماً فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ
    “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (Yaasin: 71).

    Allah menggunakan bentuk jama’, sebab ia disandarkan kepada kata ganti yg juga jama’ (Kami) agar kedua bentuk jama’ itu selaras. Dan lafazh jama’ itu hanyalah sebagai lafzh tanzhim, yakni untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaraan. Allah tidak menyebutkan tangan-tangan-Ku mudhaf (disandarkan) kepada kata ganti dalam bentuk tunggal, tidak pula Dia menyebut kedua tangan Kami dengan bentuk tatsniyah dari kata tangan yg disandarkan kepada kata ganti dalam bentuk jama’. Jadi, firman Allah:
    لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ‘yg Aku ciptakan dg kedua tangan-Ku” tidaklah sama maknanya dg firman-Nya: مما عملت أيدينا .
    Sekedar peringatan bagi yg mengaku asy’ariyah, maka saya dapat memastikan setelah ini akan menyeloteh dan dengan semangat 45 segera menyambut penetapan ini sebagai bentuk tasybih dan tajsim tanpa menghiraukan ungkapan ahlu sunnah bhw mereka menetapkan sifat Allah sebagaimana yg telah Dia tetapkan bagi diri-Nya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil… sebab pengaku pengikut asy’ariyah –padahal Imam Asy’ary berlepas diri dari mereka- telah terasuki fitnah ta’thil yakni menafikan sifat Allah baik dengan cara menolaknya secara terang-terangan maupun menakwilkannya kepada makna yg jauh menyimpang.
    Mungkin saja anda mencoba menukil pernyataan para ulama ahlu sunnah –bukan ulama jahmiyah ya- tentang ungkapan mereka terhadap sifat Allah bhw Allah tidak ada yg menyamai-Nya –padahal ahli sunnah yg anda gelar wahaby juga menetapkan hal itu- atau bantahan mereka kepada kaum musyabbibah akan anda plesetin seolah-olah ungkapan itu seperti yg anda fahami. Sebab pada hakikatnya mereka semua menetapkan aswa wa shifat Allah sebagaiman yg telah disebutkan dalam al-Qur`an dan sunnah. Dan kalau anda berani , menukilkan pernyataan ulama ahli sunnah, misalnya Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad, maka saya menuntut anda untuk membuktikan disini bhw mereka mengatakan bhw al-yad dengan qudrah dan ni’mah, atau istiwa dengan istilaa` atau dengan perkataan yg sharih dari mereka bhw mereka menafikan satau mentakwil ifat-sifat yg telah Allah tetapkan dalam Kitab-Nya dan sunnah yg shahihah!!!

    Sebab itu perlu juga anda ketahui, anda hanya menafsirkan perkataan ahli sunnah dg penakwilan anda sesuka hati anda dan tokoh-tokoh ahli kalam anda.
    Jadi harap disikapi secara objektif penetapan yg dilakukan ahli sunnah dalam sifat Allah.. jangan main potong saja ungkapan para ulama ahli sunnah, apalagi Syekh Ibnu Taimiyah, sebab telah menjadi kebiasaan beliau dalam menjelaskan sesuatu pasti beliau mendahuluinya dg atsar dan penjelasan para ulama sebelumnya….

    Adapun yg pasti, dari Nabi hingga seluruh ulama ahli sunnah telah menetapkan sifat-sifat bagi Allah ini tanpa merubah makna, meniadakan atau mempersoalkan bagaimananya, juga tanpa tasybih. Mungkin cukup saya nukilkan penjelasan dari al-Hafizh Ibnu Abd. al-Barr:

    أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود
    “Ahlu al-Sunnah telah bersepakat atas pengakuan (penetapan) sifat-sifat yg terdapat dalam al-Kitab dan al-Sunnah dan membawa (mengartikannya) dg hakikatnya, tidak dengan majaz; mereka tidaklah mentakyif apapun dari (sifat-sifat) itu. Dan adapun jahmiyah, mu’tazilah dan haruriyah, maka mreka semua mengingkarinya (sifat-sifat itu) dan tidak membawanya kepada makna yg hakiki. Sebab mereka beranggapan bhw siapa yg mengakuinya, maka ia telah menyerupakan Allah. Padahal mereka bagi orang yg menetapkannya adalah orang-orang yg menafikan al-Ma’buud (Yang Disembah).”

    Saya rasa perkataan al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dan ulama selainnya yg telah saya sebutkan telah cukup untuk menjelaskan aqidah ahli sunnah wa al-jama’ah dan kesalah fahaman orang-orang keliru yg merasa selamat dan mencela ulama ahli sunnah. Tapi kalau masih ada keraguan dipersilahkan untuk mengemukakan alasanya.

    Ok, sekarang akan saya nukilkan perkataannya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary dalam al-Ibaanah ‘An Ushuuliddiyaanah berkata: “Kepada Allah kita meminta petunjuk dan hanya kepada-Nya kita meminta kecukupan, tiada daya dan upaya melainkan dengan upaya Allah yg Maha Tinggi lagi Maha Agung, dan Dia-lah tempat meminta tolong, Amma ba’du

    MASALAH
    Jika seseorang bertanya kepada kita: “Apakah kalian mngatakan bhw Allah mempunyai wajah?”
    Dikatakan kepadanya, “Ya, kami berpendapat seperti itu dan bertentangan dengan pendapat kaum mubtadi’. Hal itu dapat dibuktikan dari firman-Nya:
    وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
    “dan yg tetap kekal Wajah Rabb-mu yg memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (al-Rahmaan: 27).

