Kaum Salaf Mena’wil Ayat-ayat/Hadis-hadis Shifat

Melanjutkan pembuktian yang telah kami beber pada dua artikel beberapa waktu lalu: Benarkah Wahhabiyah Pewaris Sejati Mazhab Salaf (1-2)… di sini kami akan tambahkan bukti-bukti lain bahwa kaum Salaf (generasi awal, kedua dan ketiga Umat Islam) dalam menyikapi teks-teks keagamaan yang dikelompokkan kaum Mujassimah dan Musyabbihah sebagai ayat-ayat atau hadis-hadis shitaf, mereka melakukan ta’wîl….

Sebelumnya bagaiama telah And abaca Ibnu Abbas ra. Mena’wil beberapa “ayat shifat”… dan itu adalah bukti nyata bagaimana para shabatan mulia mena’wilkan ayat-ayat tersebut…. Tidak seperti yang diklaim kaum Mujassimah, bahwa mereka memaknainya dengan makna dangkal yang mentajsim dan mentasybihkan Allah dengan makhluk-Nya. Maha suci Allah dari pensifatan kaum jahil.

Imam Ahmad Mena’wil

(1) Al Hafidz al Baihaqi dalam kitabnya Manâqib al Imâm asy Syafi’i seperti dinukil Ibnu Katsir dalam al Bidâyah wa an Nihâyah-nya,10/327:

“Al Baihaqi meriwayatkan dari Hakim dari Abu ‘Amr ibn Sammâk dari Hanbal bahwa Ahmad ibn Hanbal mena’wilkan ayat:

و جاء رَبُّكَ

“Dan datanglah Tuhamu”

dengan ta’wilan:

جاء ثوابُهُ

“Datang pahala-Nya.”

Setelahnya Ibnu Katsir berkomentar:

و هذا إسنادٌ لا غبارَ عليهِ

“Ini adalah sanad yang tidak ada debu atasnya/bersih.”

Ibnu Katsir juga berkata dalam kitab tersebut di atas,10/327:

و كلامُه (أحمد) في نفْيِ التشبِيه و تركِ الخوضِ في الكلامِ و التمسُّكِ بما وردَ في الكتابِ و السُّنَّةِ عن النبي (ص) و عن أصحابهِ.

“Dan perkataannya (Ahmad) tentang menafikan penyerupaan dan meninggalkan mendalami pembicaraan (tentangnya) serta berpegang dengan apa yang datang dalam al Kitab dan Sunna dari Nabi saw. Dan (atsar) dari para sahabat.”

Jadi jelas sekali bahwa Imam Ahmad (rh) menetang keras tasybîh/penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya seperti yang diyakini kaum Mujassimah dan Musyabbihah. Walaupun setelah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya ditutup dengan kata-kata: ‘tidak seperti turunnya makhluk’ misalnya!

(2) Al Khallâl (seorang ulama’ mujassim yang sering dibanggakan kaum Wahhabi) meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Hanbal bahwa ia mendengar pamannya; Imam Ahmad ibn Hanbal berkata, “Mereka berhujjah atasku ketika berdiskusi dengan hadis, ‘Akan dating pada hari kiamat surah al Baqarah…. ‘, lalu Imam Ahmad berkata:

فقلتُ لهُم: إنَّما هو الثوابُ.

“Yang datang itu pahala (membaca)nya.”

Coba renungkan, wahai saudaraku –hadakallah ila al haqqil mubîn-, bukankah apa yang dilakukan Imam Ahmad itu mena’wil?!

Selain dua contoh di atas masih banyak cointoh lainnya.

Imam Bukhari Mena’wil

Al Hafidz al Baihaqi menukil dalam kitab al Asm^a’ wa ash Shifât-nya:480 dari al Bukhari bahwa beliau berkata:

معنى الضحك: الرحمةُ

“Arti dhahik (tertawa) (yang disandarkan kepada Allah) adalah rahmat.”

