Metode Dasar Pemahaman Islam Kaffah
Kenaifan Metodelogi Islam Ala Wahabiyah
Banyak sekali kesalahan pemahaman terhadap ajaran Islam mulia yang kemudian di atas namakan Islam itu sendiri, sehingga wajah cemerlang Islam tercoreng olehnya. Penyimpangan dan kekeliruan dalam memahami ajaran Islam dari sumber utamanya; Al Qur’an dan Sunnah Shahihah akibat dari kesalahan metode pengkajian adalah penyebab utamanya. Salah satu contoh dari penyimpangan pemahaman ajaran Islam akibat kesalahan metode dasar itu tercermin dengan kentalnya pada pemahan Islam ala Wahhabiyah yang kebanyakan doktrin dan metodenya diadopsi dari metode Madrasah pemikiran Ibnu Tamiyah.
Karenanya, untuk meluruskan kesalahan pemahaman Islam ala Wahhabiyah kita perlu menperhatikan dasar-dasar yang benar dan komprehensif tentang metode pemahan Islam.
Dasar Pertama:
Hukum-hukum Syari’at Islam ada yang bersifat dharûriy (pasti) seperti wajibnya shalat, puasa dan haramnya berzina, mengkonsumsi khamr dan berbohong. Semua itu tidak perlu bersusah menegakkan dalil tentangnya dan tidak ada ruang untuk berijtihad untuk menyalainya dan barang siapa yang mengingkarinya setelah tegak bukti maka ia dihukum keluar dari Islam.
Dan ada pula yang bersifat nadzari atau untuk menetapkannya dibutuhkan olah pikir dan meneliti dalil tentangnya, seperti apakah amal perbuatan hamba itu diciptakan Allah sementara hamba hanya berperang memiliki kasb, apakah sifat Allah itu ‘ainu Dzat atau bukan, dan apakah Kalam Allah itu bersifat kalam nafsiy serta apakah Allah dapat dilihat di akhirat atau tidak dan apakah imamah itu ditetapkan berdasarkan nash atau berdasarkan syurâ (baiat), dll. contoh-contoh di atas terkait dengan akidah, ushûl, adapun yang terkait dengan hukum syari’at/fikih ialah seperti hukum syak/ragu dalam shalat apakah membatalkan atau tidak, bagaimana hukum mendirikan bangunan di atas atau di sampin kuburan, hukum halal yang tidak ada dalil khusus tentangnya seperti merokok dll. semua itu harus diambil dari dalil Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan hukum akal bagi yang mampu dan menguasainya, sementara bagi yang awam/tidak mampu maka harus bertaqlid/berujuk kepada yang alim/mujtahid.
Dalam area kedua ini tidak dibenarkan memvonis sesat atau fasik atas salah satu pihak yang berbeda pendapat tentangnya, apalagi memvonis-nya telah kafir! Sebab ia bukan termasuk dhrûriyyât agama, sebagaimana tidak dibolehkan kita memaksa orang yang berbeda pendapat agar mengikuti pendapat orang lain dan meninggalkan menjalankan berdasarkan pendapatnya. Setiap orang akan diberi uzur atas hasil ijtihad dan pilihannya. Bagi yang salah dalam ijtiadnya mendapat satu pahala dan bagi yang benar mendapatkan dua pahala.
Ibnu Taimiyah pun mengakui hal ini, ia berkata, “Pendapat para Salaf dan para imam fatwa seperti Abu Hanifah, Syafi’i, ats Tsawri, Daud ibn Ali dan lainnya, mereka semua tidak menvonis berdosa atas yang berijtihad yang salah baik dalam masalah ushûl ataupun furûi.” [1]
Karenanya, barang siapa berijtihad dalam menghalalkan rokok misalnya atau membolehkan bertabarruk dengan Nabi saw., atau mencium makam suci beliau, atau melakukan perjalanan untuk menziarai makam suci beliau maka bagi yang berijthad selainnya tidak dibenarkan menvonisnya dengan bid’ah, sesat, fasik apalagi musyrik dan kafir! Sebab ia bukan dari dharûriyyât agama ini.
Dasar Kedua:
Kitabullah adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan atas Nabi-Nya saw… ia adalah pasti, qath’iy secara sanad berdasarkan kesepakatan umat Islam. Adapun dalâlah, kandungannya terdapat di dalamnya ayat-ayat yang muhkam, mutasyâbih, mujmal, dan mubayyan.
Yang muhkam adalah yang gamblang dalâlah-nya, ia dinamai mubayyan. Yang mutasyâbih adalah yang dalâlah-nya tidak gamblang, ada bebarapa kemungkinan makna yang sejajar, ia juga dinamai mujmal.