    MASALAH
    Mungkin mereka akan bertanya kepada kita:”Apakah kalian mengatakan bhw Allah itu mempunyai tangan?”
    Kami jawab: “Benar, kami berkeyakinan seperti itu dengan tidak menanyakan kaifiyatnya. Hal ini terbukti dengan firman-Nya:
    يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
    “Tangan Allah diatas tangan mereka” (al-Fath: 10)

    dan firman-Nya:
    لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
    “… Kepada yg telah Ku ciptakan dengan Kedua Tangan-Ku” (Shaad: 75).
    Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bhw beliau bersabda:
    إن الله مسع ظهر آدم بيده فاستخرج منه ذرينه
    “Sesungguhnya Allah telah mengusap punggung Adam dengan tangan-Nya,lalu mengeluarkan dari punggung tersebut anak-anak cucu beliau.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi dengan sanad yg munqathi’ (terputus) namun memiliki syawahid).

    Allah berfirman:
    بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
    “Bahkan tangan-Nya terbentang.” (al-Maidah: 64).

    Dalam sebuah riwayat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    كلتان يديه يمين
    “kedua tangan-Nya sebelah kanan” (HR. Muslim)

    Allah berfirman:
    لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ
    “Benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” (al-Haqqah: 45).

    Dalam bahasa arab dan urf dalam percakapan, tidak boleh seseorang berkata:
    عملتُ بيدي كذا ‘aku melakukan demikian ini dg tanganku’ dimana kata al-yad itu dimaknai dengan ‘nikmat’ (sehingga maknanya: aku melakukan demikian ini dengan nikmatku; maka tentu saja pemahanan ini jauh menyimpang –pen). Jika Allah berbicara dg org arab dg bhs yg dapat mereka fahami dan dapat dicerna dg akal mereka, berarti juga tidak boleh seseorang berbicara dg org-org arab tersebut dg mengatakan فعلتُ بيدي ,dimana kata al-yad diartikan dg nikmat.
    Barangsiapa yg memaksa kita berhujjah dg ilmu bahasa sementara ia tidak membawa hujjah dari ilmu bahasa, maka perkataannya yg mengartikan al-yad dengan nikmat adalah tertolak. Sebab tidak mungkin kata al-yad diartikan dengan nikmat kecuali dari sisi ilmu bahasa. Jika ia enggan menerima maknanya dari sisi bahasa, maka ia juga tidak boleh menafsirkan al-Qur`an dari sisi bahasa dan jangan menetapkan arti nikmat untuk kata al-yad dari sisi bahasa. Jika firman Allah بيدي dg nikmat (dg beranggapan bhw itu -pen) kesepakatan kaum muslimin, maka kaum muslimin tidak sepakat dalam hal ini. Dan apabila ditafsirkan dari segi bahasa, maka tidak ada dalam bhs arab seseorang mengatakan ‘dengan tanganku’ yg berarti ‘dengan nikmatku’. Jika ia mengambil cara yg ketiga, maka kita menanyainya tentang cara yg ketiga itu. Tentunya mereka tidak akan pernah mendapatkan cara yg ktiga itu.

    MASALAH
    Dikatakan kepada ahli bid’ah itu: “mengapa kalian mengatakan bhw firman Allah ‘بيدي ‘ kalian artikan dengan nikmat-Ku. Apakah kalian tetapkan ini dari ijma’ atau segi bahasa?”
    Mereka tidak akan menemukan dalil baik segi ijma’ maupun bahasa.
    Jika mereka mnjawab:”kami tetapkan dg qiyas”
    Dikatakan kepada mereka:”Qiyas manakan yg kalian temukan bhw firman-Nya ‘biyady’ hanya bermakna nikmat-Ku?”darimana akal dapat mengetahui bhw kata ‘biyady’ bermakna demikian? Padahal kita melihat Allah brfirman dalam Ktab-Nya yg agung, berbicara dg bhs nabi-Nya yg terpercaya.
    وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
    “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya” (Ibrahim:4).
    لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَـذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ
    “Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam , sedang Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” (al-Nahl: 103).
    إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً
    “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (al-Zukhruf: 3).
    أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
    “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mreka terkunci.” (Muhammad: 24)

    Jika al-Qur`an tidak berbahasa arab tentunya kita tidak dapat memperhatikannya dan jika kita tidak dengar, kita tidak dapat mengetahui maknanya. Jika seseorang tidak memahami bhs arab dg baik, tentunya ia juga tidak akan mampu memahami al-Qur`an dg baik. Orang-orang arab memahami maknanya karena mereka mengetahui bhsnya. Sebab al-Qur`an diturunkan dg bhs mereka, bukan dg bhs yg mereka katakana.

    MASALAH
    Terkadang ada yg berdalih:
    وَالسَّمَاء بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
    “Dan langit Kami bangun dengan tangan Kami” (al-Dzariyaat: 47).
    Mereka katakan: “tangan disini artinya adalah dengan kekuatan Kami. Oleh karena itu firman-Nya بيدي juga harus diartikan dengan qudrati (kekuasaan-Ku).”
    Dikatakan kepada mreka: “Ini adalah tafsiran batil ditinjau dari beberaoa sisi:
    1. Kata الأيد (al-ayd) bukanlah bentuk jama’ dari kata اليد , sebab jama’ dari kata اليد adalah الأيدى dan bentuk jama’ dari kata اليد yg diartikan nikmat adalah الياد , smentara firman Allah لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ . dengan demikian batallah mereka yg mengatakan firman-Nya بيدي bermakna بنيناها بأييد
    2. Jika yg dimaksud dalam ayat itu adalah kekuatan, tentu maknanya adalah kekuasaan. Dan ini membatalkan perkataan org yg menentang kita dan telah mematahkan madzhab mereka. Alasannya, satu kekuasaan saja enggan mereka tetapkan untuk Allah, bagaimana bila dua?
    3. Kalaulah Allah bermaksud dg firman-Nya لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ adalah qudrah (kekuasaan), berarti Adam tidak lebih istimewanya daripada iblis. Padahal Allah ingin memperlihatkan kepada iblis keutamaan Adam yg khusus Dia ciptakan dg tangan-Nya. Jika Allah menciptakan iblis dg tangan-Nya sebagaimana menciptakan Adam, berarti Adam tidak memiliki keistimewaan dan dihadapan Allah iblis akan beralasan: “Engkau ciptakan aku dg tangan-Mu sebagaimana Engkau ciptakan Adam.”