Dalam kesempatan lain:298 al Baihaqi juga menukil dari al farbari dari Muhammad ibn Ismail al Bukhari (rh) bahwa beliau berkata:

معنى الضحك –أي فب الحديث- : الرحمةُ

“Arti dhahik (tertawa) -dalam hadis itu- (yang disandarkan kepada Allah) adalah rahmat.”

Ibnu Hajar telah menukil ta’wil ini dalam Fathu al Bâri-nya.

Hadis dhahik yang dimaksud adalah riwayat Imam Bukhari dan lainnya dari sahabat Abu Hurairah ra. Yang berbunyi:

يَضْحَكُ اللهُ مِن رَجُلين يَقتُلُ أحدُهما الآخَرَ يدخُلانِ الجَنَّةَ.

“Allah tertawa dari dua orang yang satu membunuh yang lainnya, (lalu) keduanya masuk surga.” (HR. Bukhari, Muslim, an Nasa’i, dan Imam Malik dalam Muwaththa’)

Hadis serupa juga terdapat dalam Afrâd Imam Muslim, 1/175 hadis no.310.

Secara bahasa arti dhahika adalah tertawa. Dhahika yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut. Dan tentunya makna ini mustahil atas Allah SWT.

Seperti telah And abaca, Imam Bukhari mena’wilkan kata dhahika tesebut dengan arti rahmat. Demikian juga para ulama Ahlusunnah, sepeti Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim. Ia berkata:

و قد قَدَّمنا معنى الضحك من الله تعالى ، وهو الرضا والرحمة و إرادة الخير لِمَن يشاء رحمتَهُ عن عبادِهِ.

“Dan telah kami sebutkan makna dhahikanya Allah –Ta’ala- yaitu merelaan, rahmat dan kehendak kebaikan bagi hamba yang dikehendaki kebaikan baginya.” (Syarah Muslim,3/43)

Ibnu al Jauzi juga berkata:

“Dan sekelompok ulama telah mena’wilkannya. Al Khaththâbi berkata:

معنى ضحك الجبار عز وجل (المراد به) الرضى و حسنُ الْمجازاةِ.

‘Makna tertawanya al Jabbâr (Allah) –Azza wa Jalla- adalah kerelaan dan kebaikan balasan.’” (Daf’u Subah at Tasybîh:180)

Adapun kaum Mujassimah, seperti Qadgi Abu Ya’lâ memaknai kata tertawa dengan apa adanya, sesuai dengan dzahir kata tersebut tanpa mena’wil…. Denga satu alas an yang lugu dan membuktikan keawaman peyakinnya, yaitu karena kata tersebut telah dipergunakan dalam hadis atau Al Qur’an!

Apakah Anda meragukan bahwa Imam Bukhari termasuk aimmah Salaf (imam generasi Salaf)?!

Apa Anda meragukan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk pembesar imam-imam generasi Salaf?

Tidakkah mereka semua mena’wil?

Bukankah mereka memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim denga ta’wil yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah SWT.?!

Jadi dimana Anda dapat menemukan akar aliran yang sementara ini Anda yakini wahai saudaraku Mujassim dan Musyabbih?

(Bersambung)

17 Tanggapan

  1. Yang dibantah imam ahmad itu adalah tasybih yang dilakukan golongan jahmi, bukannya bagi orang yang memaknai ama’ dan sifat allah seperti apa adanya. nt iini sering ngawur dan bikin takwilan seenaknya. coba nt rujuk lagi riwayat penolakan imam ahamd tadi? jangan dipotong2 kaya istidlalnya rafidhah.

    _________
    Abu Salafy

    Akhi mas inul benthaleb, menurut Anda jahmi itu apa sih? Kok kelihatannya omongan Anda ini aneh?
    ya akhi, apa yang saya sebutkan itu bukan bukti bahwa kaum Salaf itu mena’wil ayat-ayat ‘Shifat’ Lalu mengapa kaum Wahhabiyah tidak mena’wilkannya, padahal mereka itu mengaku pengikut Salaf?!