Mubayyan terbagi menjadi dua kategori, nash, yaitu tidak mengandung perbedaan makna apapun tentangnya. Yang kedua adalah dzâhir yaitu makna yang rajah/lebih unggul walaupun masih ada kemungkinan makna lain di dalamnya. Sementara makna yang marjûh/kalah unggul dinamai muawwal.
Di dalam Al Qur’an juga terdapat yang ‘âm/umum dan khâsh/khusus, muthlaq dan muqayyad (diikat) dan nâsikh (yang menghapus) dan mansûkh (yang dihapus). Dalam kode etik pemahaman Al Qur’an tidak dibenarkan berhujjah selain dengan nash dan dzâhir kecuali apabila telah diterangkan oleh Sunnah yang pasti atau ijma’. Sebagaimana tidak dibenarkan beramal berdasarkan yang ‘âm atau muthlaq sebelum mengecek dengan seksama adanya kemungkinan pengkhususan yang ‘âm atau pengikatan yang muthlaq itu.
Karena adanya ragam yang detail ini dalam Al Qur’an, maka terbuka peluang bagi pemilik pendapat baik yang haq maupun yang batil untuk berdalil dengan ayat-ayatnya -dengan hanya memperhatikan dzâhir-nya saja- untuk mendukung pendaatnya. Bisa saja seorang bersandar kepada yang haqiqah dan melupakan tanda-tanda yang memalingkannya dari makna haqiqah kepada makna majâzi, atau berdalil dengan yang muthlaq tanpa melihat yang men-taqyid-nya atau dengan yang ‘âm dan melupakan yang men-takhshis-nya, dan lain sebagainya.
Mereka yang meyakini bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat berdalil dengan ayat Al Qur’an tertentu, sementara yang menolaknya juga berdalil dengan ayat lain. Yang berhujjah bahwa hamba tidak memilki ikhityar berdalil dengan ayat Al-Qur’an tertentu, sementara yang meyakini kebalikannya juga berdalil dengan ayat yang lain. Mereka yang menokak adanya ampunan bagi yang berbuat dosa berdalil dengan ayat Al-Qur’an tertentu sedangkan yang meyakni bahwa semua dosa hamba pasti akan diampuni dan tidak ada siksaan atas siapapun juga dapat berdalil dengan ayat tertentu lainnya. Dan demikian seterusnya. Yag meyakini bahwa kita dibolehkan memohon syafa’at kepada Nabi di dunia ini berdalil dengan ayat Al Qur’an, sementara kaum Wahhabiyah yang melarang hal itu juga berdalil dengan ayat Al-Qur’an!
Dasar Ketiga:
Sunnah adalah ucapan, tindakan atau taqrîr pribadi ma’shum. Dan disyaratkan dalam berhujjah dengan sunnah berbentuk tindakan, fi’il adalah adanya kejelasan padanya. Jika beliau mengerjakan sebuah pekerjaan tertentu, lalu tidak diketahui dengan pasti stasusnya maka dapat dipastikan ia tidak haram, walaupun belum dapat dipastikan apakah ia wajib, nadb/anjuran atau malah makrûh. Dan untuk menetapkan sunnah haruslah dengan ke-mutawatir-an yaitu berita yang dibawa oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersekongkol untuk membuat-buat, atau dengan berita yang diliputi oleh tanda-tanya, qarâin yang menentramkan akan kebenarannya. Sunnah tidak dapat diterima dari berita seorang yang fasik, atau majhûl (tidak dikenal identitas dan atau kualitas kepribadiannya). Sebab berita mereka tidak memberikan kepastian dan atau karena mereka tidak boleh diandalkan oleh Syari’at, serta karena larangan mengikuti dzan.
Adapun berita yang dibawa oleh seorang yang adil dan terpercaya maka ia dapat diandalkan kendati belum memberikan ilm, kepastian kandungan sebagaimana dibeberkan dalam kajian Ushul Fikih.
Sedangkan keadilan dimaksud ialah bakat yang tertanam yang mendorong penyandangnya untuk selalu berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan dan maksiat/dosa besar serta tidak berterus menerus berbuat dosa kecil dan meninggalkan hal-hal yang mencoreng nama harumnya. Menetapkan keadilan bagi seorang di zaman kita sekarang ini adalah hal sangat sulit, sebab yang jalan dapat kita tempuh hanya terbatas pada pemberitaan orang lain tentang seorang itu. Di samping itu lapora orang para pendahulu tantang seseorang yang akan kita teliti itu sering bertentangan satu dengan lainnya. Ada yang menta’dil/menilai baik sedangkan yang lain menjarh/menilai buruk. Kendati para ulama telah meramu formula khusus untuk mengatasi kondisi semacam itu.