    Jika tatkala Allah ingin menunjukkan keutamaan Adam dan mencela kesombongan iblis yg enggan sujud kepada Adam, Allah berfirman:
    مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ
    “Apa yg menghalangimu untuk sujud kepada yg telah Aku ciptakan dg kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri?.” (shaad: 75).

    Hal ini membuktikan bhw makna ayat tersebut bukan qudrat. Sebab Allah menciptakan segala sesuatu dg qudrah-Nya. Sebenarnya Allag ingin menetapkan kedua tangan-Nya (dalam menciptakan Adam) yg tidak Dia lakukan ketika menciptakan iblis… dan seterusnya….

    Beliau juga berkata:
    “Dikatakan kepada mereka: “Mengapa kalian mengingkari bhw maksud dari firman Allah بيدي adalah tangan yg hakiki bukan dua nikmat?

    Jika mereka menjawab: “karena jika kata tsb tidak kami artikan dg nikmat maka artiya adalah anggota badan (dong –pen).”
    Dikatakan kepada mereka: “lalu mengapa kalian mengartikan seperti itu? Kalau tidak nikmat berarti tangan anggota badan?”
    Jika mereka beralasan dg apa yg senantiasa kita lihat atau dg apa yg ada diantara kita lantas berkata: “Makna tangan kalau bukan nikmat yg kita lihat berarti anggota badan.”
    Dikatakan kepada mereka: “Jika kalian beralasan dg apa yg kalian lihat lantas menetapkan terhadap Allah demikian juga halnya sifat hidup, kita tidak temukan kecuali pada sesuatu yg mempunyai jasad, daging dan darah. Apakah kalian juga akan menetapkan hal itu terhadap Allah? Jika tidak, maka kalian harus tinggalkan madzhab dan alas an kalian yg batil itu!”
    Jika dikatakan Allah hidup tidak seperti hidupnya kita, lalu mengapa kalian mengingkari bhw tanga yg diberitakan Allah tersebut adalah tangan yg tidak sama dengan tangan makhluk? bukan nikmat ataupun anggota badan.”
    Juga dikatakan kepada mereka: “kalian tidak temukan pengatur dan hakim kcuali manusia, lalu kalian tetapkan bhw didunia ada Sang Pengatur dan Hakim selain manusia. Penetapan kalian berarti sudah bertentangan dg apa yg kalian lihat dn sekaligus membatalkan alasan kalian sendiri. Oleh karena itu, janganlah kalian enggan menetapkan sifat tangan bagi Allah, bukan nikmat dan bukan pula anggota badan dg alasan sesuai dg apa yg dilihat.” ….

    Mungkin ada sebagian kita yang nyeletuk…buku ini mungkin ciptaan orang wahaby?
    Maka saya katakan ini buku made in Imam Abul Hasan Al-Asy’ary tulen,sebagai bukti saya sebutkan perkataan Abu al-Qasim Abd. al-Malik bin Isa bin Darbas al-Syafi’I dalam al-Dzabb ‘an Abi al-Hasan al-Asy’ary:

    “Wahai saudara-saudara! Ketahuilah bhw al-Ibaanah ‘an Ushuli al-Diyaanah adalah kitab yg ditulis oleh al-Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ary yg merupakan keyakinan beliau yg terakhir berkat karunia dan rahmat Allah. Buku ini mengandung kepercayaan beliau dalam agama Allah, setelah beliau bertaubat dari keyakinan mu’tazilah. Semua buku yg dinisbatkan kepada beliau bertentangan dengan yg beliau tulis setelah beliau bertaubat, maka beliau tidak lagi bertanggung jawab didepan Allah. Sebab dengan tegas beliau menyatakan bhw (kitab al-Ibaanah) ini mengungkapkan aqidah beliau dalam agama Allah. Beliau meriwayatkan dan menetapkan bhw kitab tersebut berisi keyakinan para sahabat, tabi’in, imam-imam hadits yg terdahulu dan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhum ajma’iin.
    Isi buku ini dapat dibuktikan kebenaranya dari Kitabullah dan sunanh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas, apakah patut dikatakan bhw beliau telah bertaubat dari al-Qur`an dan al-Sunnah? Lalu dari madzhab manakah beliau bertaubat? Bukankah meninggalkan madzhab al-Qur`an dan al-Sunnah bertentangan dengan ajaran yg dipegang oleh para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadis yg diridhai? Berarti jelaslah bhw beliau berada diatas madzhab mereka dan meriwayatkan dari mereka.
    Sungguh hal ini tidak pantas dilakukan oleh orang awam muslimin apalagi para pemimpin mereka. Atau apakah dikatakan bhw beliau jahil terhadap apa yg beliau nukil dari para salaf , padahal beliau telah menghabiskan usia untuk meneliti berbagai madzhab dan mengetahui berbagai jenis agama. Bagi org yg inshaf akan mengakui hal ini dan tidak akan berprasangka seperti itu kecuali seorang yg menyombongkan diri.”