    Akhi benthaleb saya harap Anda tunduk kepada kebenaran dan bukti al haq! Jangan seperti kaum yahudi setelah kebenaran datang kepada mereka, mereka ingkar… nanti orang makin curiga kaum benthaleb itu bukan Arab tapi dzurriyah Simon! Jangan akhi!!! Saya khawatir orang-orang berkesimpulan begitu! Kalau saya sih tidak, sebab saya tahu, Yahudi cerdas-cerdas!

  2. imam al-baihaqi rahimahullah tidak mengeluarkan sanadnya hingga sampai kepada al-imam al-bukhari, beliau hanya menukil dari al-farabi?

    bisakah anta tulis sanadnya, dan kepastian shahihya serta berderajat mutawatir dari imam al-bukhari rahimahullah???

    ana khawatir ini perkataan dusta dari al-farabi terhadap imam al-bukhari!!!

    __________
    Abu Salafy:

    Al Baihaqi meriwayatkan pernyataan Imam Bukhari itu dari al farbari (bukan al farabi, mungkin Anda salah ketik). dan dia itu murid Imam Bukhari dan salah satu penulis naskah Shahih Bukhari yang diandalkan penukilanya oleh para muhaddis. Adapun kekhawatiran Anda sama sekali tidak terbutki! Dan hanya muncul karena ternyata Imam Bukhari tidak sama akidahnya dengan kaum Mujassimah Wahhabiyah, karenanya Anda agak keberatan dan mencari-cari alasan!
    Semoga tidak demikian!

  3. maka cukuplah dengan perkataan al-imam Abu Ya’la dalam thabaqat hanabilah-nya 1/112: beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah,beliau berakata :
    ….وأنه يضحك من عبده المؤمن…..
    “…dan bahwa Allah ta’ala itu tertawa terhadap hamba-hambya yang beriman, sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
    “إنه لقي الله وهو يضحك”
    sesungguhnya ia berjumpa dengan Allah, sedang Allah tertawa kepadanya”
    disini apakah imam asy-Syafi’i menta-wil???
    beliau menetapkan sebagaimana RAsulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam tetapkan???

    tetapi anta, jauh berbeda dengan imam syafi’i semoga Allah merahmati imam syafi’i, mencerahkan wajahnya dan memasukannya ke dalam jannah-Nya.

    berkata pula Syaikh al-Islam Abdul Qadir al-Jiilani Rahimahullah tentang “istiwa” dalam al-Gunyah-nya 1/121 :
    وهو بجهة العلو مستو على العرش محتو على الملك محيط علمه بالأشياء
    dan Allah berada pada arah (jihah) yang tinggi, beristiwa diatas arsy, berkuasa atas kerajaan dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu”

    lihat perkataan para imam ini!!!!

    demi Allah, sudah cukup bagi ana berdebat dengan anta, ana bersikap dengan menetapkan sebagaimana Allah menetapkan untuk Allah sendiri, baik melalui KItabullah Jalla wa ‘Alaa maupun melalui lisan rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ana bersikap sebagiamana para shahabat radhiyallahu ‘anhum bersikap, ana diam sebagaimana meraka diam.

    karena haq pembuat syari’at hanya Allah & Rasul-Nya, bukankah Allah perintahkan kita untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ketika kita berselisih,????

    lihatlah tidak ada satupun hujjah atas anta baik dalam kitabullah maupun sunnah rasulillah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini???

    sampai jumpa!!!

    wallahul musta’an

    __________
    Abu Salafy:

    Mas Abu Abdurrahman, berulang kali saya katakan bahwa dalam menyikapi nash-nash Shifat ada tiga aliran: 1) Mena’wil. 2) mentafwidh (tidak berkomentar apapun tentangnya, tidak memberikan arti apapun tentangnya) 3) Mengartikanya sebagaimana arti bahasa (tanpa melibatkan majaz dan seluruh unsur keindahan sastra bahasa Arab, Kata yadun ya diartikan tangan, kata yanzilu ya diartikan turun, kata dhahika diartikan tertawa dan begitu seterusnya.

    Di sini Anda perlu mencermati dan memahami dengan benar perkataan para imam yang Anda nukil! Apakah mereka itu memaukan makna seperti yang Anda terjemahkan? Apakah jika para imam itu tidak melakukan ta’wil berarti mereka memaknainya seperti yang Anda terjemahkan?!
    Di sini letak masalahnya mas!