Dari sini dapat dimengerti bahwa gegabah dalam menerima kandungan sebuah hadis dengan sekedar ia ada dan termuat dalam sebuah kitab tertentu atau didasrkan kepada penshahihan seorang ulama lalu menyalahkan orang lain apalagi menvonis kafir atau musyrik adalah kesalahan fatal!
Di sampang itu untuk mengamakan sebuah khabar/hadis harus dipastikan bahwa ia tidak bertentangan dengan dalil pasti berupa ijma’ kaum Muslimin atau prilaku-kolektif, Sîratul Muslimîn, atau nash Al Qur’an, atau hadis lain yang mutawatir.
Sebagaimana Al Qur’an, sunnah juga terdapat di dalamnya berbagai ragam pembagian yang telah lewat disebutkan dalam Al Qur’an. maka juga harus dilakukan hal yang sama ketika hendak berhujjah atau mengamalkan berdasar hadis tertentu.
Karena adanya beragam macam kondisi teks dalam Sunnah maka ia juga dapat ditarik ke sana dan kemari untuk setiap golongan demi mendukung pandangannya. Sebagia contoh, para pengikut Ghulam Ahmad al Qadiani berdalil untuk mendukung kesesatan mereka dengan hadis, “Tidak ada mahdi selain Isa.”
Maka bagi siapapun yang mau mencari-cari pembenaran atas pendapatnya ia bisa berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah. Adapun yang mencari kebenaran pasti akan berhati-hati dalam berdalil dengan keduanya, ia tidak akan berdalil dengan dzâhir ayat atau hadis sebelum mencari kepastian akan ada atau tidak adanya penentangnya, baik dalil akal, atau naqli atau ijma’ dan selama ia belum meneliti status sanad hadis tersebut!
Dasar Keempat:
Hadis-hadis yang datang dari Nabi saw. yang saling kontradiksi itu banyak sekali. Penyebabnya, di antaranya dikarenakan adanya pemalsuan yang justru telah terjadi sejak di masa beliau saw. masih hidup. Setalah wafat beliau, para pemalsu itu mendekatkan diri kepada para penguasa demi mencari harta atau mendukung dengan kepalsuan pendapat mereka dll.
Untuk menangani adanya kontradiksi antara hadis-hadis yang saling bertentangan, para ulama telah menetapkan beberapa kaidah alternatif. Di antaranya hendaknya hadis itu disodorkan kepada Al Qur’an, yang sesusi dengannya diambil sementara yang berententangan ditolak. Di antaranya juga diambil yang sesuai dengan ijma’ atau prilaku kolektif umat Islam di sepanjang masa atau yang sesuai dengan yang berlaku di kalangan para sahabat dan tabi’în. Di antaranya melakukan uji kualitas sanad, untuk diterima yang shahih dan yang lemah apalagi palsu ditolak!
Dasar Kelima:
Al Qur’an dan Sunnah adalah berbahasa Arab, di dalamnya terdapat beragam variasi kata dan kalimat sebagaimana layaknya pembicaraan orang-orang Arab, seperti adanya bentuk haqiqah dan majâz.
Haqiqah [2] kata yang digunakan untuk arti yang asli diperuntukkannya, seperti ucapan kita, “Aku mendengar raungan asad di hutan.” Kata asad pada ucapan ini yang dimaksud adalah singa. Ini adalah kata yang dimaknai secara haqiqah/hakikat.
Sedangkan majâz adalah kata yang digunakan bukan dengan makna haqiqah-nya, karena adanya alasan tertentu yang membenarkan atau bahkan mengharuskan. Seperti contoh ucapan kita, “Aku menyaksikan asad di atas mimbar sedang berpidato.” Dalam contoh ini, kata asad tidak mungkin dimaknai singa, sebab seekor singa tidak mungkin berpidato di atas mimbar. Yang dimaksud dengannya adalah seorang pemberani. Alasan/qarînah yang mebenarkan pemalingan pemaknaan itu adalah adanya sifat yang menyatukan antara keduanya yaitu keberanian yang disimbolkan dengan seekor singa.
Menggunaan majâz banyak ditemukan dalam pembicaraan berbahasa Arab, di antaranya dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Bentuk kata majâz dalam Al Qur’an antara lain dalam firman Allah:
يَدُ الله فَوقَ أَيْدِيْهِم
و اصْنَعِ الفُلْكَ بِأَعْيُنِهِمْ وَجْهَهُ.
فَأَيْنَمَا تُوَلّوُا فَثّمَّ وَجْهُ اللهِ.
و يَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ.
الرحمنُ على العَرْشِ اسْتَوَى.
يَخافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ.
و لِتُصْنَعَ علَى عيْنِيْ
فَإِنَّكَ يِأَعْيُنِنَا
كُلُّ شَيْئٍ هالِكٌ إلاَّ
إِلاَّ مِنْ رَحِمَ رَبُّكَ.
إِلاَّ مِنْ رَحِمَ اللهُ.
و غَضِبَ علَيْهِمْ.
اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ.
و جاءَ رَبُّكَ.
Kata جاء/ فوق/ رحِم/ غضب/ يستهزئ/ يد/وجه/عين dalam ayat-ayat di atas mesti diartikan secara majâz, dan qarînah yang membenarkannya adalah tidak mungkinnya kata-kata diartikan secara haqiqah yang akan meniscayakan sifat tajsîm dan bertempatnya Allah SWT di suatu tempat dan tidak adanya di tempat lain dan menjadi tempat bagi hal-hal yang hâdits.
Qarînah itu terkadang tersebutkan dalam rangkaian pembicaraan seperti lewat di sebutkan pada contoh tentang singa, disebutnya kata mimbar adalah qarînah, sebab binatang tidak akan berada di atas mimbar untuk berpidato. Terkadang qarînah berupa kondisi, hâliyah, bukan maqâliyah seperti disebut pada contoh-contoh di atas. Dalam kondisi seperti itu terkadang tidak langsung dapat ditangkap oleh sebagian pemahaman sementara orang, maka terjadilah kerancuan dalam pemahaman.
Majâz Dalam Kalimat
Terkadang majâz itu terdapat bukan pada kata, akan tetapi pada isnâd/penyandaran sebuah sifat atau pekerjaan, seperti menyandarkan kerja menumbuhkan kepada musim semi, atau menyandarkan berpuasa kepada siang hari dll. seperti dalam contoh di bawah ini:
أَنْبَتَ الربِيْعُ البقْلَ
Musim semi menumbuhkan sayuran
صامَ نهارُهُ
Siangnya berpuasa
جَرَى النهرُ
Sungai mengalir
بنَى الأميرُ
Amir itu membangun
Dalam contoh di atas menyandarkan menumbuhkan kepada musim semi adalah bentuk majâz, mengingat musim semi adalah waktu tumbuhnya tumbuhan itu, padahal semestinya kita menyandarkan pekerjaan menumuhkan itu kepada Allah SWT. Dialah Dzat yang menumbuhkan tumbuhan.
Menyandarkan berpuasa kepada siang hari, padahal yang berpuasa adalah orang, karena ia adalah waktu pelaksanaan puasa itu.
Menyandarkan mengalir kepada sungai padahal yang mengalir adalah air yang berada di dalam sungai itu, karena sungai adalah tempat air itu mengalir.
Menyandarkan kerjaan membangung kepada seorang amir, padahal yang membangun adalah tukang bangunan akan tetapi karena si amir itu yang menjadi penyebab/yang memerintah pembangunan maka kerjaan itu disandarkan kepadanya. Dan demikian seterusnya… semua itu adalah susunan dalam bahasa Arab yang menggnakan gaya majâz.
Dalam Al Qur’an kita menemukan ayat misalnya:
فَما رَبِحَتْ تِجارَتُهَُم
“Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka… “
Sementara yang dimaksud adalah mereka tidak beruntung dalam perniagaan mereka.
وَ إِذَا تُلِِيَتْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إيْمانًا.
“… dan apabila dibacakan ayat-ayatNya, maka ia menambah iman mereka … “
Kerjaan menambah iman mereka disandarkan kepada ayat, padahal yang menambah adalah Allah SWT.
Dan banyak contoh lainnya dalam Al Qur’an.
Penggunaan majâz harus disertai dengan qarînah baik lafdziyyah (tekstual) maupun aqliyah (rasional). Seperti ucapan seorang mukmin yang mengesakan Allah SWT.