    Demikian apa yang saya kemukakan semoga kita semua dapat petunjuk dari Allah.Dan saya mohon maaf jika ada kata2 saya yang menyakiti anda semua
    By ami NU TULEN

  30. @M.Abdullah Habib

    Saya heran dengan anda yang mengatakan:

    “Jawaban saya sebagaimana yang difirmankan oleh al-Quran surah al-Qiyamah ::
    وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)

    Tetapi yang perlu anda fahami bahwa masalah kehidupan akhirat, adalah kehidupan yang kita belum mengetahui secara keseluruhan kecuali sekedar gambaran-gambaran yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran. ”

    Saya tidak bertanya tentang ayat yang anda kutip,karena itu sudah jelas harus diimani,saya hanya menanyakan”KEYAKINAN ANDA APAKAH WAJAH ALLAH DILIHAT OLEH ORANG2 YANG BERIMAN atau tidak,apakah saya bertanya bagaimana wajah Allah???Ma’aadzallah bihaadzassu’aal

    Hal ini saya tanyakan untuk mengetahui siapakah anda sebenarnya.itu pertama,yang kedua:Saya juga tidak menanyakan bagaimana bentuk surga.itu cuma pertanyaan yang anda buat.

    ketiga :anda terus menerus menuduh wahhaby mujassimah,tapi anda tidak mendatangkan kata2 dari wahhaby yang anda tuduh mujassimah,berarti itu “tuduhan” anda belaka tanpa bukti.Anda berkata”silahkan rujuk kebuku2 wahhaby”Ana lihat tidak ada kata 2 ulama wahhaby yang anda tuduhkan.Atau mungkin karena ketidak fahaman anda seperti abu salafy,sehingga main tuduh tanpa bukti.Ana katakan pada anda”datangkan perkataan yang anda maksud” biar kita diskusikan disini,nanti terlihat apa betul tuduhan anda….

    Anda tahu apa itu mujassimah???apa konsekwensinya mujassimah???K A F I R. Berhati2lah dengan tuduhan anda,jangan2 tuduhan itu berbalik kediri anda sendiri.renungkanlah itu!!!!!! Saya bertanya kepada anda, kalau betul wahaby itu mujassimah….kenapa jama’ah haji kita dan juga jama’ah2 haji negara2 lain tidak mufaaraqah(berpisah dengan imam),ketika sholat dimasjidilharam atau masjid nabawy….bukankan imamnya ulama wahaby yang anda tuduh mujassimah yang berarti kafir.Lantas apakah sah shalat seseorang kalou imamnya orang kafir….berarti mujassimah itu hanya tuduhan anda belaka….

    Ana betul2 tidak menyangka sikap suu’ul adab anda terhadap buku Ulama,dengan melempar buku tersebut ketempat sampah,dan anda mengatakan saya bertobat dari wahaby….Astaghfirullah…Sadarkah anda kalau didalam buku itu ada lafaz Allah atau ayat2 quran,hadits2 nabi,Sadarkah anda bahwa penulis buku itu juga orang Islam,dia sholat,puasa,zakat, hajji,mengucapkan 2 kalimat syahadat,walaupun dia (dimata anda) bersalah,,,,,,

    Terus terang saya ini orang NU,namun sedikit berfaham wahaby yang anda tuduh mujassimah,tapi saya tidak menganggap kitab2 kuning asy’ariyyah yang saya pelajari dulu sebagai barang sesat,saya masih memajang dilemari saya,saya masi bolak-balik itu buku,terkadang kalau lagi mau baca,saya baca dulu fatehah untuk pengarangnya,saya tetap menghormati kyai2 saya,saya cium tangan beliau,kalau lagi selamatan,saya datang.Kalo lagi kenduri kematian saya datang,bukan berarti saya membenarkan acara tersebut,namun semata2 untuk nyambung tali silaturrahmi.Saya tetap merasa sebagai bagian dari NU bukan orang lain.Walaupun saya berfaham wahaby saya tidak merasa TOBAT DARI NU…seperti anda katakan TOBAT DARI WAHHABY.
    Disinilah letak kedewasaan kita dalam berselisih pendapat.

    Renungkanlah ucapan saya….

  31. Terima kasih atas tanggapan anda, dan nampaknya semakin jelas siapa anda dan sampai seberapa pemahaman anda dalam agama ini.

    Anda katakan bahwa anda orang NU, nunut urip mungkin maksud andan. Anda katakan pula bahwa anda tidak menganggap salah buku-buku asy’ari tetapi anda juga menerima faham wahhaby. Bagaimana kalau nt sholat dibelakang Kiyahi NU yang oleh wahhaby dianggap kafir karena Ulama NU melakukan Tawassul, Tabarruk ( Lihat Kasyfu el-Syubuhat dan kitab Tauhid dan al-Qi’idah al-wasithoh). Anda tidak bertobat dari NU tetapi anda menerima Wahhabi, sungguh lur biasa kebodohan anda, apakah mungkin di hati anda ada dua kiyakinan yang saling berseberangan, bisakah anda mengumpulkan kekafiran serta kesyirikan dengan tauhid dalam waktu yang sama ? Entah kalau anda menganggap bahwa agama adalah hal yang tak berharga yang penting silaturrahmi.

    Aku khawatir kalau anda tetap seperti iini waktu anda meninggal nanti anda belum bisa menentukan pilihan dalam beraqidah dan ini merupakan kegagalan anda dalam menempuh hidup ini.

    Anda orang dzabdzabah yang tidak layak mengajak orang, Anda tidak punya keyakinan bagaimana anda bisa meyakinkan orang ?

    Saran saya kepada anda, Belajalahr terus sampai anda dapat menentukan jalan pilihan anda jangan biarkan diri anda berada dalam keompok mudzabdzabin sampai malaikat maut menjemput anda.

    Semoga Allah membimbing Anda !

  32. @ ber abeh

    Benar ucapan anda bahwa yang dapat menerima kekuasaan Allah adalah orang yang dihatinya penuh kasih sayang, apa lagi terhadap sesama kaum yang beriman.

    Nah kalau itu yang anda mau, tinggalkan wahhabi larilah dari madzhab liar ini yang di otaknya hanya berisi kebencian dan selalu menaburkan bibit-bibit permusuhan. Larilah dari wahhaby seperti anda lari dari kejaran serigala liar.

    Yok lari bersama-sama !