    Kaum Mujassimah selalu menukil ucapan para imam Ahlusunnah, seperti Imam Syafi’i dkk. tetapi dipelesetkan!

    Mas secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya jelas dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. kata yanzilu secara bahasa turun. dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak! dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda! Itu jelas Mas! kalau yanzliu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti Anda memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya.

    Al hasil seperti ditegaskan Ibnu Hajar (yang sering dihujat kaum Wahhabiyah) hanya ada dua jalan: 1) mena’wil nash-nash seperti itu. atau 2) terjebak dalam tajsim dan tasybih.
    Ini yang rupanya sulit difahami akal-akal kaum Mujassimah.

    Oh ya mas apa sudah sempat baca buku Daf’u Syubah at Tasybih yang saya sarankan? Baik lho untuk menambah wawasan.

  4. keturunan yahudi kalau menjadi lurus dalam memngikuti agama yang hanif ini kenapa? apa tetep dianggap sbg yahudi yang dikutuk allah? tapi sebaliknya biar habaib yang berkelakuan seperti yahudi atau ibnu saba’ apa masih dianggap mulia? tetap turunan nabi yang harus dihormati?
    janagan jumud begitu ah….!

  5. @ benthalep

    jangan keluar dari topik to kang ,biar ana juga mendapat pelajaran dan buat abu abdurrahman jangan mutung.

  6. @arumadta

    mas arumadta keluar dari topik adalah ciri khas penganut sekte wahabi salah-satu contohnya benthaleb, kalo tidak keluar dari topik makin kelihatan bodohnya.

  7. @ sasmita

    ya mas itulah… maaf saya ya katakan bodoh untuk mereka, malah ada kisah salah satu temanku yg kehilangan induk sbt saja AR ..kami kerja di salah satu prshaan besar dan canggih di Bontang,ketika datang dakwh salafy fersi wahabiyah yg mengaku2 paling benar,termsk saya didakwhi sayapun ikut baca2 majalahnya..namun tetap bertahan dgan harapan Allah memberi petunjuk kpd sy…alhamdulillah saya tidk terseret mrk. saat itu kelompoknya masih di bwh pimp Umar Jakfar T,kmdian selang bebeerapa lama pecah jadi dua dan menamakan ASWAJA(versi wahabiyah) satu lagi Ihyahussunnah. masing2 mengaku paling benar dan saling menyalahkan,ini saya ketahui di kedua kelompok ada temaan akrap sekerja ,nah AR tadi bingung tidak mengahadiri kedua klompok tadi krn prasaanya ngaak enak keduanya juga temanya (ini AR cerita sendiri kpd sya ketika satu kamar di sebuah hotel pd saat kursus ) ,dlm batin saya kacian deh pean ssdh trlanjur pakai celana cingkrang gak ada pemimpinya…

    ________________
    Abu Salafy:

    Memang demikian mereka… kalau sudah tidak ketemu orang lain dimusuhi dan divonis sesat ya teman sendiri… Ja’far Umar Thalib juga sudah jadi korban pensesatan Ekstrimis Wahhabiyah padahal ia juga ekstrim.

  8. wa ka kaka..kasihan juga temenmu,padahal semua celananya udah dipotong smua ya ?

  9. Assalamu’alaikum …

    Ijinkan hamba yang dhoif ini menambahkan sedikit…

    Pentakwilan makna dzahir Al-Qur’an dan sunnah dengan alasan bahwa makna tersebut bertentangan dengan akal, tidaklah dibolehkan. Karena di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan akal. Adapun apa yang terbersit bahwa makna dzahir Al-Qur’an dan hadis bertentangan dengan akal, sebenarnya itu bukanlah makna dzahir, melainkan sebuah makna yang mereka bayangkan sebagai makna dzahir.