أَنْبَتَ الربِيْعُ البقْلَ
“Musim semi menumbuhkan sayuran”
Kenyataan bahwa ia seorang mukmin yang mengesakan Allah SWT. sudah cukup sebagai alasan ucapan itu harus kita artikan dengan makna majâz dalam isnâd. Demikian juga ucapan seorang mukmin yang mengesakan Allah SWT., “Wahai Rasulullah, ampuni aku.” Atau “Sembuhkan putraku.” Atau “Panjangkan usiaku.” Atau “Berilah aku rizki.” Dan lain sebagainya. Ucapan-ucapan itu mesti kita fahami bahwa ia mengucapkannya dengan bentuk majâz dalam isnâd yaitu wahai Rasulullah, jadilah engkau sebagai sebab dalam semua yang aku sebutkan tadi dengan syafa’at dan permohonanmu kepada Allah SWT. qarînah yang menbenarkan pemaknaan yang demikian adalah karena pengucapnya adalah seorang Muslim Mukmin yang mengesakan Allah SWT. dari sini adalah salah apabila kita menyalakannya karena mengucapkan kata-kata demikian, apalagi menvonisnya telah kafir dan menyekutukan Allah dengan Rasul-Nya dan dengan demikian halallah darah dan hartanya!! Dan tidak menolak apa yang saya sampaikan ini kecuali seorang dungu yang tidak mengerti apa-apa tentang beragam variasi gaya bahasa Arab atau seorang yang degil yang gemar menetang hal-hal yang nyata!
_________________
[1] Minhâj as Sunnah,3/20.
[2] Kami terpaksa memerinci pembicaraan pada poin ini mengingat pentingnya dan agar manfa’atnya lebih umum
Filed under: Akidah, Kenaifan Kaum Wahhabi, Manhaj |
abu salafy berkata:
Bentuk kata majâz dalam Al Qur’an antara lain dalam firman Allah:
يَدُ الله فَوقَ أَيْدِيْهِم
و اصْنَعِ الفُلْكَ بِأَعْيُنِهِمْوَجْهَهُ.
فَأَيْنَمَا تُوَلّوُا فَثّمَّ وَجْهُ اللهِ.
و يَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ.
الرحمنُ على العَرْشِ اسْتَوَى.
يَخافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ.
و لِتُصْنَعَ علَى عيْنِيْ
فَإِنَّكَ يِأَعْيُنِنَا
كُلُّ شَيْئٍ هالِكٌ إلاَّ
إِلاَّ مِنْ رَحِمَ رَبُّكَ.
إِلاَّ مِنْ رَحِمَ اللهُ.
و غَضِبَ علَيْهِمْ.
اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ.
و جاءَ رَبُّكَ.
Kata جاء/ فوق/ رحِم/ غضب/ يستهزئ/ يد/وجه/عين dalam ayat-ayat di atas mesti diartikan secara majâz, dan qarînah yang membenarkannya adalah tidak mungkinnya kata-kata diartikan secara haqiqah yang akan meniscayakan sifat tajsîm dan bertempatnya Allah SWT di suatu tempat dan tidak adanya di tempat lain dan menjadi tempat bagi hal-hal yang hâdits.
pertanyaannya:
apa dalilnya ayat2 diatas mesti diartikan secara majaz???
sebab kata-kata “mesti” mengindikasikan kepada arah hukum wajib!!!
dan apabila wajib maka orang yang tidak menganggapnya majaz maka berdosa karena meninggalkan kewajiban tersebut!!!
betul kan mas!!!
ayo mas cari dalilnya yaa???
Abu Salafy:
anda perlu meluruskan logika Anda yang bengkok! Maaf!
Kalau ada yang berkata: Aku menlihat singa di atas mimbar sedang berpidato. Maka dalam konteks seperti di atas kata singa mesti diartikan bukan dengan arti aslinya yaitu binatang buas berkaki empat! Akan tetapi kita mesti mengartikannya dengan arti: seorang orator yang pemberani! Itu artinya kita memaknai kalimat di atas dengan arti majazi. Jika ada yang mengartikan dengan singa beneran karena ia tidak mau menggunakan majaz, maka ia perlu dibawa ke rumah sakit untuk diperiksakan jiwanya… tidak ada sangkut paut dengan dosa, tapi dengan sakit logika!
mas anda itu telah menetapkan sesuatu dengan hukum wajib maka anda harus punya dalil???
kalau anda tidak punya dalil, maka berarti anda telah mebuat suatu syari’at baru, berarti anda telah menjadikan diri anda sebagai pembuat syari’at!!!
wah..wah..wah!!!
hebat juga anda ya sama kaya tuhan aja bisa menetapkan sesuatu, gak ada dalilnya lagi!!! miskin-miskin banget ente ama dalil
pantes aja tuhan wahabi ada diatas arsy diingkari oleh anta, lha wong tuhannya abusalafi sendiri bisa bikin perkara wajib tanpa dalil!!!
@Abu
Contoh dari Abu Salafy saya kira sudah jelas. Baik dalam bahsa Arab maupun dalam bahsa lainnya. Ada tata bahasa ada juga gaya bahasa. Ada metafora, kiyas, personifikasi dll.