  33. mas-mas sampean sangat-sangat fanatiknya sama kiai sampaean ana yakin kalo si kiai nyuruh sampean sholat dengan satu kaki niscaya sampean bakal manut-manut dan bilang “enggeh-enggeh” atau pak kiai ya, ya,!! dan ga bakal sampean nanya apa dalilnya pak kiai???

    la wong si kiai ini ibarat orang yang sudah pasti masuk surga jadi sampean manut we lah!!!

    Abu Salafy:

    Berorasi bak orang kerasukan roh suci Ben Baz tidak akan merubah apapun dari hakikat kesesatan yang sesat!
    Saya yakin bahwa kaum Wahhabi selalu menegtahui dengan detail dalil setiap ajarannya, sebab semua anggota Wahabiyah adalah para mujtahid agung! Contohnya adalah Ben Baz! Emir Bandar!

  34. mas abu!!

    maen ke maktabah saya yuk, disana ada ribuan kitab kalo perlu ana undang secara khusus trus kita bahas sama-sama???

    mau gak???

    trus ente juga kerasukan roh suci gus kiai ente tuh!!

    buktinya para ulama sekelas abdullah bin al-mubarak rahimahullah ente bantah habis-habisan.

    salut…
    salut…

    hebat….
    hebat….


    Abu Salafy:

    mas Abu Abdurrahman, saya berharap buku sebanyak itu tidak hany jadi pajangan saja. dibaca juga biar luas ilmunya… Imam Ahmad (yang diaku kaum Wahhabi/Salafi sebagai imam mereka) berkata begini:
    Imam Ahmad pernah ditanya satu masalah lalu beliau berfatwa dengan fatwa tertentu, kemudian ada yang berkata, Ibnu Mubarak berkata lain dengan fatwa Anda! Maka Imam Ahmad berkata:
    ابن المبارك لَم ينزِل مِن السماء!
    Ibnu Mubarak tidak turun dari langit!

    Apa itu artinya mas?! Imam Anda aja begitu sikapnya!!

  35. Jika data dan info tentang kebejatan para tokoh saudi benar adanya, maka:
    1. Harus menjadi keprihatinan besar seluruh masyarakat muslim dunia, dan menjadikan ini sebagai agenda untuk dipecahkan,
    2. Perlu dicermati apakah tokoh2 saudi yang sekarang masih seperti itu, atau sudah banyak yang sadar, dan diam-diam melakukan usaha-usaha perubahan.
    3. Tanah suci, peninggalan tokoh kaum muslimin, dan segala kekayaan dari tanah suci adalah hak kaum muslimin seluruh dunia, tolong ini menjadi agenda kita semua untuk dipikirkan agar kembali bermanfaat bagi kaum muslimin.
    4.Revolusi frontal sy kira bukan jalan terbaik, ongkosnya perpecahan dan peperangan antara kaum muslimin,
    5. Jalan paling bisa adalah merembes masuk ke sistem saudi, menyadarkan para petinggi saudi, agar sadar dan diam-diam melakukan perubahan yang signifikan.
    6. Ingat musuh sesungguhnya adalah yahudi dan nasrani (kristen/katolik), jadi jangan sampai usaha2 perbaikan justru menguntungkan mereka.
    7. Para pemuda: ambillah dana sebanyak-banyaknya dari saudi, tapi jangan ikuti madzab/pemikiran yang digunakan untuk memecah belah dan melemahkan kaum muslimin sendiri yang mungkin sekarang sedang dipakai musuh2 islam di saudi.
    8. Para pemuda: Alangkah menjijikan, sangat menjijikan, jika kalian tahu persis bahwa kegiatan dakwah kalian sesungguhnya bukan untuk memurnikan ajaran islam,– tapi untuk memecah belah kaum muslimin, menciptakan mental jumud, merusak citra, dan membuat banyak pihak kehilangan simpati pada islam–tapi kalian ikuti dan sebarkan hanya karena kalian di jamin kehidupannya, diberi dana besar, diangkat status sosial dan derajat kalian, d engan setetes dana, yang barankali sisa dana main perempuan, judi,dan foya-foya.
    9 . Para pemuda: Tegakkan tauhid, hancurkan syirik dan bid’ah. Tapi kalian juga jangan tolol bin blo’on, sehingga tidak bisa membedakan mana gerakan/pemikiran yang murni memurnikan aqidah dan mana yang sudah dibiaskan untuk mengacak-acak kaum muslimin…..

    Leave a Reply

  36. Syukron buat M.Abdullah Habib atas penjelasannya.
    kesimpulan ana bahwa salafussalih tidak ada penjelasan mengenai ayat2 yang didiskusikan, dan salaf ( tmsk imam malik) juga hanya membuat pernyataan tsb hanya untuk mentanzihkan ALLAh, SWT. Ana mau tanya bagaimana menurut akhi tentang kitab al ibanah nya imam Asy’ ari (isi dan orisinilitasnya)?. buat mas abu abdurrahman kok nuduh orang fanatik ma kyai, kalo wahhabi fanatik ma imam mereka kan sama ( cuma mereka dipanggil syekh saja bukan kyai).
    Kalau bs jangan bawa ormas NU, HTI, PKS, MD,IM atau apa pun. Kita sedang diskusi kegamaan. Gak dewasa menurut Ana malah. Asy ariyah n Ibn Taimiyah hidup lama sebelum ormas itu ada. Bedakan khilafiyah agama dengan keormasan. bagi yang ngaku2 dulu NU atau dulunya wahhabi itu hak ente2, tapi berbohong untuk menarik simpati juga BERDOSA yang akan mengantar ke neraka. bagaimana mau liat wajah ALLAH SWT di Neraka?