    Berkenaan dengan ayat-ayat yang seperti ini, tidak diperlukan adanya takwil. Karena bahasa, di dalam penunjukkan maknanya, terbagi kepada dua bagian:

    1. Penunjukkan makna ifradi.

    2. Penunjukkan makna tarkibi.

    Terkadang, makna ifradi berbeda dari makna tarkibi, jika di sana terdapat petunjuk (qarinah) yang memalingkan makna tarkibi dari makna ifradi. Sebaliknya, makna tarkibi akan sejalan dengan makna ifradi apabila tidak terdapat qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi. Sebagai contoh, tatkala kita menyebutkan kata “singa” —yaitu berupa kata tunggal— maka dengan serta merta ter-bayang di dalam benak kita binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk susunan kata (tarkibi) yang tidak mengan-dung petunjuk (qarinah) yang memalingkannya dari makna ifradi. Seperti kalimat yang berbunyi, “Saya melihat seekor singa tengah memakan mangsanya di hutan.”

    Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, “Saya melihat singa tengah menyetir mobil.”

    Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah seorang laki-laki pemberani. Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata,

    “Dia menjadi singa atas saya,

    namun di medan perang

    dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari

    karena suara terompet perang yang dibunyikan.”

    Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh.

    Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang mentakwil nas dengan sesuatu yang keluar dari makna zahir perkataan.

    Demikian juga halnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang seperti ini. Ketika —misalnya— Allah SWT mengatakan, “Tangan Allah di atas tangan mereka “, maka pengartian tangan di sini sebagai kekuasaan bukanlah suatu bentuk takwil. Hal ini tidak berbeda dengan perkataan yang berbunyi, “Negeri berada di dalam genggaman tangan raja”. Yaitu artinya berada di bawah kekuasaan dan kehendak raja. Kata-kata ini tetap sesuai diucapkan meskipun pada kenyataannya raja tersebut buntung tangannya. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat lainnya. Kita menetapkan makna tarkibi, yang tampak dari sela-sela konteks kalimat, dan kita tidak terpaku dengan makna kata secara leksikal, dengan tanpa melakukan takwil atau tahrif. Itulah yang di-sebut dengan beramal dengan zahir nas. Namun tentunya, zahir yang tampak dari konteks kalimat. Orang-orang Hanbali, mereka menyesatkan manusia dengan makna zahir fardiyyah, dengan tanpa melihat kepada makna keseluruhan (ijmali tarkibi).

    Dengan cara inilah makna dzahir Al-Qur’an dan sunah menjadi hujjah, yang tidak seorang pun manusia diperbolehkan berpaling darinya, dan juga mentakwilkannya, setelah sebelumnya memperhatikan dengan seksama qarinah-qarinah (petunjuk-petunjuk) yang menyatu maupun yang terpisah. Adapun orang yang berhujjah dengan makna zahir fardiyyah maka dia telah lalai dan menyimpang dari perkataan orang Arab.

    Innal Haqqa lillah

    Wassalam

  10. untuk atsar yang dibawakan oleh Ali Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud 1/226, ia berkata:
    menceritakan kepada kami Muhammad bin al-A’la, menceritakan kepada kami Hafsh -yaitu Ibnu Ghiyyats-, dari al-A’masy dari Abi Ishaq dari ‘Abdu Khair dari Ali Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu ia berkata:
    لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
    “kalau senadainya yang menjadi tolak ukur agama ini akal nniscaya bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, sungguh aku pernah melihat RAsulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua khufnya”

    atsar ini juga dikeluarkan oleh:
    al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 1/292
    ad-Daruquthni dalam Sunannya 2/374

    berkata al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah:
    أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
    “dikeluarkan oleh Abu dawud dengan sanad yang hasan”
    lihat subulus salam syarah buluhul maram 1/173
    beliau juga berkata dalam Talkhis al-Khabir 1/160:
    رواه أبو داود وإسناده صحيح
    “dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang Shahih”
    juga dalam Fathul Bari 4/226 setalah membawakan atsar ini beliau berkomentar:
    أَخْرَجَهُ اِحْمَدْ وَأَبُو دَاوُدَ وَالدَّارَقُطْنِيّ وَرِجَال إِسْنَاده ثِقَات
    “dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan ad-Daruquthni perawi-perawi dalam sanadnya Tsiqat”

    berkata Abu Abdurrahman al-Wadi’i rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa Fi ash-Shaihahin 1/161:
    “perawinya perawi kitab ash-Shahih kecuali ‘Abdu Khair, dan al-Hafidz Ibnu Hajar mentsiqahkannya dalam at-Taqrib.”
    al-Imam Yahya bin Ma’in dan al-Imam al-‘Ijli juga mentsiqahkannya. lihat Tahdzibul Kamal oleh al-Imam al-Mizzi.