Bila kemudian al-Quran memiliki itu (gaya bahasa) adalah sangat wajar bukankah al-Quran diturunkan ketika kesusasteraan di Arab sana sedang marak. Dan mereka sampai terkagum-kagum dengan bahasa al-Quran. Harus ya karena tuntutan akal mengatakan demikian, bahasa menuntut demikian sebaliknya bila harus diartikan semua secara harfiah, mana dalilnya?
Masykur pak abu,ana jd paham ushul fiqh dan manthiq
Ya Allah Mas Kamal, Ilmu ushul Fiqh itu luas kali Mas, ente berlebihan banget klo bisa paham ushul Fiqh cuma baca artikel kayak gini, Naifnya Wahabi aja gak ketahuan, Klo ente dah faham, coba ente jelasin kenaifan yg dituduh Wahabi masalah Muthlaq dan Muqayyad?
@Abu ‘Abdurrahman
Istighfarlah..anda telah menyimpang jauh dari manusia normal yg punya hati, jiwa dan akal.
Semoga Allah menambahkan ilmu bagi anda.
Kaffah ???, apakah anda siap untuk dikoreksi oleh ayat-ayat suci dan sunnah, dan apakah anda akan menerima nash-nash tersebut sebagai jalan yang lurus yang harus anda terima tanpa reserve.
Banyaknya golongan dan banyaknya aliran dalam Islam tidak jauh permasalahnnya adalah “membantah” dan “Mendebat” setiap nash yang diajukan seseorang dalam upaya amar ma’ruf nahi mungkar, namun pada kenyataanya mereka semua berbalik dan meninggalkan nash tersebut, sambil berkata kami Islam, kami shalat, kami puasa, kami zakat dan kami hajji, maka renungkanlah ayat dibahwa ini :
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. Al-A’raaf : 146-147)
Anda juga berkata bahwa “Al Qur’an dan Sunnah adalah berbahasa Arab, di dalamnya terdapat beragam variasi kata dan kalimat sebagaimana layaknya pembicaraan orang-orang Arab, seperti adanya bentuk haqiqah dan majâz.”
Dengan kalimat ini seolah-oleh anda mengatakan bahwa anda lebih memahami bahasa Arab dari orang Arab itu sendiri???, aneh.
Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. (Qs. Maryam : 97)
Sesungguhnya Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran. (Qs. Ad Dukhaan : 58)
Dari ayat diatas jelas tujuan Allah Swt. menggunakan Bahasa Arab dalam perkataan-perkataanya tidak lain adalah agar Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat-sahabatnya mengerti apa yang dimaksudkan dalam setiap firmannya, sebab apa,
Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Qs. Fushshilat : 45)
Saya rasa anda sedang bermimpi dan berangan angan, sebaiknya anda segera berwudu dan memohon ampunannya, atas segala kekhilapan yang anda lakukan ini.
Perlu saya jelaskan disini bahwa pada masa sahabat apa yang anda ungkapkan disini beserta teman-teman yang membahasnya, tidak pernah diperbincangkan dan tidak pernah digunakan, dan bagi hanyalah : apa bila mereka mengerti mereka amalkan dan apabila dia tidak mengerti maka dia akan bertanya kepada yang lebih ngerti.
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, Qs. Huud : 1)
Apa yang anda ungkapkan disini pada saat ini dikenal sebagai Ilmu tafsir, dan tidak adalah Ilmu yang diturunkan Allah Swt. kepada umatnya dalam rangka menjaga Agama yang disyariatkan-Nya, dan ilmu ini sangat berguna bagi pembela kebenaran dalam membantah berbagai kesalah yang terjadi ditengah-tengah ummat, namun tak jarang pula saat ini, ilmu tafsir digunakan juga oleh para ahli bidah dalam upayanya untuk membela dirnya sendiri dalam rangka mencari pembenaran dan bukan kebenaran.
Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (Qs. Asy Syuura : 14)
Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Mu’minun : 4)
Anda tentunya sudah mengetahui bahwa seluruh pengetahuan untuk nmenjadi seorang muslim yang kaffah telah diketahui semuanya dan juga sudah diamalkan oleh para sahabat Nabi, sehinnga atas dasar itulah Allah berfirman :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Qs. 3. Ali ‘Imran : 110)
XXX sebaiknya adan hapus saya blog ini XXX
Assalamualaikum
akhil karim…. semoga Rahmat dan keberkahan dari Allah senantiasa menyertai anda.
ada beberapa hal yg harus anda perhatikan, tentang postingan anda, dikarenakan beberapa kesalahan, ini sekilas saja, dari apa yg saya lihat.
antum berkata:
Hadis-hadis yang datang dari Nabi saw. yang saling kontradiksi itu banyak sekali.