  37. Saya sangat HERAN orang masih mengaggap pusat Islam di SAUDI lalu ada yg mengajak baca buku2 disana. Coba baca Sejarah atau Alqur’an mengapa Rasulullah turun disana. Dan sekarang mereka (tdk semua lho hanya mereka yg menganut mazhab Wahabi) sdh kembali pd zaman sblm Rasul. Kita msh menghormati tempatnya krn ada Ka’bah dgn Masjidil Haram serta Mesjid Rasul di Madinah. Dan melaksanakan perintah Allah (HAJI) klu tdk Saudi tdk ada arti apa2 utk umat Islam

  38. @ Abu Abdur rahman

    Kawan, saya ikut senang kalau anda mempunyai maktabah yang berisikan ribuan kitab. Tetapi sebenarnya yang lebih penting bagi anda adalah memahami kitab-kitab yang ada pada maktabah anda itu. Maktabah yang syamilah tentu saja bukan hanya disandarkan pada jumlah kitab yang ada, tetapi pada keberagaman penulis dari berbagai madzhab yang ada.

    Al-hamdulillah saya pribadi juga mempunyai maktabah baik yang berupa kitab manual maupun kitab electronic yang mungkin lebih besar dari maktabah anda – anda katakan ribuan kitab – sementara maktabah saya lebih dari itu.

    Andaikata anda mau membaca kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama islam, anda akan tahu bahwa kitab yang paling mudah menganggap sesat bahkan menghalalkan darah umat islam lain adalah kitab-kitab wahhabiyah.

    Saya memaklumi adanya perbedaan pendapat antara ulama islam bahkan sahabat nabi satu dengan yang lainpun sering terjadi perbedaan.. Yang menjadi permaslahan bagi kita adalah munculnya kelompok yang senang memperuncing perbedaan dan menggap kelompok lain adalah kafir dan musrik, kelompok ini -kalau anda mau membaca kitab-kitab anda- tidak lain adalah kaum wahhaby.

    Saya pernah diundang dialog di sebuah pesantren ketika pesantren tsb menyelenggarakan dauroh dan mendatangkan ustadz wahhaby lulusan Madinah, tetapi dialog itu tanpa membuahkan hasil karena dari kawan yang wahhaby itu lebih taqlid dengan kitab-kitab yang dia baca (kitab-kitab wahhaby) ketimbang menggunakan akal sehatnya untuk mengkaji dan memahami serta membanding mana yang lebih kuat dalilnya.

    Saran saya kepada anda, baca terus kitab-kitab anda sampai anda menemukan kesimpulan “Faham wahhaby memang harus ditinggalkan”

  39. mas mas

    kalo baca jangan kitab asya’irah doang tapi baca juga:
    ar-Risalah dan al-umm imam syafi”i, ar-raddu ala jahmiyah imam ad-darimi, sayarah ushul i’tiqad ahlus sunnah imam al-lalika-i, asy-syari’ah imam al al-ajurri, raddu ad-darimi ala bisyr al marisi, ibthaalat ta’wilat li-akhbarish shifat imam al-qadhi abu ya’la, kitabus sunnah imam abdillah bin imam ahmad bin hanbal,

    biar ente ga taklid ama gus kiai ente!!!!

    Abu Salafy:

    Kami sangat terbuka dan siap membaca bahkan buku-buku kaum Mujassim sekalipun seperti yang sebagiannya Anda sebut di atas. Syukran atas nasihatnya.

  40. @Abu Abdurrahman

    Alangkah indahnya hasil mutholaah dan studi ente tentang kitab-kitab yang ente sebut itu, langsung saja ente diskusikan dengan abu salafy. biar kita tahu itu kitab ente fahami benar atau sekedar buat pajangan !!

    Saya siap mengikuti diskusi ilmiah anda dengan abu salafy dan lainnya. untuk membuktikan mana yang lebih shohih dan kuat argumen dan dalilnya, dalil ente (hasil baca kitab-kitab setumpuk itu) atau abu salafy dan orang lain. Tapi jangan caci-maki lho! sebagaimana kebiasaan kaum wahhabi menghadapi lawannya

    Gimana Gus Abu Abdur….. setuju?

  41. Memang aneh, membuka aib, mengumpat, memfitnah, mencela, meng…. Udah pd merasa cukup amalny? Oh ya kalo di kakbah ga ada di arab kita pindah aja pergi haji di lirboyo. Yg mimpin kyai2 sana. Kalo mslh wajah allah ada tuh di kitab ashabul hadis kry imam attamimi lengkap dgn bhsany.

  42. @ami, benthaleb, abu’abdurrahman
    Wahhabi memahami ayat-ayat mutasyabihat (Allah punya tangan, wajah, jari dll) dengan tafsir harfiah (tekstual) tanpa ta’wil, ta’thil dll. Itu yg dapat saya fahami dari pernyataan-pernyataan di forum dialog web ini. Bahkan yg mentakwil sesat. Namun demikian, ketika sampai pada ayat ..kullu syaiin halikun illa wajhahu, belum dijawab bagaimana nasib tangan jari Allah dll. Artinya ada ketidakkonesistenan jika ayat-ayat mutasyabihat dipahami secara tekstual. Bagaimana ini?
    Perkataan Imam Malik rahimahullah, yg terjemahannya istiwa’ adalah ma’lum, selalu dijadikan sandaran untuk memperkuat pemahaman wahhabi, bahwa ayat-ayat tasybih tersebut harus difahami secara harfiah. Namun, menurut saya tidak bisa demikian, karena justru pernyataan Imam Malik tsb menunjukkan kehati-hatian beliau terkait dengan ayat-ayat tasybih. Beliau tidak menafsirkan ayat-ayat tersebut dan hanya mengucapkan seperti dikutip. Tafsir yg hati2 biasanya hanya menuliskan tafsir istiwa ‘alal ‘arsy dengan beristiwa sesuai dengan kemuliaan Allah, tidak ditafsir dengan jalasa (duduk) sebagaimana sering dilakukan oleh ulama-ulama wahhabi. Jadi, sangat berbeda kedua hal tsb. Karena duduk jelas punya pengertian meletakkan pantat ke alas duduk (lantai, kursi, ‘arsy dll). Hal inilah yg sering dikatakan sebagai tajsim, baik cara duduknya sama dengan makhluk atau tidak hal itu tidak menjadi penting. Karena arti duduk ya seperti dalam bhs sehari-hari yaitu meletakkan pantat, bukan kepala, bukan kaki, bukan pipi dst.