    Ucapan shahabat yang mulia di atas mengisyaratkan kepada kita tentang kedudukan akal di dalam agama, dan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash, yaitu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dan apa yang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.

    Namun kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah. Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.

    untuk aburahat:
    referensinya sudah kami ungkapkan diatas walaupun masih banyak referensi yang tidak kami bawakan

    untuk itu cukuplah kami menyepakati perkataan Syaikh al-Islam ‘Abdul Qadir al-Jiilani rahimahullah dalam kitabnya “al-Gunyah” 1/124 ia berkata:
    وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل، وأنه استواء الذات على العرش، لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا على معنى الإستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة، لأن الشرع لم يرد بذلك ، ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ، بل منقول عنهم حمله على الإطلاق
    “wajib hukumnya untuk memutlakkan sifat istiwa bagi Allah, tanpa ta-wil, dengan meyakini bahwa Dzat Allah ber-istiwa diatas Arsy, dan bukan makna mumarasah/duduk sebagaimana perkataan mujassimah dan karamiyah, dan juga bukan dengan makna ketinggian martabat/uluw wa ar-rif’ah sebagaimana yang dipahami oleh kaum al-Asy’ariyah, dan juga bukan dengan makna istila’/penguasaan dan ghalabah/mengalahkan yang lain seabagaimana yang dikatakan oleh mu’tazilah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kepada arti tersebut. dan juga tidak pernah dinukil dari keterangan para shahabat dan tabi’in dari kalangan salafush shalih dari para ulama ashabul hadits, bahkan sebaliknya bahwasanya telah dinukil keterangannya dari salaf ash-shalih dan para ulama hadits bahwa mereka memahami ayat-ayat dan hadits-hadits sifat secara mutlak (apa adanya/sebagaimana datangnya).

    _______________
    Abu Salafy:

    Sudah saya jawab ustadz, tapi maaf agak terlambat sebab tadinya sempat terselip. Maklum terlalu banyak komentar yang masuk dan tidak jarang yang membuat saya terpaksa beli otak baru untuk menyesuaikan dengan otak-otak Brilian dan super cerdas kaya si benthaleb, si arab peranakan yang jenius banget!
    Maaf.

  11. akhi !!!

    nukilan anta tentang perkataan al-Imam al-Bukhari merupakan riwayat mu’allaq yang dibawakan oleh al-Imam al-Baihaqi, untuk itu maka tunjukanlah sanad selengkapanya agar kami bisa mengkajinya???

    begitu juga tolong lengkapi sanadnya Imam Ahmad tentang “Datang pahalanya”

    sebab dalam kitab cetakan Maktabah al-Ma’arif – Beirut yang mengomentari :
    و هذا إسنادٌ لا غبارَ عليهِ
    “Ini adalah sanad yang tidak ada debu atasnya/bersih.”
    bukanlah Ibnu Katsir tetapi al-Baihaqi sendiri????

    dan dalam kitab al-Ibanah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah berkata setelah membawakan hadits Mu’awiyyah bin al-Hakam Radhyallahu ‘Anhu, tentang Ainallah??
    beliau berkata:
    وهذا يدل على أن الله تعالى على عرشه فوق السماء فوقية لا تزيده قربا من العرش
    “ini membuktikan bahwa Allah Ta’ala , berada diatas Arsy-Nya yang berada diatas langit dengan ketinggian tidak lebih dekat dari Arsy.
    (al-Ibanah 2/119, Tahqiq: DR. Fauqiyyah Husain Mahmud, Dar al-Anshar, cetakan pertama, 1397H, pentahqiq menggunakan 4 Naskah, yaitu:
    نسخة بلدية الاسكندرية = س
    نسخة ريفان كوشيك = ك
    نسخة مكتبة الازهر = ز
    نسخة دار الكتب المصرية = د

    wahai AS lihat ini baik-baik!!!!!
    jangan2 engkau mesih menganggap kitab ini dibuat-buat oleh wahhabi!!!
    atau cetakan anta yang dibuat-buat oleh kiai anta????