Untuk yg ini, saya cuma bisa bilang agar akhi beristigfar. apalagi kalau mafhumnya hadits-hadits yang datang dari nabi tanpa kontradiksi itu sedikit sekali. semoga bukan itu yang antum maksud.
“Dan ada pula yang bersifat nadzari atau untuk menetapkannya dibutuhkan olah pikir dan meneliti dalil tentangnya, seperti apakah amal perbuatan hamba itu diciptakan Allah sementara hamba hanya berperang memiliki kasb, apakah sifat Allah itu ‘ainu Dzat atau bukan, dan apakah Kalam Allah itu bersifat kalam nafsiy serta apakah Allah dapat dilihat di akhirat atau tidak dan apakah imamah itu ditetapkan berdasarkan nash atau berdasarkan syurâ (baiat), dll. contoh-contoh di atas terkait dengan akidah, ushûl, adapun yang terkait dengan hukum syari’at/fikih ialah seperti hukum syak/ragu dalam shalat apakah membatalkan atau tidak, bagaimana hukum mendirikan bangunan di atas atau di sampin kuburan, hukum halal yang tidak ada dalil khusus tentangnya seperti merokok dll. semua itu harus diambil dari dalil Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan hukum akal bagi yang mampu dan menguasainya, sementara bagi yang awam/tidak mampu maka harus bertaqlid/berujuk kepada yang alim/mujtahid.”
Pendapat boleh atau tidaknya memfasiqkan juga nadzari mas, jadi sikapilah dengan bijak, berdasarkan pendapat anda juga,maka anda juga tidak bisa melarangnya. anda mungkin bisa sedikit menoleh ke kitab rijal, dan bagaimaan para Rawi didhoifkan dengan celaan Fasiq dan sejenisnya, karena bid’ahnya dan banyak hal Nadzari versi antum..
antum berkata:
Sunnah adalah ucapan, tindakan atau taqrîr pribadi ma’shum. Dan disyaratkan dalam berhujjah dengan sunnah berbentuk tindakan, fi’il adalah adanya kejelasan padanya. Jika beliau mengerjakan sebuah pekerjaan tertentu, lalu tidak diketahui dengan pasti stasusnya maka dapat dipastikan ia tidak haram, walaupun belum dapat dipastikan apakah ia wajib, nadb/anjuran atau malah makrûh. Dan untuk menetapkan sunnah haruslah dengan ke-mutawatir-an yaitu berita yang dibawa oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersekongkol untuk membuat-buat, atau dengan berita yang diliputi oleh tanda-tanya, qarâin yang menentramkan akan kebenarannya. Sunnah tidak dapat diterima dari berita seorang yang fasik, atau majhûl (tidak dikenal identitas dan atau kualitas kepribadiannya). Sebab berita mereka tidak memberikan kepastian dan atau karena mereka tidak boleh diandalkan oleh Syari’at, serta karena larangan mengikuti dzan.”
Kebanyakan Syariat ditetapkan dengan Dzan, kalau antum bersikukuh dengan mengharuskan mutawatir, maka ada yg harus dicurigai dari antum. saya juga tidak mengerti apa yg antum maksud dengan kata “menetapkan sunnah”.
terakhir, untuk masalah Majaz, jangan sama sekali mengira bahwa orang yang antum tuduh Wahabi itu tidak mengerti akh, mungkin antum bertemu denganorang tertentu yang tidak tahu atau berada dibawah ente keilmuannya, lalu antum menggeneralisir, bahwa semua yang antum tuduh Wahabi seperti itu keadaannya. masalah Ada atau tidaknya Majaz, masih diperselisihkan oleh para Ulama, dan yang anda utarakan adalah salah satu pendapatnya.
saya punya buku ushul fiqh Versi orang yang antum tuduh Wahabi, mungkin antum bisa membacanya. hubungi saya lewat email akh. senang berdiskusi dengan antum. Oh yah, kok temanya gak Apel to apel yah? sebelah mana yang Wahabi itu Naif mas? dah berapa kitab Ushul Fiqh karangan wahabi yang dah ente dalami atau minimal ente baca?
______________________________
Abu Salafy:
Salam akhi, terima kasih atas tanggapannya.
Tentang sunnah, tolong Anda perhatikan lagi apa yang saya tulis dan tolong jangan dipenggala ditengah biar tidak disalah pahami. yang saya tulis (seperti yang juga Anda kutip):Dan untuk menetapkan sunnah haruslah dengan ke-mutawatir-an yaitu berita yang dibawa oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersekongkol untuk membuat-buat, atau dengan berita yang diliputi oleh tanda-tanya, qarâin yang menentramkan akan kebenarannya.