  43. @Abu Abdurrahman

    Saya semakin heran sama nt, boleh nt menganggap sebagai orang yang paling banyak membaca buku, tapi sayang nt tidak bisa memahami tulisan, jangankan yang berbahasa Arab yang berbahasa Indonesia saja nt salah membuat kesimpulan.

    Buktinya ? ketika ada orang menyanggah tulisan Ibn Abdil wahhab, nt mengatakan : ” mas mas
    kalo baca jangan kitab asya’irah doang tapi baca juga:
    ar-Risalah dan al-umm imam syafi”i, ar-raddu ala jahmiyah imam ad-darimi, sayarah ushul i’tiqad ahlus sunnah imam al-lalika-i, asy-syari’ah imam al al-ajurri, raddu ad-darimi ala bisyr al marisi, ibthaalat ta’wilat li-akhbarish shifat imam al-qadhi abu ya’la, kitabus sunnah imam abdillah bin imam ahmad bin hanbal, biar ente ga taklid ama gus kiai ente!!!! ”

    Kalau memang nt bisa memahami tulisan, nt akan faham bahwa yang membantah tulisan ibn abdil wahhab adalah orang yang pernah membaca tulisan dia (ibn abdil wahhab). jadi bukan hanya membaca tulisan Asy’ari saja. Jadi nt tujukan kepada siapa ketika nt berkata ” ” mas mas
    kalo baca jangan kitab asya’irah doang ”

    Belajar trus kang biar lebih pinter n bener.

    makhashih yha !

  44. baru masuk blog ini, liat komen-komen wahabi bikin aku terpingkal-pingkal. apalagi yang namanya BENTHOLEB gouoooooooooblok kok kebangetan.

    maju terus bentholeb biar tambah lucu yang baca liat kekogoblokan en kedunguan ente

    he…he…he…he…….

  45. @aidil

    Menurut Asy’ariy, Istiwa’ alal arsy , dimaknai dengan istaula (menguasai), pendapat ini diikuti pula oleh al-Ghozaly dan beberapa Ulama’ mutaakhkhirin.

    Asyary dalam mentakwilkan ayat tersebut meyakini bahwa takwil dalam hal ini tidak keluar dari kebiasaan penggunaan bahasa arab. Sastrwan arab berkata :

    قد استوى بشر على العراق … من غير سيف ودم مهراق

    Kata istawa pada syair di atas mempunyai makna (menguasai).

    Hal ini yang menjadikan ulama yang tidak sependapat dengannya (wahhaby) menuduh bahwa asy’ary telah melakukan penyimpangan (inhirof) dalam mengartikan quran. Saya pernah mendengar dari ustadz wahhaby yang mengatakan :”penafsiran dengan menambah huruf “L” pada istawa sama seperti orang yahudi menambah “N” pada kata “Khiththoh” dlm surah al-baqarah.

    Saya telah mencoba membaca literatur ulama awal, saya tidak mendapati penjelasan dari mereka yang mengharuskan lafal istawa diartikan secara harfiyah.
    Kedatangan mazhab wahhaby memaksakan ayat tsb untuk di artikan sesuai lafal dan menganggap yang mentakwilkannya adalah orang yang sesat.

    Untuk kesimpulan saya, bahwa yang memahami secara harfiyah atau dengan takwil semua tidak ada pendukung dari dalil naqly yang kuat, semua hanya dari hasil kemampuan dan kecenderungan masing-masing dalam memahami nash.

    Ketidak setujuan saya dengan wahhaby, bukan pada pemikiran mereka, tetapi pada “pengkafiran (menuduh kafir) terhadap orang yang berbeda berfikirnya.dengan mereka itu.

    Kalau anda membaca tulisan kawan-kawan wahhaby di atas, anda akan tahu ketidak tepatan apa yang mereka tuduhkan bahwa yang memahami secara takwil adalah orang-orang yang taklid dngan kiyai sementara yang berani mengartikan apa adanya menurut lafal (harfiyah) adalah orang yang berilmu dan tidak taklid.

    Jadi mengukur ilmu orang sangat mudah kalau menggunakan cara wahhaby, gak perlu sekolah tinggi, banyak baca buku dll, cukup yakini Allah di langit, Allah punya wajah, tangan kaki dan Ia duduk di atas Arsy, langsung jadi orang ‘Alim yang tidak taklid.

    Kalau orang mau jujur menilai, sebenarnya dua-duanya sama taklidnya, karena kedua penafsiran itu sudah ditafsirkan oleh orang sebelum kita ini, bisanya keluar dari taklid kalau ada yang menafsirkan dengan cara ketiga yang belum pernah dilakukan oleh orang sebelum kita namun nampaknya memang tidak mungkin.

    Coba kita renungkan dengan fikiran jernih, layakkah seorang muslim menganggap saudaranya sesat dan kafir hanya karena mentakwilkan ayat tersebut ?

    Kalau anda jawab “tidak” berarti anda tidak sependapat dengan Wahhaby seperti halnya saya.

  46. @abuayin

    menarik pernyataan anda yang mengatakan:

    ………..Namun demikian, ketika sampai pada ayat ..kullu syaiin halikun illa wajhahu, belum dijawab bagaimana nasib tangan jari Allah dll. Artinya ada ketidakkonesistenan jika ayat-ayat mutasyabihat dipahami secara tekstual. Bagaimana ini?

    mas abuayin saya pikir wahabi memang tidak konsisiten terhadap ayat-ayat atau nash-nash yang berseberangan dengan akidah mereka, karenanya saya yakin mereka tidak akan menjawab pertanyaan anda tentang ayat: “kullu syaiin halikun illa wajhahu”

    karenanya saya juga penasaran menunggu-nunggu jawaban dan takwil-takwil mereka tentang ayat itu.

    ayo wahabi jawab dong!