    wallahul musta’an

    ________________________
    Abu Salafy:

    Benar apa yang Anda katakan. Yang berkomentar bukan Ibnu Katsir, tetapi Al-Baihaqi… akan segera saya ralat…. akan tetapi (dan bukan untuk mencari menang) bahwa komentar pakar hadis sekaliber al-Baihaqi adalah cukup membuat mantap akan keshahihannya.

    Adapun sanad ta’wil Imam Ahmad insyaAllah akan saya sebutkan dalam kesempatan lain… walaupun kemantapan para ulama besar seperti Ibnu hajar dan al Baihaqi dalam menukilnya sudah memberikan ithmi’nan.

    Sedangkan pernyataan Imam al-Asy’ari yang Anda kutip maka coba perhatikan pernyataan itu selengkapnya:

    و أن الله تعالى على العرش على الوجه الذي قاله و بالمعنى الذي أراده، استواءً مُنَزَّها عن المماسة و ألإستقرار و التمكن و الحلول و الإنتقال، لا يحمٍِله العرشُ بل العرشُ و حملتُه محمولون بلطفِ قدرتِه و مقهورون في قبضته، و هو فوقَ العرش و فوق كل شيئ إلى تخوم الثرى، فوقيةً لا تزيده قربًا إلى العرش و السماء، بل هو رفيعُ الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى و هو مع ذلك قريبٌ من كل موجود و هو أقرب إلى العبد من حبل الوريد و هو على كل شيئ شهيد.

    “Dan sesungguhnya Allah istawa di atas Arsy-Nya sesuai dengan yang Ia firmankan dan dengan makna yang Ia kehandaki, dengan istiwa’ yang suci dari bersentuhan, bersemayam, menempati dan tinggal serta berpindah-pindah. Dia (Allah) tidak dipikul oleh Arsy, akan tetapi Arsy dan para pengembannya diangkat oleh Kemaha Lembutan Qudrat-Nya dan dikuasai oleh genggaman-Nya. Dia di atas Arsy dan di atas segala sesuatu hingga puncak tanah dengan ketinggian yang tidak membuatnya lebih dekat kepada Arsy dan langit. Dia Maha tinggi derajat (Nya) dari Arsy, sebagaimana Dia Maha tinggi dari tanah/tsara. Kendati demikian Dia Maha dekat kepada segala sesuatu maujud. Dia lebih dekat kepada hamba dari urat nadinya, dan Dia Maha Syahid (hadir dan mengetahui) segala sesuatu.”

    Dan saya yakin pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa Imam al-Asy’ari termasuk mereka yang menta’wil makna istawa, sekira tidak dimaknai dengan bersemayam dan juga mena’wilkan pemaknaan ketinggian Allah di atas Arys dan di atas langit serta seluruh makhluknya… Imam al-Asy’a’ri menolak dengan keras anggapan bahwa Allah bertempat di atas atau di dalam makhluk-Nya.

    Semoga jelas bagi Anda. Syukran.