Tantang majaz, Ibnu Taimiyah (sebagai panutan kaum Wahhabi) mengingkari ada penggunaan majazi dalam Al Qur’an. Kalau ternyata kaum Wahhabi dalam pengetahuan Anda mau menggunakan Majazi, tolong diberikan nama kitabnya biar saya pelajari. Sebab yang nyata bahwa mereka enggan melibatkan pemaknaan alaMajazi pada ayat-ayat atau hadis-hadis sifat sehingga terjebak dalam pemaknaan yang meniscayakan tasbih dan tajsim.
Wassalam.
Assalamu’alaikum..
ko’ ga srek ya baca sub judulnya?ALA WAHABIYAH.
bisa ga si kita menyebut kita islam.just islam……..
Orang yg membanggakan kelompoknya oleh ALLAH DIMASUKKAN KEDALAM KELOMPOK ORANG MUSYRIK….
Dan dosa orang Musyrik TIDAK DIAMPUNI OLEH ALLAH.
Ar-Ruum :
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [1169],
31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, ===> SYIRIK,
32. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka [1170] dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Kesalahan pemahaman tentang islam perlu diluruskan, tetapi meluruskan bagi mereka yang belum paham, selama ini islam dipahami sebagai agama yang berlaku di masjid atau majelis pengajian aja,selama ini bvanyak orang islam di indonesia tetapi tidak dapat merubah waqjah indonesia menjadi wajah negara yang islami, yang mngedepankan nilai khlak serta moral, banyak yang beranggapan bahwa islam adalah agama yang keras, yang tak kenal kemanusiaan, maka yang terjadi sesungguhnya di masyarakat islam sendiri banyak memang yang islam tapi belum tentu beragama, karena menurut saya orang yag beragama adalah mereka yang mampu memasukkan agama dalam setiap sendi kehidupan baik dalam urusan dunia maupun akherat, jika seseorang beragama tentu dia dalam aktifitasnya akan selalu menggunakan korodor agama sebagai kendalinya, itu yang terpenting (islam rahmatal lilalamin)
Assalamu’alaikum wr wb ..
Cukuplah Al Qur’an sebagai Pedoman Agama Islam …
ya Rassulullah,saat dia mencaci maki saya,engkau tetap duduk,tetapi saat saya membalas mencaci makinya,engkau marah&langsung berdiri,kenapa?
.Rasulullah saw: sbnrnya saat engkau mnrima caci maki,malaikat brsamamu,dia mnolak smw tduhan tu drmu,tp saat kau mmbalasnya setan datang,dan aku(Rasulullah) tdk hndak du2k bersama setan..
INI Da’wah dari Guru saya
koreksi terhadap kesalahan manhaj mas abu salafi ……..
1. Mas abu salafi berdalil dengan al quran dengan pemahaman bahwa al quran itu banyak kegamangan, tidak jelas dan penuh dengan majas2 yang multi tafsir sehingga membingungkan umat muslim, khususnya mas abu salafi.
2. Mas abu salafi berdalil dengan sunnah/ al hadist, dengan pemahaman bahwa hadist itu banyak yang kontradiksi serta mas abu salafy tidak mampu membedakan mana hadist yang dhoif, maudhu dan shohih, sehingga hanya mengambil dalil yang mendukung pemikirannya.
3. Mas abu salafi memahami dalil-dalil dalam quran dan hadist hanya berdasarkan pemikiran sendiri tanpa melihat bagaimana generasi umat terbaik (para sahabat nabi muhamad salallahu alaihi wasalam) memahami dan mengamalkannya. contoh mas abu menyampaikan tulisan ini sendirian (ahad) maka wajib bagi para pengikut mas abu salafi untuk menolaknya karena ini bersifat dzon kecuali disampaikan/ditulis oleh 20 orang lebih/mutawatir.
saran untuk mas abu salafi, agar bertaqwa kepada allah ajjawajalla dan menuntut ilmu kepada para ulama yang betul2 ulama robaniun, semoga allah memberikan hidayahnya.
artikel yang bagus dan menarik , secara umum saya sependapat dengan isi artikel diatas , kecuali beberapa yang masih dibutuhkan penjelasan seperti kata – kata di bawah ini :
Dan untuk menetapkan sunnah haruslah dengan ke-mutawatir-an yaitu berita yang dibawa oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersekongkol untuk membuat-buat, atau dengan berita yang diliputi oleh tanda-tanya, qarâin yang menentramkan akan kebenarannya .
jika yang dimaksud perkataan diatas adalah dalam bab Ushul aqa`id maka hal itu adalah benar.