  47. @ami,

    ….soalnya ana sdh pengalaman ngaji duduk 4 tahun sama syaikh salafy…

    Sdr ami, pengalaman ngaji 4 tahun itu tidak cukup, apalagi anda hanya mengaji dengan satu guru. Ilmu itu tidak akan pernah cukup dengan 4 tahun dan pada satu guru (syaikh salafy saja), coba anda belajar lintas pemahaman/madzhab/aliran, pasti anda akan tahu kebenaran yang sesungguhnya. Mau? jangan bertaqlid buta, cari ilmu dimana saja, dengan siapa saja. 4 TAHUN TIDAK CUKUP….jangan berpuas gitu aaahhh, pamali euy, yuk mari HAIL !!!

  48. @ami
    ha…ha…ha…ha…Abu Salafy yang tidak salaf ini ternyata lebih parah dari binatang,coba kita lihat….binatang itu walaupun tidak punya akal tapi dia bisa diajarin duduk,bermain teratur,berbaris dll.

    Kelihatan kan ? 4 tahun tidak cukup bratha’, akhlak anda saja dalam berdiskusi tidak dijaga. Tidak santun berdiskusi sambil mencaci binatang, geblek…….inikah akhlak sejati salafy, malu ah , kita belajar akhlak dulu, bukan berarti akhlak saya baik, tapi saya sedang menuju ke situ. Perbaiki cara berdiskusi anda yang suka mencaci. Maaf y, yuk mari…..HAIL

  49. @aidil

    Mas, yang anda tanyakan tentang apa yang ada dalam “al-Ibanah” dalam menafsirkan kata “Istiwa” , nampaknya lebih sesuai dengan pandangan wahhaby, tetapi saya kurang yakin kalau al-ibanah itu benar-benar tulisan beliau Asy’ary.

    Siapapun yang menulis -baik itu orang wahhaby yang mengatasnamakan Asy’ary, atau benar-benar tulisan Asy-‘ary- dalam hal ini saya tetap sulit untuk menerima. Penafsiran secara harfiyah sangat dekat hubungannya dengan tasybih, sedangkan sebagaimana yang Allah firmankan bahwa Allah berbeda dg makhlukNya.

  50. Assalamu’alaikum

    Diskusi yang sangat menarik. Saya mengharapkan tidak dibumbui dengan emosi, ejekan dsb.

    Bolehkah jika makna istiwa itu diartikan “bersemayam” ?
    sebab ada perbedaan makna (dalam bahasa Indonesia tentunya) antara “bersemayam” dengan “duduk”.

    Yaa Allah, persatukanlah hati kamu semua yg “hadir” di sini…

    NB : Saya haqqul yaqin, semua disini adalah bersaudara dalam Islam… meyakini tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya !

  51. as .wr.wb
    saya juga melihat adanya kontradiksi dalam alqur’an akibat tidak boleh menakwil. sebenarnya sudah saya tulis dalam komentar pada artikel yang lain. namun karena ga ada tanggapan dari pihak wahabi, saya pikir ada baiknya saya tulis lagi di sini (mudah-mudahan anggapan saya yang bisa jadi salah bisa diluruskan):
    1. Allah duduk di atas ‘arsy berarti Allah butuh/ bergantung pada ‘arsy sementara ayat lain mengatakan bahwa kepada Allah segala sesuatu bergantung.
    2. Keyakinan ttg Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. menunjukkan bahwa Allah sampai ke langit dunia yang merupakan bagian paling bawah dari keseluruhan langit yang berlapis-lapis. betapa besarnya langit dibanding Allah yang Maha Besar. lagi pula waktu malam di seluruh penjuru dunia tidak sama sehingga Allah terkesan naik turun setiap waktu. Bukankah ada ayat yang mengatakan ” kemanapun kalian berpaling maka akan kalian jumpai wajah Allah” sehingga terkesan Allah suatu dzat yang besar kepala dan yang naik turun itu berarti cuma anggota badan-Nya saja karena wajah ada di mana-mana sehingga wajah-nya tidak perlu untuk bergerak

  52. @D10

    Yaa Allah, persatukanlah hati kamu semua yg “hadir” di sini…

    Kan udah disebutin ga bisa di AQ?

    ……Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Al-Maidah: 48)

    Salam

  53. saudaraku
    ketahuilah bahwasanya akal kalian tidak akan sanggup untuk menemukan Allah meski kalian ilmunya setinggi langit siapapun kalian karena Allah tidak dapat dilihat oleh mata,dijangkau dengan akal,Allah berbeda dengan mahluknya.Andai saja saya bisa memberikan hidayah pertolongan kepada kalian semuanya niscaya akan aku tunjukan jalan menuju HAKIKAT MA’RIFATULLAH,karena darisanalah kalian akan mengetahui Inti dari Dzat Ilahiyah yang sebenarnya. silahkan pikirkan jangkau dengan akal kalian apa yang dinamakan NURULLAH dan NurMuhammad apakah kalian sudah paham dengan makna tersebut.kalau belum paham silahkan cari sampai keujung dunia.laksana angin tidak terlihat tetapi bisa dirasakan.
    kalau ada yang mau komplen atau sharing atau mau bertanya silahkan lewat email ke : adanrama@yahoo.co.id

  54. Mau bedanya jauh atau dekat, namanya merubah2 kitab orang tanpa izin ya sama aja namanya KRIMINAL.
    apa bedanya dgn PERAMPOK?

  55. Hadeehhh…. Kaum Mujassimah memang nggk bakalan mengakui bhwa dirinya Mujassimah…

Tinggalkan Balasan ke ami Batalkan balasan