  12. kenapa tidak diteruskan:
    saya lanjut yaa ucapan Imam Abul Hasan al-Asy’ari:
    وأن له سبحانه وجها بلا كيف كما قال : ( ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام ) ( 27 )
    وأن له سبحانه يدين بلا كيف كما قال سبحانه : ( خلقت بيدي ) من الآية ( 75 ) وكما قال : ( بل يداه مبسوطتان ) من الآية ( 64 )
    وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 )
    وأن من زعم أن أسماء الله غيره كان ضالا
    “ALLAH MEMPUNYAI WAJAH TANPA HARUS MENANYAKAN KAIFIATYNYA, SEBAGIAMANA FIRMAN ALLAH TA’ALA: “DAN TETAP KEKAL WAJAH RABBMU YANG MEMPUNYAI KEBESARAN DAN KEMULIAAN (ARRAHMAN:27)”
    ALLAH MEMPUNYIA DUA TANGAN TANPA HARUS MENANYAKAN KAIFIATNYA, SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH: “AKU TELAH CIPTAKAN DENGAN KEDUA TANGAN-KU (SHAAD:75)” DAN “TETAPI KEDUA TANGAN ALLAH TERBUKA (ALMAIDAH:64)”
    ALLAH MEMPUNYAI DUA MATA TANPA MENANYAKAN KAIFIATNYA, SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH: “YANG BERLAYAR DENGAN KEDUA-MATA KAMI (ALQASHASH:14)”
    BARANGSIAPA YANG MENYANGKA BAHWA NAMA ALLAH ADALAH SELAIN ALLAH MAKA ORANGTERSEBUT TELAH SESAT……

  13. Abu Abdirrahman kayaknya antum tidak perlu membuang-buang waktu untuk berdebat dengan org yang kurang kerjaan ini. Yang dia ungkapkan di sini bukan dalam rangka mencari kebenaran tapi untuk menumpahkan kebenciannya terhadap dakwah salaf yg semakin brkmbang di negeri ini.Memang demikianlah ciri-2 ahlul bid’ah dari dulu hingga sekarang mereka berusaha menyematkan gelar2 jelek kepada ahlussunnah.

  14. apakah dalil dekat dengan urat adi itu cukup menjelaskan bahwa Allah itu ada dimana-mana? Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan dimana tepatnya dekat urat nadi itu.

    Penjelasan tersebut masih mutasyabihat sedangkan yang muhkamat dan jelas maknanya adalah ayat “Ar Rahmaanu ala Arsyi stawa” dan banyak ayat lain yang senada (Maaf tidak saya kutip, soalnya ngga tau cara nulisnya)

    Diriwayatkan pada suatu saat dalam majelisnya imam Malik, ada seseorang yang bertanya apa maksud dari istawa tersebut, bagaimana Allah ber-istiwa di atas Arsy. Mendengar orang tersebut, imam Malik terlihat marah sampai orang2 dalam mejelis tersebut terdiam. Lalu, beliau berkata

    “Sesungguhnya istawa adalah sudah dapat dimaklumi (maksudnya kita semua sudah tau) maknanya. Adapun mempertanyakannya adalah sesuatu yang bid’ah dan Aku khawatir engkau-lah orang yang bid’ah itu”

    Sesungguhnya, orang yang di dalam hatinya ada penyakit akan cenderung lebih memperhatikan dalil2 yang mutasyabihat dan saya pun khawatir kalau penulis blog ini termasuk orang yang di dalam hatinya ada penyakit.

    (Maaf ana kebetulan mampir aja, jadi ngga sempat nukilkan riwayat tentang imam Malik tersebut. Kalau mau antum bisa cari sendiri)

    _____________
    -Abu Salafy-

    Insyaallah ada manfatnya jika saudara mau membaca artikel kami; kaum Wahabiyah Mujassimah Memalsu atas nama Salaf.

  15. sungguh mengherankan seorang ulama yang tersohor seperti imam malik dan merasa sudah dapat memaklumi makna istiwa bukannya menjelaskan hal tersebut kepada sipenanya sehingga orang tersebut paham, malah marah dan mengatakan bid’ah. Jangan-jangan imam malik juga tidak paham/maklum makna kata istiwa, ya!

    • kita tdk bisa memvonis Ulama dngn kata2 yg ada. barangkali yg mengutip salah paham. maka kita harus hati2 dlm stiap memahami ucapa. Baik itu kalamullah, Qoul Rosulullah, dan yg lain.

  16. wahai kaum salaf,gak ada gunanya debat kusir dangan musuh ahlusunnah, mendingan tuntut terus ilmu syar’ie,gak ada habisnya sampai hari kiamat…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s